Halaman

Senin, 23 Mei 2011

16. Ciri Negara Islam

Sebuah negara barulah absah disebut Negara Islam (Darul Islam) ketika telah memenuhi dua syarat: (1) hukum yang diterapkan di negara tersebut adalah hukum Islam; (2) kekuasaan (pemerintahan) di negara tersebut dikendalikan dan dipimpin sepenuhnya oleh kaum Muslim. Dengan demikian, pengkategorian Negara Islam atau negara kafir tidak didasarkan pada seberapa banyak jumlah penduduk Muslim atau kafir yang ada di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh hukum yang diterapkan dan kekuasaan yang mengendalikan negara tersebut. 
Dasar Argumentasi  
Pertama: realitas negeri Makkah dan Madinah pasca hijrah. Sebelum hijrah ke Madinah, Makkah dan seluruh dunia adalah darul kufur. Setelah Nabi Muhammad saw. dan para Sahabatnya hijrah ke Madinah dan menegakkan Daulah Islamiyah di sana, maka terwujudlah Darul Islam pertama kali dalam sejarah kaum Muslim. Adapun Makkah dan negeri-negeri di sekitarnya tetap berstatus darul kufur.
Berdasarkan kedua realitas yang bertentangan inilah kita bisa memahami syarat dan sifat Darul Islam dan darul kufur. Di Makkah saat itu, hukum-hukum Islam tidak diterapkan dalam konteks negara dan masyarakat, meskipun di sana telah tampak sebagian syiar agama Islam, yakni shalat yang dikerjakan oleh kaum Muslim yang masih tinggal di Makah; itu pun harus seijin orang-orang kafir sebagai penguasa Makkah. Di sisi lain, kaum Muslim yang ada di Makkah tidak mampu menjamin keamanannya secara mandiri; mereka hidup di bawah jaminan keamanan kaum kafir. Realitas ini menunjukkan kepada kita, bahwa di Makkah tidak ditampakkan hukum-hukum Islam dan jaminan keamanan atas penduduknya berada di tangan orang kafir. Karena itulah, Makkah disebut dengan darul kufur. Ini berbeda dengan Madinah. Di Madinah, hukum-hukum Islam diterapkan dan ditampakkan secara jelas, dan jaminan keamanan dalam dan luar negeri berada di bawah tangan kaum Muslim.

Kedua: bukti lain yang mendukung pasal di atas adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sulaiman Ibnu Buraidah, yang di dalamnya dituturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
أُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فأَقْبِلْ مِنْهُمْ و كُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ ما لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِريْنَ
Serulah mereka pada Islam. Jika mereka menyambutnya, terimalah mereka, dan hentikanlah peperangan atas mereka, kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (darul kufur) ke Darul Muhajirin (Darul Islam, yang berpusat di Madinah), dan beritahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka telah melakukan semua itu maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum Muhajirin (HR Muslim).

Darul Muhajirin pada riwayat di atas adalah sebutan untuk Darul Islam pada masa Rasulullah saw. Manthûq hadis di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw. memerintahkan para Sahabat untuk memerangi negeri-negeri yang tidak berada dalam kekuasaan kaum Muslim meskipun di negeri tersebut telah tampak sebagian syiar Islam. Adanya azan di wilayah tersebut menunjukkan dengan jelas adanya syiar agama Islam. Hanya saja, Nabi saw. dan para Sahabat tetap memerangi wilayah tersebut karena kekuasaan negeri tersebut tidak berada di bawah kendali penguasa Islam.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Darul Islam adalah negara yang di dalamnya diterapkan hukum Islam, sementara jaminan keamanannya ditanggung dan dikendalikan sepenuhnya oleh kaum Muslim; tanpa memperhatikan lagi komposisi penduduk Muslim dan kafirnya.

Pendapat Ulama Mengenai Negara Islam dan Negara Kafir
 
Dr. Muhammad Khair Haekal menyatakan bahwa sesungguhnya frasa dâr al-Islâm adalah istilah syar’i yang dipakai untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Frase dâr al-kufr juga merupakan istilah syar’i yang digunakan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang berlawanan dengan Darul Islam. Begitu pula istilah dâr al-kufr, dâr as-Syirk dan dâr al-harb; semuanya adalah istilah syar’i yang maknanya sama [1] untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang faktanya berbeda dengan fakta pertama (Darul Islam).

Istilah dâr al-Islâm dan dâr al-kufr telah dituturkan di dalam Sunnah dan atsar para Sahabat. 

Imam al-Mawardi menuturkan sebuah riwayat dari Nabi saw. bahwa beliau pernah bersabda, “Semua hal yang ada di dalam Darul Islam menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal yang ada di dalam dâr asy-syirk telah dihalalkan.” [2]

Maksudnya, semua orang yang hidup di dalam Darul Islam, harta dan darahnya terpelihara. Harta penduduk Darul Islam tidak boleh dirampas, darahnya juga tidak boleh ditumpahkan tanpa ada alasan yang syar’i. Sebaliknya, penduduk darul kufur, maka harta dan darahnya tidak terpelihara, kecuali ada alasan syar’i yang mewajibkan kaum Muslim melindungi harta dan darahnya. [3]

Di dalam kitab Al-Kharaj karya Abu Yusuf dituturkan, bahwa ada sebuah surat yang ditulis oleh Khalid bin Walid kepada penduduk al-Hijrah. Di dalam surat itu tertulis:
Aku telah menetapkan bagi mereka (penduduk Hirah yang menjalin perjanjian dzimmah), yakni orang tua yang tidak mampu bekerja, atau orang yang cacat, atau orang yang dulunya kaya lalu jatuh miskin, sehingga harus ditanggung nafkahnya oleh penduduk yang lain; semuanya dibebaskan dari pembayaran jizyah, dan mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Mal kaum Muslim, selama mereka masih bermukim di Darul Hijrah dan Darul Islam. Jika mereka berpindah ke negeri lain yang bukan Darul Hijrah maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslim untuk mencukupi nafkah mereka. [4]
 
Ibnu Hazm mengatakan, “Semua tempat selain negeri Rasulullah saw. adalah tempat yang boleh diperangi; disebut dâr al-harb, serta tempat untuk berjihad.” [5]

Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa frasa dâr al-Islâm adalah istilah syar’i yang ditujukan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Sebab, di sana ada perbedaan hukum dan perlakuan pada orang yang menjadi warga negara Darul Islam dan darul al-kufur.

Para fukaha juga telah membahas kedua istilah ini di dalam kitab-kitab mereka. Dengan penjelasan para fukaha tersebut, kita dapat memahami syarat atau sifat yang harus dimiliki suatu negara hingga absah disebut negara Islam.

Imam al-Kasai, di dalam kitab Badâi’ ash-Shanai’, mengatakan:
Tidak ada perbedaan di kalangan fukaha kami, bahwa darul kufur (negeri kufur) bisa berubah menjadi Darul Islam dengan tampaknya hukum-hukum Islam di sana. Mereka berbeda pendapat mengenai Darul al-Islam, kapan ia bisa berubah menjadi darul al-kufur? 

Abu Hanifah berpendapat, Darul al-Islam tidak akan berubah menjadi darul al-kufur kecuali jika telah memenuhi tiga syarat.  

Pertama: telah tampak jelas diberlakukannya hukum-hukum kufur di dalamnya. 

Kedua: meminta perlindungan kepada darul kufur. 

Ketiga: kaum Muslim dan dzimmi tidak lagi dijamin keamanannya, seperti halnya keamanaan yang mereka dapat pertama kali, yakni jaminan keamanan dari kaum Muslim.
 
Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat, “Darul al-Islam berubah menjadi darul kufur jika di dalamnya telah tampak jelas hukum-hukum kufur. [6]
 
Di dalam hâsyiyah (catatan pinggir) Ibnu ‘Abidin atas kitab Ad-Durr al-Mukhtâr Syarh Tanwîr al-Abshâr disebutkan:
Darul Islam tidak akan berubah menjadi dâr al-harb….(karena) misalnya, orang kafir berhasil menguasai negeri kita, atau penduduk Mesir murtad kemudian mereka berkuasa, atau diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur; atau negeri itu mencabut dzimmah (perjanjian untuk mendapatkan perlindungan dari Daulah Islam), atau negeri mereka dikuasai oleh musuh; salah satu hal tersebut tidak menjadikan Darul Islam berubah menjadi dar al-harb jika telah memenuhi tiga syarat. Adapun Abu Yusuf dan Mohammad berpendapat, cukup dengan satu syarat saja, yakni tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini adalah qiyas. [7]

Syaikh Muhammad Abu Zahrah berkomentar:
Barangkali buah perbedaan di antara dua pendapat tersebut tampak jelas pada masa kita sekarang ini. Karena itu, jika pendapat Abu Hanifah itu diterapkan maka negeri-negeri mulai dari wilayah barat hingga daerah Turkistan dan Pakistan terkategori Darul Islam. Sebab, walaupun penduduknya tidak menerapkan hukum-hukum Islam, mereka hidup dalam perlindungan kaum Muslim. Karena itu, negeri-negeri ini termasuk Darul Islam. Jika pendapat Abu Yusuf dan Muhammad serta para fukaha yang sejalan dengan keduanya diterapkan maka negeri-negeri Islam sekarang ini tidak terhitung sebagai Darul Islam, tetapi dâr al-harb. Sebab, di negeri-negeri itu tidak tampak dan tidak diterapkan hukum-hukum Islam. [8]

Di dalam kamus fikihnya, Syaikh Sa’di Abu Habib menjelaskan tentang Darul Islam dan dâr al-harb sebagai berikut:
Menurut pengikut mazhab Syafii, dâr al-harb adalah negeri-negeri kaum kafir (bilâd al-kuffâr) yang tidak memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim. Adapun Darul Islam menurut pengikut mazhab Syafii adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslim, seperti Baghdad dan Bashrah; atau penduduknya masuk Islam, seperti Madinah atau Yaman; atau negeri yang ditaklukkan dengan perang, semacam Khaibar, Mesir dan wilayah kota Irak; atau ditaklukkan secara damai; atau wilayah yang kita miliki dan orang kafir yang hidup di dalamnya membayar jizyah.

Adapun menurut pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, “Darul Islam adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslim, seperti Bashrah, atau negeri yang ditaklukkan oleh kaum Muslim, seperti kota Yaman.” [9]
 
Abdul-Qadir Audah menyatakan:
Darul Islam adalah negeri yang tampak jelas di dalamnya penerapan hukum-hukum Islam, atau penduduknya yang Muslim mampu menampakkan hukum-hukum Islam di negeri itu. Termasuk Darul Islam setiap negeri yang seluruh penduduknya beragama Islam, atau mayoritasnya beragama Islam. Juga termasuk Darul Islam setiap negeri yang dikuasai dan diperintah oleh kaum Muslim, walaupun mayoritas penduduknya bukan kaum Muslim. Termasuk Darul Islam juga setiap negeri yang dikuasai dan diperintah oleh non-Muslim, namun penduduknya yang Muslim masih tetap bisa menampakkan hukum-hukum Islam, atau tidak ada satu pun halangan yang merintangi mereka untuk menampakkan hukum-hukum Islam. [10]

Di dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah karya Syaikh ‘Abd al-Wahhab Khalaf dituturkan, “Darul-Islam adalah negeri yang diberlakukan di dalamnya hukum-hukum Islam dan keamanan negeri itu dibawah keamanan kaum Muslim, sama saja, apakah penduduknya Muslim atau dzimmi. Adapun dâr al-harb adalah negeri yang tidak diberlakukan di dalamnya hukum-hukum Islam dan keamanan negeri itu tidak dijamin oleh kaum Muslim. [11]

Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani merinci apa yang dijelaskan di dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah karya Syaikh ‘Abd al-Wahhab Khalaf sebagai berikut:
Penetapan suatu negeri termasuk Darul Islam atau darul al-kufur harus memperhatikan dua perkara. Pertama: hukum yang diberlakukan di negeri itu adalah hukum Islam. Kedua: keamanan di negeri itu harus dijamin oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya. Jika suatu negeri memenuhi dua perkara ini maka ia disebut Darul Islam dan negeri itu telah berubah dari darul kufur menuju Darul Islam. Akan tetapi, jika salah satu unsur itu lenyap maka negeri itu menjadi darul kufur. Negeri Islam yang tidak menerapkan hukum-hukum Islam adalah darul kufur. Begitu pula sebaliknya, jika negeri Islam menerapkan hukum-hukum Islam, namun keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya, namun dijamin oleh kaum kafir, maka negeri itu termasuk darul kufur. Oleh karena itu, seluruh negeri kaum Muslim sekarang ini termasuk darul al-kufur. Alasannya, negeri-negeri itu tidak menerapkan hukum Islam. Suatu negeri juga tetap disebut darul kufur seandainya di dalamnya kaum kafir menerapkan hukum-hukum Islam atas kaum Muslim, namun kekuasaannya dipegang oleh kaum kafir. Dalam keadaan semacam ini, keamanan negeri itu di bawah keamanan kafir, dan secara otomatis ia termasuk darul kufur. [12]
 
Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, dari pendapat-pendapat di atas, pendapat yang paling râjih adalah pendapat yang menyatakan, bahwa Darul Islam adalah negeri yang sistem pemerintahannya adalah sistem pemerintahan Islam (diatur dengan hukum Islam) dan pada saat yang sama, keamanan negeri tersebut, baik keamanan dalam dan luar negeri, berada di bawah kendali kaum Muslim. [13]
Wallâhu a’lam

Jumat, 20 Mei 2011

15. Pendidikan Rosululloh thd Anak

KASIH SAYANG RASULULLAH TERHADAP ANAK-ANAK



Banyak hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mengungkapkan kasih sayangnya kepada sang anak. Islam sebagai agama yang sempurna melalui kisah Rasul-Nya banyak memberikan teladan dalam hal ini.
Allah telah menjadikan kasih sayang di dalam qalbu ayah dan bunda, sehingga senantiasa menghiasi segala apa yang ada antara ayah bunda dengan buah cinta mereka. Gambaran apa pun yang ada di antara ayah-ibu dengan anak mereka, tak lain melambangkan kasih sayang mereka. Sekeras apa pun tabiat sang ayah atau bunda, di sana tersimpan kecintaan yang besar terhadap putra-putrinya.
Besarnya kasih sayang ini terlukis dari ungkapan lisan Rasulullah ketika melihat seorang ibu di antara para tawanan.

Kisah ini disampaikan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab.
“Datang para tawanan di hadapan Rasulullah. Ternyata di antara para tawanan ada seorang wanita yang buah dadanya penuh dengan air susu. Setiap dia dapati anak kecil di antara tawanan, diambilnya, didekap di perutnya dan disusuinya. Maka Rasulullah bertanya, “Apakah kalian menganggap wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?” Kami pun menjawab, “Tidak. Bahkan dia tak akan kuasa untuk melemparkan anaknya ke dalam api.” Rasulullah bersabda, “Sungguh Allah lebih penyayang daripada wanita ini terhadap anaknya.” (HR. Bukhari).
Banyak hal yang bisa menjadi ungkapan kasih sayang, hingga didapati banyak contoh dari Rasulullah, bagaimana beliau mengungkapkan kasih sayang kepada anak-anak.
Satu contoh yang beliau berikan adalah mencium anak-anak. Bahkan beliau mencela orang yang tidak pernah mencium anak-anaknya.
Kisah-kisah tentang ini bukan hanya satu dua. Di antaranya dituturkan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah.
“Rasulullah pernah mencium Al-Hasan bin Ali, sementara Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi sedang duduk di sisi beliau. Maka Al-Aqra’ berkata, ‘Aku memiliki 10 anak, namun tidak ada satu pun dari mereka yang kucium.’ Kemudian Rasulullah memandangnya, lalu bersabda, ‘Siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi.’ (HR. Bukhari Muslim).
Para ulama menjelaskan bahwa ucapan Rasulullah ini umum, mencakup kasih sayang terhadap anak-anak maupun selain mereka.
Begitu pula yang diceritakan oleh istri beliau, Aisyah binti Abu Bakar.
“Seorang Arab gunung datang kepada Rasulullah, kemudian mengatakan, ‘Kalian biasa mencium anak-anak, sedangkan kami tidak biasa mencium mereka.’ Maka Rasulullah mengatakan, ‘Sungguh aku tidak memiliki kuasa apa pun atasmu jika Allah mencabut rasa kasih sayang dari qalbumu.” (HR. Bukhari Muslim).
Itulah penekanan beliau, sementara gambaran kasih sayang kepada anak yang lebih jelas dan lebih indah dari itu semua didapati dalam diri Rasulullah ketika beliau menyambut putrinya, Fathimah bintu Muhammad. Peristiwa ini dilukiskan oleh Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar.
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Rasulullah dalam bicara maupun duduk daripada Fathimah.” Aisyah berkata lagi, “Biasanya Rasulullah bila melihat Fathimah datang, beliau mengucapkan selamat datang padanya, lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian beliau menggandeng tangannya dan membimbingnya hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Demikian pula jika Rasulullah datang kepada Fathimah, maka Fathimah mengucapkan selamat datang pada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggandeng tangannya, lalu mencium beliau. Suatu saat, Fathimah mendatangi Rasulullah ketika beliau menderita sakit menjelang wafat. Beliau pun mengucapkan selamat datang dan menciumnya, lalu berbisik-bisik kepadanya hingga Fathimah menangis. Kemudian beliau berbisik lagi padanya hingga Fathimah tertawa. Maka aku berkata pada para istri beliau, ‘Aku berpandangan bahwa wanita ini memiliki keutamaan dibandingkan seluruh wanita, dan memang dia dari kalangan wanita. Dia tengah menangis, kemudian tiba-tiba tertawa.’ Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang beliau katakan padamu saat itu?’ Fathimah menjawab, ‘Kalau aku mengatakannya, berarti aku menyebarkan rahasia.’ Ketika Rasulullah telah wafat, Fathimah berkata, ‘Waktu itu beliau membisikkan padaku: Sesungguhnya aku hendak meninggal. Maka aku pun menangis. Kemudian beliau membisikkan lagi: Sesungguhnya engkau adalah orang pertama yang menyusulku di antara keluargaku. Maka hal itu menggembirakanku’.” (HR. Bukhari).
Anas bin Malik, seorang shahabat yang senantiasa menyertai Rasulullah dalam melayaninya pun turut mengungkapkan bagaimana rasa sayang Rasulullah kepada putranya yang lahir dari rahim Mariyah Al-Qibthiyyah.
“Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih besar kasih sayangnya kepada keluarganya dibandingkan Rasulullah.” Anas berkata lagi, “Waktu itu, Ibrahim sedang dalam penyusuan di suatu daerah dekat Madinah. Maka beliau berangkat untuk menjenguknya, sementara kami menyertai beliau. Kemudian beliau masuk rumah yang saat itu tengah berasap hitam, karena ayah susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Kemudian beliau merengkuh Ibrahim dan menciumnya, lalu beliau kembali.” (HR. Muslim).
Beberapa kisah tersebut menunjukkan kemuliaan akhlak Rasulullah, serta kasih sayangnya terhadap keluarga dan orang-orang yang lemah. Juga menjelaskan keutamaan kasih sayang terhadap keluarga dan anak-anak, serta mencium mereka. Di dalamnya juga didapati kebolehan menyusukan anak pada orang lain.
Kalaulah dibuka perjalanan para pendahulu yang shaleh dari kalangan shahabat, hal ini pun ditemukan di kalangan mereka. 

Bahkan dilakukan oleh shahabat yang paling mulia, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ketika Abu Bakar tiba di Madinah bersama Rasulullah dalam hijrah, dia mendapati putrinya, Aisyah sakit panas. Al-Barra’ bin Azib yang menyertai Abu Bakar saat menemui putrinya mengatakan.
“Kemudian aku masuk bersama Abu Bakar menemui keluarganya. Ternyata Aisyah putrinya sedang berbaring, terserang penyakit panas. Maka aku melihat ayah Aisyah mencium pipinya dan berkata, ‘Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?’.” (HR. Bukhari).
Inilah kasih sayang Rasulullah, seorang ayah yang paling mulia di antara seluruh manusia. Tak segan-segan beliau mendekap dan mencium putra-putri dan cucu-cucunya. Begitu pun yang beliau ajarkan kepada seluruh manusia. Keberatan apa lagikah yang membebani seseorang yang mengaku mengikuti beliau untuk mengungkapkan kasih sayang di hatinya dengan pelukan dan ciuman kepada anak-anaknya?.

Rabu, 18 Mei 2011

14. Pendidikan Rosululloh thd anak


Kasih Sayang Rasulullah Kepada Anak-anak


Orang-orang yang keras hati tidak akan mengenal kasih sayang. Tidak ada sedikitpun kelembutan pada diri mereka. Hati mereka keras bagaikan karang. Kaku tabiat, baik ketika memberi maupun menerima. Kurang peka perasaan, lagi tipis peri kemanusiannya. Berbeda halnya dengan orang yang dikaruniai Allah Ta'ala hati yang lembut, penuh kasih sayang lagi penuh kemurahan. Dialah yang layak disebut pemilik hati yang agung penuh cinta. Hati yang diliputi dengan kasih sayang dan digerakkan oleh perasaan yang halus.

Dari Anas bin Malik Radhiallaahu anhu ia berkata: "Rasulullah pernah membawa putra beliau bernama Ibrahim, kemu-dian mengecup dan menciumnya." (HR. Al-Bukhari)

Kasih sayang tersebut tidak hanya terkhusus bagi kerabat beliau saja, bahkan beliau curahkan juga bagi segenap anak-anak kaum muslimin. Asma' binti 'Umeis Radhiallaahu anha –istri Ja'far bin Abi Thalib- menuturkan:

"Rasulullah datang menjengukku, beliau memanggil putra-putri Ja'far. Aku melihat beliau mencium mereka hingga menetes air mata beliau. Aku bertanya: "Wahai Rasu-lullah, apakah telah sampai kepadamu berita tentang Ja'far?" beliau menjawab: "Sudah, dia telah gugur pada hari ini!" Mendengar berita itu kamipun menangis. Kemudian beliau pergi sambil berkata: "Buatkanlah makanan bagi keluarga Ja'far, karena telah datang berita musibah yang memberatkan mereka." (HR. Ibnu Sa'ad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Ketika air mata Rasulullah menetes menangisi gugurnya para syuhada' tersebut, Sa'ad bin 'Ubadah Radhiallaahu anhu bertanya: "Wahai Rasulullah, Anda menangis?" Rasulullah menjawab:

"Ini adalah rasa kasih sayang yang Allah Ta'ala letakkan di hati hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya hamba-hamba yang dikasihi Allah Ta'ala hanyalah hamba yang memiliki rasa kasih sayang." (HR. Al-Bukhari)

Ketika air mata Rasulullah menetes disebabkan kematian putra beliau bernama Ibrahim, Abdurrahman bin 'Auf Radhiallaahu anhu bertanya kepada beliau: "Apakah Anda juga menangis wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab:


"Wahai Ibnu 'Auf, ini adalah ungkapan kasih sayang yang diiringi dengan tetesan air mata. Se-sungguhnya air mata ini menetes, hati ini bersedih, namun kami tidak mengucapkan kecuali yang diridhai Allah Ta'ala. Sungguh, kami sangat berduka cita berpisah denganmu wahai Ibrahim." (HR. Al-Bukhari)


Akhlak Rasulullah yang begitu agung memo-tivasi kita untuk meneladaninya dan menapaki jejak langkah beliau. Pada zaman sekarang ini, curahan kasih sayang terhadap anak-anak serta menempatkan mereka pada kedudukan yang semestinya sangat langka kita temukan. Padahal mereka adalah calon pemimpin keluarga esok hari, mereka adalah cikal bakal tokoh masa depan dan cahaya fajar yang dinanti-nanti. Kejahilan dan keangkuhan, dangkalnya pemikiran serta sempitnya pandangan menyebabkan hilangnya kunci pembuka hati terhadap para bocah dan anak-anak. Sementara Rasulullah , kunci pembuka hati itu ada di tangan dan lisan beliau.


Cobalah lihat, Rasulullah senantiasa membuat anak-anak senang kepada beliau, mereka menghormati dan memuliakan beliau. Hal itu tidaklah mengherankan, karena beliau menempatkan mereka pada kedudukan yang tinggi.

Setiap kali Anas bin Malik melewati sekumpulan anak-anak, ia pasti mengucapkan salam kepada mereka. Beliau berkata: "Demikianlah yang dilakukan Rasulullah ." (Muttafaq 'alaih)

Meskipun anak-anak biasa merengek dan mengeluh serta banyak tingkah, namun Rasulullah tidaklah marah, memukul, membentak dan menghardik mereka. Beliau tetap berlaku lemah lembut dan tetap bersikap tenang dalam menghadapi mereka.

Dari 'Aisyah Radhiallaahu anha ia berkata:

"Suatu kali pernah dibawa sekumpulan anak kecil ke hadapan Rasulullah , lalu beliau mendoakan mereka, pernah juga di bawa kepada beliau seorang anak, lantas anak itu kencing pada pakaian beliau. Beliau segera meminta air lalu memer-cikkannya pada pakaian itu tanpa mencucinya." (HR. Al-Bukhari)


Wahai pembaca yang mulia, engkau pasti menge-tahui bahwa duduk di rumah Rasulullah merupakan sebuah kehormatan. Lalu, tidakkah terlintas di dalam lubuk hatimu? Bermain dan bercanda ria dengan si kecil, putra-putrimu? Mendengarkan tawa ria dan celoteh mereka yang lucu dan indah? Ayah dan ibuku sebagai tebusannya, Rasulullah selaku nabi umat ini, melakukan semua hal itu.

Abu Hurairah Radhiallaahu anhu menceritakan:

"Rasulullah pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali Radhiallaahu anhu. Iapun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira." (Lihat Silsilah Shahihah no.70)

Anas bin Malik Radhiallaahu anhu menuturkan:

"Rasulullah sering bercanda dengan Zainab, putri Ummu Salamah Radhiallaahu anha, beliau memanggilnya dengan: "Ya Zuwainab, Ya Zuwainab, berulang kali." (Zuwainab artinya: Zainab kecil) (Lihat Silsilah Hadits Shahih no.2141 dan Shahih Al-Jami' 5-25)


Kasih sayang beliau kepada anak tiada batas, meskipun beliau tengah mengerjakan ibadah yang sangat agung, yaitu shalat. Beliau pernah mengerjakan shalat sambil menggendong Umamah putri Zaenab binti Rasulullah dari suaminya yang bernama Abul 'Ash bin Ar-Rabi'. Pada saat berdiri, beliau menggendongnya dan ketika sujud, beliau meletakkannya. (Muttafaq 'alaih)

Mahmud bin Ar-Rabi' Radhiallaahu anhu mengungkapkan:

"Aku masih ingat saat Rasulullah menyemburkan air dari sebuah ember pada wajahku, air itu diambil dari sumur yang ada di rumah kami. Ketika itu aku baru berusia lima tahun." (HR. Muslim)

Rasulullah senantiasa memberikan pengajaran, baik kepada orang dewasa maupun anak-anak. Abdullah bin Abbas menuturkan: "Suatu hari aku berada di belakang Nabi , beliau bersabda:

"Wahai anak, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: "Jagalah (perintah) Allah, pasti Allah akan menjagamu. Jagalah (perintah) Allah, pasti kamu selalu mendapatkan-Nya di hadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah, jika kamu memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah." (HR. At-Tirmidzi)


Telah kita saksikan bersama keutamaan akhlak dan keluhuran budi pekerti serta sejarah kehidupan yang agung. Semoga semua itu dapat menghidupkan hati kita dan dapat kita teladani dalam mengarungi bahtera kehidupan. Putra-putri yang menghiasi rumah kita, selalu membutuhkan kasih sayang seorang ayah serta kelembutan seorang ibu. Membutuhkan belaian yang membuat hati mereka bahagia. Sehingga mereka dapat tumbuh dengan pribadi yang luhur dan akhlak yang lurus. Siap untuk memimpin umat, sebagai buah karya dari para ibu dan bapak, tentu saja dengan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.


13. Panduan Jihad

Nasehat Kepada Mujahidin

Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengadukan segala fitnah dan ujian yang mendera, akibat ulah sekolompok anak muda yang hanya bermodalkan semangat belaka dalam beragama namun tanpa disertai kajian ilmu syar’i yang mendalam dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta bimbingan para Ulama, kini ummat Islam secara umum dan Ahlus Sunnah (orang-orang yang komitmen dengan Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) secara khusus harus menanggung akibatnya berupa celaan dan citra negatif sebagai pendukung terorisme.


Aksi-aksi terorisme yang sejatinya sangat ditentang oleh syari’at Islam yang mulia ini justru dianggap sebagai bagian dari jihad di jalan Allah, sehingga pelakunya digelari sebagai mujahid, apabila ia mati menjadi syahid, pengantin surga dan calon suami bidadari...
Demi Allah, akal dan agama mana yang mengajarkan terorisme itu jihad...?! Akal dan agama mana yang mengajarkan buang bom di sembarang tempat itu amal saleh...?!

Maka berikut ini kami akan menunjukkan beberapa penyimpangan terorisme dari Syari’at Islam dan menjelaskan beberapa hukum jihad syar’i yang diselisihi para Teroris, berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah serta keterangan para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut generasi Salaf (generasi Sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).

Pelanggaran-pelanggaran hukum Jihad Islami yang dilakukan Teroris:
Pelanggaran Pertama: Tidak memenuhi syarat-syarat Jihad Islami.
Jihad melawan orang kafir terbagi dua bentuk; jihad difa’ (defensif, membela diri) dan jihad tholab (ofensif, memulai penyerangan lebih dulu), adapun yang dilakukan oleh para Teroris tidak diragukan lagi adalah jihad ofensif, sebab jelas sekali mereka yang lebih dulu menyerang, bahkan menyerang orang yang tidak bersenjata.

Dalam jihad defensif, ketika ummat Islam diserang oleh musuh maka kewajiban mereka untuk membela diri tanpa ada syarat-syarat jihad yang harus dipenuhi (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah hal. 532 dan Al-Fatawa Al-Kubrô 4/60 cool.

Namun untuk ketegori jihad ofensif terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum melakukan jihad tersebut. Disinilah salah satu perbedaan mendasar antara jihad dan terorisme. Bahwa jihad terikat dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah Ta’ala dalam syari’at-Nya, sedangkan terorisme justru menerjang aturan-aturan tersebut. 
Maka inilah syarat-syarat jihad ofensif kepada orang-orang kafir yang dijelaskan para Ulama:
  • Jihad tersebut dipimpin oleh seorang kepala negara
Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Siapa yang taat kepadaku maka sungguh ia telah taat kepada Allah, dan siapa yang bermaksiat terhadapku maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada pemimpin maka sungguh ia telah taat kepadaku, dan siapa yang bermaksiat kepada pemimpin maka sungguh ia telah bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya seorang pemimpin adalah tameng, dilakukan peperangan dibelakangnya, dan dijadikan sebagai pelindung.” (HR. Al-Bukhary no. 2957 (konteks di atas milik Al-Bukhary), Muslim no. 1835, 1841, Abu Daud no. 2757 dan An-Nasa`i 7/155).

Berkata al-Imam an-Nawawy rahimahullah, “Dan makna “dilakukan peperangan di belakangnya” yaitu dilakukan peperangan bersamanya melawan orang-orang kafir, Al-Bughôt (para pembangkang terhadap penguasa), kaum khawarij dan seluruh pengekor kerusakan dan kezholiman.” (Syarah Muslim 12/230).
  • Jihad tersebut harus didukung dengan kekuatan yang cukup untuk menghadapi musuh. Sehingga apabila kaum Muslimin belum memiliki kekuatan yang cukup dalam menghadapi musuh, maka gugurlah kewajiban tersebut dan yang tersisa hanyalah kewajiban untuk mempersiapkan kekuatan.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menegaskan : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan (yang juga) musuh kalian serta orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Anfâl : 60)

Diantara dalil akan gugurnya kewajiban jihad bila tidak ada kemampuan, adalah hadits An-Nawwâs bin Sam’ân radhiyallâhu ‘anhu tentang kisah Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm membunuh Dajjal…, kemudian disebutkan keluarnya Ya`jûj dan Ma`jûj,
…فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ، إِذْ أَوْحَى اللهُ إِلَى عِيْسَى: إِنِّيْ قَدْ أَخْرَجْتُ عِبَاداً لِيْ لَا يَدَانِ لِأَحَدٍ بِقِتَالِهِمْ، فَحَرِّزْ عِبَادِيْ إِلَى الطُّوْرِ وَيَبْعَثُ اللَّهُ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ …
“…Dan tatkala (Nabi ‘Isâ) dalam keadaan demikian, maka Allah mewahyukan kepada (Nabi) ‘Isâ, “Sesungguhnya Aku akan mengeluarkan sekelompok hamba yang tiada tangan (baca: kekuatan) bagi seorangpun untuk memerangi mereka, maka bawalah hamba-hamba-Ku berlindung ke (bukit) Thûr.” Kemudian Allah mengeluarkan Ya`jûj dan Ma`jûj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi….” (HR. Muslim no. 2937 dan Ibnu Majah no. 4075).

Perhatikan hadits ini, tatkala kekuatan Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm dan kaum muslimin yang bersama beliau waktu itu lemah untuk menghadapi Ya`jûj dan Ma`jûj, maka Allah tidak memerintah mereka untuk mengobarkan peperangan dan menegakkan jihad bahkan mereka diperintah untuk berlindung ke bukit Thûr.

Demikian pula, ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabat masih lemah di Makkah, Allah Ta’ala melarang kaum Muslimin untuk berjihad, padahal ketika itu kaum Muslimin mendapatkan berbagai macam bentuk kezhaliman dari orang-orang kafir.

Berkata Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh, “Dan beliau (Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam) diperintah untuk menahan (tangan) dari memerangi orang-orang kafir karena ketidakmampuan beliau dan kaum muslimin untuk menegakkan hal tersebut. Tatkala beliau hijrah ke Madinah dan mempunyai orang-orang yang menguatkan beliau, maka beliaupun diizinkan untuk berjihad.” (Al-Jawâb Ash-Shohîh 1/237).
  • Jihad tersebut dilakukan oleh kaum Muslimin yang memiliki wilayah kekuasaan
Perkara ini nampak jelas dari sejarah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, bahwa Beliau diizinkan berjihad oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika telah terbentuknya satu kepemimpinan dengan Madinah sebagai wilayahnya dan beliau sendiri sebagai pimpinannya.

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi shollallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ke Madinah menurut kesepakatan para ulama.” (Fathul Bari 6/4-5 dan Nailul Authar 7/246-247).

Demikianlah syarat-syarat jihad dalam syari’at Islam. Adapun dari sisi akal sehat, bahwa tujuan jihad adalah untuk meninggikan agama Allah Ta’ala sehingga Islam menjadi terhormat dan berwibawa di hadapan musuh, hal ini tidak akan tercapai apabila tidak dipersiapkan dengan matang dengan suatu kekuatan, persiapan dan pengaturan yang baik. Maka ketika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, sebagaimana dalam aksi-aksi terorisme, hasilnya justru bukan membuat Islam menjadi tinggi, malah memperburuk citra Islam, sebagaimana yang kita saksikan saat ini.

Pelanggaran Kedua: Memerangi orang kafir sebelum didakwahi dan ditawarkan apakah memilih Islam, membayar jizyah atau perang
Pelanggaran ini menunjukkan kurangnya semangat para Teroris untuk mengusahakan hidayah kepada manusia dan semakin jauh dari tujuan jihad itu sendiri, padahal hakekat jihad hanyalah sarana untuk menegakkan dakwah kepada Allah Ta’ala.
Ini juga merupakan bukti betapa jauhnya mereka dari pemahaman yang benar tentang jihad, sebagaimana tuntunan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada para Mujahid yang sebenarnya, yaitu para Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dalam hadits Buraidah radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِيْ خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ أُغْزُوْا بِاسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ أُغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تُمَثِّلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa âlihi wa salllam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (wasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata, “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsîl (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka”. (HR. Muslim no. 1731, Abu Dâud no. 2613, At-Tirmidzy no. 1412, 1621, An-Nasâ`i dalam As-Sunan Al-Kubrô no. 8586, 8680, 8765, 8782 dan Ibnu Mâjah no. 2857, 285cool.

Pelanggaran Ketiga: Membunuh orang Muslim dengan sengaja
Kami katakan bahwa mereka sengaja membunuh orang Muslim yang tentu sangat mungkin berada di lokasi pengeboman karena jelas sekali bahwa negeri ini adalah negeri mayoritas Muslim, dan mereka sadar betul di sini bukan medan jihad seperti di Palestina dan Afganistan, bahkan mereka tahu dengan pasti kemungkinan besar akan ada korban Muslim yang meninggal.

Tidakkah mereka mengetahui adab Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebelum menyerang musuh di suatu daerah?! Disebutkan dalam hadits Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَزَا بِنَا قَوْمًا لَمْ يَكُنْ يَغْزُوْ بِنَا حَتَّى يُصْبِحَ وَيَنْظُرَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا كَفَّ عَنْهُمْ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ عَلَيْهِمْ
“Sesungguhnya Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam apabila bersama kami untuk memerangi suatu kaum, beliau tidak melakukan perang tersebut hingga waktu pagi, kemudian beliau menunggu, apabila beliau mendengar adzan maka beliau menahan diri dari mereka dan apabila beliau tidak mendengar adzan maka beliau menyerang mereka secara tiba-tiba. ”(HR. Al-Bukhâri no. 610, 2943, Muslim no. 382, Abu Daud no. 2634, dan At-Tirmidzy no. 1622). 
Tidakkah mereka mengetahui betapa terhormatnya seorang Muslim itu?! Tidakkah mereka mengetahui betapa besar kemarahan Allah Ta’ala atas pembunuh seorang Muslim?!

Allah Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. An-Nisâ` : 93)
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Sungguh sirnanya dunia lebih ringan di sisi Allah dari membunuh (jiwa) seorang muslim.” (Hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma riwayat At-Tirmidzy no. 1399, An-Nasa`i 7/ 82, Al-Bazzar no. 2393, Ibnu Abi ‘ashim dalam Az-Zuhd no. 137, Al-Baihaqy 8/22, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 7/270 dan Al-Khathib 5/296. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany rahimahullah dalam Ghayatul Maram no. 439).

Pelanggaran Keempat: Membunuh orang kafir tanpa pandang bulu

Inilah salah satu pelanggaran Teroris dalam berjihad yang menunjukkan pemahaman mereka yang sangat dangkal tentang hukum-hukum agama dan penjelasan para Ulama.

Ketahuilah, para Ulama dari masa ke masa telah menjelaskan bahwa tidak semua orang kafir yang boleh untuk dibunuh, maka pahamilah jenis-jenis orang kafir berikut ini:

Pertama, kafir harbiy, yaitu orang kafir yang memerangi kaum Muslimin, inilah orang kafir yang boleh untuk dibunuh.
Kedua, kafir dzimmy, yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum Muslimin, tunduk dengan aturan-aturan yang ada dan membayar jizyah (sebagaimana dalam hadits Buraidah di atas), maka tidak boleh dibunuh.
Ketiga, kafir mu’ahad, yaitu orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum Muslimin untuk tidak saling berperang, selama ia tidak melanggar perjanjian tersebut maka tidak boleh dibunuh.
Keempat, kafir musta'man, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum Muslimin, atau sebagian kaum Muslimin, maka tidak boleh kaum Muslimin yang lainnya untuk membunuh orang kafir jenis ini. Dan termasuk dalam kategori ini adalah para pengunjung suatu negara yang diberi izin masuk oleh pemerintah kaum Muslimin untuk memasuki wilayahnya.

Banyak dalil yang melarang pembunuhan ketiga jenis orang kafir di atas, bahkan terdapat ancaman yang keras dalam sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”. (HR. Al-Bukhary no. 3166, 6914, An-Nasa`i 8/25 dan Ibnu Majah no. 2686).

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat bahwa kata mu’ahad dalam hadits di atas mempunyai cakupan yang lebih luas. Beliau berkata, “Dan yang diinginkan dengan (mu’ahad) adalah setiap yang mempunyai perjanjian dengan kaum muslimin, baik dengan akad jizyah (kafir dzimmy), perjanjian dari penguasa (kafir mu’ahad), atau jaminan keamanan dari seorang muslim (kafir musta’man).” (Fathul Bary 12/259).

(Disarikan dari buku Meraih Kemuliaan melalui Jihad Bukan Kenistaan, karya Al-Ustadz Dzulqarnain hafizhahullah. Semua dalil, takhrij hadits dan perkataan Ulama di atas dikutip melalui perantara buku tersebut, jazallahu muallifahu khairon).

 

12. Panduan Jihad

SYARAT UTAMA KONDISI JIHAD PERANG

Terorisme bukan jihad, jihad bukanlah terorisme. Karena jihad itu merupakan ibadah yang mulia, yang memiliki ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta dirinci oleh para ‘ulama ahlus sunnah. Jihad tidak berjalan di atas emosi dan semangat juang semata, namun sangat membutuhkan kepada ilmu dan kepala dingin. Syarat-syarat dan ketentuan serta penjelasan para ‘ulama tersebut akan tertera di dalam buku ini dengan lebih gamblang. 


Di antaranya secara singkat:
Ditegaskan oleh ahluts tsughur dan ‘ulama mujahid terkemuka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahwa : “ Pembahasan tentang perincian hukum jihad merupakan tugas khusus kalangan para ‘alim ‘ulama!

    •  Syarat penting yang harus dipenuhi dalam jihad, yaitu :

    1. Kekuatan dan kemampuan umat Islam, baik kemampuan fisik dan kemampuan Iman. 
    2. Harus dilaksanakan bersama pemerintah muslimin., dan sepenuhnya diatur oleh pemerintah.
         Dua syarat ini tidak ada dalam tubuh kaum muslimin saat ini
        • Dalam kondisi umat Islam yang lemah dalam dua sisi di atas, solusi apa yang ditempuh? Maka ‘ulama ahluts tsughur Ibnu Taimiyyah menasehatkan agar kaum muslimin, dalam kondisi lemah menerapkan dan mengaplikasikan ayatush shabr (ayat-ayat yang memerintahkan untuk bersabar dan menahan diri).
        • Tidak semua jenis orang kafir harus dan boleh diperangi. Orang kafir yang dalam perjanjian dan perlindungan pemerintah muslimin tidak boleh sama sekali untuk diganggu apalagi diperangi dan dibunuh. Bahkan membunuh seorang kafir di saat kondisi umat Islam lemah adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah.

        11. Panduan Jihad

        PANDUAN JIHAD BAG. 2

        JIHAD YANG TAK KITA INGINKAN


        1. Kami tidak menghendaki jihad yang timbul akibat kebosanan, tidak sabar atas kenyataan maka dia mencari kematian untuk beristirahat lari dari kebosanan.
        2. Kami tidak menghendaki jihad karena hawa nafsu sesaat supaya dikatakan si fulan telah berjihad di sini dan disini, namun apabila nafsu itu lenyap, selesailah semua amal jihad itu tak bersisa.
        3. Kami tidak menghendaki jihad karena ketergesa-gesaan, memanen buah sebelum waktunya matang. Barangsiapa tergesa-gesa dalam suatu amalan sebelum waktunya, diharamkan memperolehnya. Perkara jihad sesuatu yang agung tidak ada yang dapat teguh padanya kecuali seseorang yang sabar menanti.
        4. Kami tidak menghendaki jihad karena alasan melarikan diri dari situasi sulit yang sedang dihadadapinya atau lari dari tugas mengemban suatu amanat ummat.
        5. Kami tidak menghendaki jihad yang tidak menimbang maslahat dan mafasid (kerusakan), yang tidak menimbang mana prioritas dan mana yang harus diakhirkan. Tidak peduli pada perkara-perkara syari dan pemikiran matang.
        6. Kami tidak menghendaki jihad yang pasukannya menuju medan perang sebelum melalui batasan minimum i’dad (persiapan), lalu mudahlah dikalahkan oleh musuh.
        7. Kami tidak menghendaki jihad demi kemaslahatan thaghut lalim. Apabila mereka mengijinkan beragkatlah pasukan itu dan jika mereka tak mengijinkan mereka pun mematuhi.
        8. Kami tidak menginginkan jihad yang anggotanya terdiri dari para thaghut dan thaghut, maka berloyalitas pada thaghut dan bermusuhan dengan thaghut.
        9. Kami tidak menghendaki jihad untuk melengserkan kekuasaan thaghut agar digantikan dengan taghut lain, kekufuran dengan kekufuran bentuk lain, sistem negara yang rusak dengan sistem negara yang rusak lain.
        10. Kami tidak menghendaki jihad hanya untuk meraih puncak cita-cita tertinggi mati syahid lalu tidak peduli dengan kelangsungan perjuangan selanjutnya, tidak peduli pada fase-fase pembangunan pondasi dan bangunan Islam serta peraihan tujuan.
        11. Kami tidak menghendaki jihad yang buahnya dipetik oleh thaghut zalim, seakan-akan kita dijadikan tameng dan kematian sedang mereka dengan konspirasi yang mereka susun memetik buahnya. Tujuan serta planing mereka tercapai sedang taktik mujahidin hancur lebur.
        Syaikh Abu Basheer At-thurthusiy

        10. Panduan Jihad

        JIHAD ANTARA DEFINISI SYAR’I DAN USAHA DISTORSI 


        I. DEFINISI SECARA BAHASA
        • Kata jahada–yajhadu-al juhdu wa al jahdu جهد-يجهد-الجهد-الحهد) ) mempunyai lebih dari 20 makna, semuanya berkisar pada makna kemampuan (الطاقة  ) , kesulitan (المشقة ) , keluasan  (الوسع)  (kemampuan dan kesempatan), (القتال) perang dan ( (المبالغة  bersungguh-sungguh. Karena itu para ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih dan ahli bahasa selalu mengartikan jihad secara bahasa dengan makna mencurahkan segenap kemampuan atau (bersungguh-sungguh menundukkan) kesulitan. [1]
          • Imam al Fairuz Abadi berkata,” Al jahdu dan al juhdu maknanya kemampuan dan kesulitan. Ada yang mengatakan al jahdu maknanya kesulitan, ada juga yang menyatakan al jahdu artinya kesulitan, sedang al juhdu artinya kemampuan. Ada juga yang menyatakan al juhdu maknanya apa yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh oleh seseorang.” [Bashairu Dzawi al Tamyizifi Lathaifi al Kitab al’Aziz 2/401][2]
          • Syaikh Musthofa al Suyuthi berkata,” Al jihadu merupakan mashdar dari kata jaahada-jihaadan wa mujaahadatan maknanya bersunggh-sungguh (mencurahkan kemampuan) dalam memerangi musuh.” [Mathalibu Uli al Nuha 2/497][3]
          • Kata jahada-juhdun dan jahdun sudah mempunyai makna mubalaghah (bersungguh-sungguh). Apalagi kata jihad yang berasal dari kata jaahada dengan sighah mubalaghah, tentulah maknanya bersungguh-sungguh kuadrat.  Ini menunjukkan bahwa kedua belah pihak saling mengerahkan kemampuan maksimalnya untuk mengalahkan lawannya..[4] Itulah sebabnya para pakar bahasa menyebutkan makna jihad secara bahasa adalah :

        بذل أقصي ما  يستطيعه الإنسان في من طاقة لنيل محبوب أو لدفع مكروه.

        Mengerahkan seluruh kemampuan untuk mendapatkan kebaikan dan menolak bahaya.[Fi al Jihadi Adabun wa Ahkamun hal. 5]. Atau :

        المشقة ببذل أقصي ما في الطاقة والوسع
        Menanggung kesulitan dengan mengerahkan segala kemampuan.[5]

        II. DEFINISI SECARA SYAR’I.

        Bila disebutkan kata jihad fi sabilillah maka maknanya adalah berperang melawan orang-orang kafir untuk menegakkan kalimatulloh. Inilah definisi yang disebutkan oleh para ulama salaf, berdasar ayat-ayat dan sunah-sunah Rasulullah. Begitulah fatwa Rasulullah ketika ditanya oleh seorang shahabat tentang makna jihad :

        عن عمرو بن عبسة رضي الله عنه قال قال رجل يا رسول الله ما الإسلام ؟ قال أن يسلم قلبك وأن يسلم المسلمون من لسانك ويدكقال فأي الإسلام أفضل؟  قال أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله والبعث بعد الموت قال فأي الإيمان أفض؟   قال الهجرة  قال وما الهجرة؟  قال أن تهجر السوء قال فأي الهجرة أفضل؟  قال الجهاد قال وما الجهاد؟  قال أن تقاتل الكفار إذا لقيتهم  قال فاي الجهاد أفضل؟  قال من عقر جواده وأهريق دمه.

        Dari Amru bin Abasah ra. beliau berkata,” Ada orang bertanya kepada Rosululloh,”Wahai Rosululloh, apakah Islam itu ?” Beliau menjawab,” Hatimu merasa aman, dan juga orang-orang muslim merasa aman dari gangguan lidah dan tanganmu.” Orang tersebut bertanya,”Lalu Islam bagaimanakah yang paling utama?’ Beliau menjawab,”Iman.” Orang tersebut bertanya lagi,” Apakah iman itu?” Beliau menjawab,” Kamu beriman kepada Alloh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rosul-rosul-Nya dan kebangkitan setelah mati.” Orang tersebut bertanya lagi,”Lalu iman bagaimanakah yang paling utama itu?” Beliau menjawab,”‘Hijroh.” Orang tersebut bertanya lagi,” Apakah hijroh itu?” Beliau menjawab,”Engkau meninggalkan amalan jelek.” Orang tersebut bertanya lagi,”Lalu hijroh bagaimanakah yang paling utama itu?” Beliau menjawab,” Jihad.” Orang tersebut bertanya lagi,”Apakah jihad itu?” Beliau menjawab,” Engkau memerangi orang kafir jika kamu bertemu mereka.” Orang tersebut bertanya lagi,” Lalu bagaimanakah jihad yang paling utama itu?” Beliau menjawab,” Siapa saja yang terluka kudanya dan tertumpah darahnya.” (HR. Ahmad 4/114 dengan sanad shohih, juga oleh Abdu Razzaq 11/127 no. 20107, Ath Thobroni dan Al-Baihaqi, mempunyai  syawahid dalam Silsilah Ahadits al Shahihah no. 551).
        Bahkan syaithan pun paham bahwa jihad itu maknanya perang di jalan Allah demi meninggikan kalimat Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits :

        عن سبرة بن أبي فاكهة: إن السيطان قعد لإبن ادم بطرقه فقعد له بطريق الإسلام فقال له تسلم  و تذر دينك و دين أبائك و أباء أبائك ؟فعصاه فأسلم فقعد له بطريق  لبهجرة فقلب له:تهاجر و تدع أرضك و سماءك و إنما مثل المهاجر كمثل الفرس في الطول فعصاه فهاجر. فقعد له بطريق الجهاد فقال له: تجاهد فهو جهد النفس و المال فتقاتل فتقتل فتنكح المرأة و تقسم المال ؟ فعصاه فجاهد. فمن فعل ذلك كان  حقا على الله أن يدخله الجنة. و من قتل كان حقا على الله أن يدخله الجنة, و إن غرق كان على الله حقا أن يدخله الجنة و إن وقصته دابتهكان حقا على الله أن يدخله الجنة.
        Dari Sibrah bin Abi Fakihah bahwasanya Rasulullah bersabda,” Sesungguhnya setan menghadang manusia di setiap jalan kebaikan. Ia menghadang manusia di jalan Islam,” Apakah kau mau masuk Islam dan meninggalkan agamamu, agama bapakmu dan agama moyangmu ?” Ia tidak emenururti setan dan masuk Islam.Maka setan menghadangnya di jalan hijrah,” Kau mau hijrah, meninggalkan tanah air dan langit yang menanungimu ?Ia tidak menururti setan dan berhijrah maka setan menghadangnya di jalan jihad,” Kau mau berjihad, sehingga terbunuh dan istrimu diambil orang serta hartamu dibagi-bagi ?” Ia  tidak menururti setan dan tetap berjihad. Siapa saja melakukan hal, itu maka sudah menjadi kewajiban Allah untuk memasukkannya ke surga. Dan siapa saja terbunuh maka sudah menjadi kewajiban Allah untuk memasukkannya ke surga. Dan siapa saja tenggelam (karena jihad atau hijrah—pent) maka sudah menjadi kewajiban Allah untuk memasukkannya ke surga. Dan siapa saja terlempar dari kendaraannya (saat hijrah atau jihad) maka sudah menjadi kewajiban Allah untuk memasukkannya ke surga.” [HR. Ahmad 3/483, Nasa'i 6/21 dan Ibnu Hiban no. 1601, Shahih al Jami' al Shaghir 2/340 no. 1652/736, Shahih at Targhib wa at Tarhib 2/173].
        Dalam kesempatan yang lain Roslulloh bersabda:
        عن أبي هريرة رضي الله عنه قال جاء رجل إلي رسول الله صلي الله عليه وسلم فقال دلني علي عمل يعدل الجهاد قال لا أجده قال هل تستطيع إذا خرج المجاهد أن تدخل مسجدك  فتقوم ولا تفتر وتصوم ولا تفطر قال ومن يستطيع ذلك. قال أبو هريرة إن فرس المجاهد ليستن في طوله فيكتب له حسنات.
        Dari Abu Huroiroh ra. Beliau berkata,“ Datang seseorang kepada Rosululloh saw. Lalu berkata,”Tunjukkan padaku sebuah amalan yang bisa menyamai jihad !!” Beliau menjawab,”Aku tidak mendapatkannya. Apakah kamu mampu apabila seorang mujahid keluar, kamu masuk masjid lalu sholat dan tidak berhenti dan kamu shaum dan tidak berbuka?” Orang tersebut berkata,” Siapa yang mampu melakukan hal tersebut???” Abu Huroiroh berkata,” Sesungguhnya bermainnya kuda seorang mujahid itu dicatat sebagai beberapa kebaikan.”(HR. Al-Bukhori  No. 2785, Nasa’I 6/19, Ahmad 2/344, Ibnu Abi Syaibah 5/199).
        Keterangan : Puasa dan sholat adalah bagian dari jihadun nafs, namun demikian Rosululloh mengatakan,” Aku tidak mendapatkan amalan yang bisa menyamai jihad.” Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan jihad kalau berdiri sendiri adalah perang melawan orang-orang kafir, bukan mujahadatun nafs, bukan dakwah, bukan thalabul ilmi, bukan membangun sekolah dan pondok pesantren dan amal-amal sholih lainnya.

        عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال قيل يا رسول الله  أي  الناس أفضل ؟ فقال  رسول الله  صلي الله عليه وسلم مؤمن مجاهد في سبيل الله بنفسه وماله. قالوا ثم من؟ قال مؤمن في شعب من الشعاب يتقي الله ويدع الناس من شره.

        Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. ia berkata,” Dikatakan kepada Rosululloh saw..” Wahai Rosululloh, orang bagaimanakah yang paling utama ?” Rosululloh saw. Menjawab,” Orang mukmin yang berjihad di jalan Alloh dengan jiwa dan hartanya.” Mereka bertanya lagi,” Kemudian siapa?” Beliau menjawab,” Seorang mukmin yang (menyendiri) berada dalam suatu lembah, takut kepada Alloh dan meninggalkan  manusia karena kejahatan mereka .”(Al-Bukhori no. 2786).
        Keterangan : Orang mukmin yang menyendiri di tempat sepi seperti suatu lembah,  gunung, daerah pedalaman dll, sambil bertaqwa kepada Alloh, melakukan sholat, tekun beribadah kepada Allah disebut sebagai mu’tazil (orang yang beruzlah). Pekerjaannya disebut uzlah. Jelas sekali uzlah dengan seluruh bentuk ibadah di dalamnya termasuk berjihad melawan hawa nafsunya, namun Rasulullah tidak menyebutnya sebagai seorang mujahid (orang yang berjihad) dan uzlahnya juga tidak beliau sebut sebagai jihad. Beliau menyebutkan orang yang berjihad dengan jiwa dan raganya di jalan Alloh, itulah mujahid sesungguhnya. Hal ini menunjukkan bahwa kata jihad apabila berdiri sendiri artinya adalah perang melawan orang-orang kafir.

        عن أبي هريرة رضي الله عنه قال رسول الله صلي الله عليه وسلم من ءامن بالله وبرسوله وأقام الصلاة وصام رمضان كان حقا علي الله أن يدخله الجنة جاهد في سبيل الله أو جلس في أرضه الذي ولد فيها فقالوا يا رسول الله أفلا نبشر الناس قال إن في الجنة مائة درجة أعدها الله للمجاهدين في سبيل الله ما بين درجتين كما بين السماء والأرض  .

        Dari Abu Huroiroh ra. bahwasanya Rosululloh bersabda,” Barangsiapa beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya, menegakkan sholat dan menunaikan shaum Romadhon, maka Alloh pasti akan memasukkannya ke dalam syurga, baik dia berjihad di jalan Alloh maupun duduk  di daerah ia dilahirkan.” Para shahabat berkata,” Bagaimana kalau hal ini kami kabarkan kepada orang-orang?” Beliau menjawab,” (jangan!!!-pent) Sesungguhnya di syurga ada seratus tingkatan yang disiapkan untuk para mujahidin di jalan Alloh. Jarak antara dua tingkatan sebagaimana jarak antara langit dan bumi.”(Al-Bukhori No. 2790, Tirmidzi no. 2529, Ahmad 2/235).
        Keterangan: Rosululloh menamakan orang-orang yang duduk ditempat tinggalnya tidak ikut berperang di jalan Allah bukan mujahid sekalipun ia shalat, zakat, haji, shaum, berdakwah dan mengerjakan amal-amal sholih lainnya, padahal itu semua termasuk jihad melawan hawa nafsu. Dari sini jelas, jihad maknanya adalah berperang, bukan dakwah, atau amal sholih lainnya.
        Setiap hadits yang menerangkan fadlilah jihad maka yang dimaksud adalah jihad yang sebenarnya yaitu perang melawan orang-orang kafir dalam rangka menegakkan kalimatulloh dan tidak dibawa kepada pengertian-pengertian lain baik thalabul ilmi,  dakwah, mendirikan pondok pesantren dan madrasah membangun jembatan, menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim dan amal sholih lainnya.

        Pendapat ulama salaf dalam hal ini :
        Þ    Madzhab Hanafi:
        1. Imam Ibnul Humam berkata,” Jihad adalah mendakwahi orang kafir kepada agama yang benar dan memerangi mereka kalau tidak mau menerima. [Hasyiyah Ibnu abidin 4/121, lihat Fathul Qodir 5/436].[6]
        2. Imam Al-Kasani berkata,” Mengerahkan segala kemampuan dengan berperang di jalan Alloh dengan nyawa, harta dan lisan atau lain-lain atau melebihkan (begitu mencurahkan kemampuan) dalam hal itu.” [Bada’iu al Shana-i’ 9/4299].[7]

        Þ    Madzhab Maliki:
        1. Imam Ibnu Arafah berkata,” Perangnya orang Islam melawan orang kafir yang tidak terikat perjanjian untuk meninggikan kalimatulloh, atau karena ia mendatanginya, atau karena ia memasuki daerahnya.” [(Hasyiyatul Adawi ‘Ala Al-Sho’idi 2/2, Asy-syarhu Al-Shoghir ‘Ala Aqrobu al Masalik 2/267, [8]Balaghatu al Salik li Aqrabi al Masalik 1/354][9]
        2. Ibnu Rusyd berkata,” Setiap orang yang berpayah-payah karena Allah berarti telah berjihad di jalan Allah. Namun sesungguhnya jihad fi sabilillah kalau berdiri sendiri maka tidak ada maksud lain selain memerangi orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah dalam keadaan hina.” [Al Muqadimat al Mumahidat li Bayani Ma Iqtadhathu Rusumu al Mudawanah min al Ahkam al Sya’iyah I/259].[10]

        Þ    Madzhab Syafi’i:
        1. 1.       Imam Al-Bajuri berkata,” Jihad artinya adalah berperang di jalan Alloh.” (Hasyiyatu Al-Bajuri ‘Ala Ibni Al Qosim 2/261].[11]
        2. 2.       Imam Ibnu Hajar berkata,” Dan secara syar’i adalah mengerahkan tenaga dalam memerangi orang kafir.” [Fathu al Bari 6/3].
        3. 3.       Imam al Qasthalani berkata,” Memerangi orang kafir untuk memenangkan Islam dan meninggikan kalimat Allah.” [Irsyadu al Syari 5/31][12]

        Þ    Madzhab Hambali:
        1. “Secara syar’i adalah memerangi orang-orang kafir.” [Matholibu Uli Al Nuha 2/497,].[13]
        2. “Jihad adalah perang dengan mengerahkan segala kemampuan untuk meninggikan kalimatulloh [Umdatu al Fiqhi hal. 166, Muntaha al Irodah 1/302,].[14]
        3. Imam Al Ba’ly berkata,” Jihad secara syar’i adalah ungkapan khusus untuk memerangi orang-orang kafir.” [Al Muthli’u ‘Ala Abwabi al Muqni’ hal. 209].[15]

        Pendapat ulama salaf ini ditegaskan kembali oleh para ulama kontemporer:
        1. 1.    Dr. Abdulloh Azzam berkata,” Empat imam madzhab bersepakat bahwasanya jihad adalah perang dan tolong-menolong di dalamnya. Kesimpulannya: 1) Kata ”jihad” kalau berdiri sendiri maka artinya adalah perang dan kata “fii sabiilillah” apabila berdiri sendiri artinya adalah jihad.[16] Beliau juga berkata,” Kata jihad jika disebutkan secara sendirian (tanpa qarinah—pent) maka maknanya adalah perang dengan senjata, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd dan disepakati empat imam madzhab. [17]
        2. 2.    Syaikh Abdul Baqi Abdul Qadir Ramdhun berkata,” Jihad secara istilah. Ketika disebutkan kata jihad fi sabilillah maka maknanya adalah memerangi orang-orang kafir, menyiapkan diri untuk hal itu dan beramal di jalan hal itu.” [18]
        3. 3.    DR. Abdullah Ahmad Qadiri berkata,” Adapun pengertian jihad secara syar’i, menurut mayoritas ulama fiqih berkisar dalam arti orang Islam memerangi orang kafir.”[19]
        4. 4.    Syaikh Abdul Akhir Hammad al Ghunaimi berkata,” Adapun dalam istilah syar’i maka maknanya adalah memerangi orang-orang kafir demi meninggikan kalimat Allah.” [20]
        5. DR. Ali Nufai’ al Ulyani berkata,” Adapun definisi jihad menurut syar’i adalah memerangi orang kafir untuk meninggikan kalimat Allah dan saling membantu dalam hal itu.” [21]
        6. Syaikh Salman Fahd Audah berkata,” Jihad melawan orang kafir. Yaitu dengan memerangi mereka dan dengan mengerahkan segala hal yang dibutuhkan dalam peperangan ini baik harta, pengalaman dan lain-lain. Sebagaiman disebutkan dalam hadits Anas,”Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, nyawa dan lisan kalian.” Bila disebut kata jihad fi sabilillah maka maknanya adalah jihad dengan makna ini(perang melawan orang kafir),sebagaimana diungkapkan imam Ibnu Rusyd, (beliau menyebutkan perkataan Ibnu Rusyd).” [22]
        7. Begitu juga dengan para ulama lainnya, seperti Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz dalam risalah beliau “Jihad dan keutamaannya”[23].Dll.
        Dan kadang-kadang kata jihad digunakan juga untuk jihadun nafs, jihadusy syaithon dan jihad-jihad yang lain. Diantaranya adalah:

        وجاهدوهم به جهادا كبيرا

        “Dan jihadilah mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan jihad yang besar.” (QS.Al-Furqon: 52)

        أي  الجهاد أفضل ؟ فقال : كلمة حق عند سلطان جائر.

        “Jihad apa yang paling utama?” Beliau menjawab,” Berkata benar di hadapan pemerintah yang dholim.“ (HR Ahmad, Nasa’i 7/61, dihasankan Al Mundziri dalam At Targhiib wa at Tarhib 3/168].

        عن بن مسعود أن رسول الله قال : ما من نبي بعثه الله في أمة قبلي إلا كان له من أمته حواريون وأصحاب يأخذون بسنته و يقتدون بأمره ثم إنها تخلف من بعدهم خلوف يقولون ما لا يفعلون و يفعلون ما لا يؤمرون فمن جاهدهم بيده فهو مؤمن ومن جاهدهم بلسانه فهو مؤمن ومن جاهدهم بقلبه فهو مؤمن و ليس وراء ذلك من الايمان حبة خردل.

        Dari Ibnu Mas’ud bahwasanya Rasulullah bersabda,” Tak seorang nabi pun yang diutus sebelumku kecuali ia mempunyai shahabat– shahabat dan penolong-penolong yang setia. Mereka mengikuti sunnah-sunnahnya dan meengerjakan apa yang diperrintahkannya. Kemudian datang setelah mereka kaum yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa  yang tidak diperintahkan. Maka barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya maka dia adalah mukmin dan barang siapa berjihad dengan lisannya dia adalah mukmin dan siapa yang berjihad dengan hatinya maka dia mukmin. Setelah itu tidak ada lagi iman walaupun sebesar biji sawi. “ [Muslim no. 50].

        الجهاد أربع الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر و الصدق فى مواطن الصبر و شنان الفاسق

        Jihad itu ada empat: amar makruf, nahi munkar, berlaku benar pada tempat yang menuntut kesabaran dan membenci orang-orang fasik.”(HR. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, hasan].
        Akan tetapi jika kata jihad diungkakan secara mutlak (secara lepas) maka artinya adalah perangmelawan orang-orang kafir untuk menegakkan kalimatulloh sebagai mana diatas. Sebagai mana yang dikatakan Imam Ibnu Hajar berkata,” Secara syar’i adalah mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir, dan kadang-kadang digunakan untuk makna berjihad melawan hawa nafsu dan setan.” [Fathu al Bari 6/5]. Imam Ibnu Rusydi berkata,” Jihadus saif adalah memerangi orang-orang musyrik karena agama. Setiap orang yang berpayah-payah karena Alloh maka ia telah berjihad di jalan Alloh, akan tetapi sesungguhnya kalimat jihad fii sabilillah apabila berdiri sendiri (mutlaq) maka tidak ada arti lain kecuali jihad melawan orang-orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah dengan rendah diri.” [Al Muqoddimatu al Mumahidatu li Bayani Ma Iqtadhthu Rusunu al Mudawwanah mi Al Ahkam al Syar’iyah 1/269]. Abdul Akhir Hammad berkata:”Dan perkataan yang kami nukil ini kami tidak dapatkan seorangpun yang menyelisihinya dan begitu pula nas-nas syar’I tidaklah memberikan pengertian kecuali sebagaimanan yang kami sebutkan ini.”[24] Dalam kesempatan yang lain beliau berkata:” Yang benar, memang jihad dalam Islam mencakup jihad melawan syetan, hawa nafsu dan godaan dunia. Akan tetapi yang paling tinggi adalah memerangi musuh-musuh Allah dengan pedang dan tombak dan inilah puncak ketinggian Islam dan ini pulalah  yang dimaksud dengan jihad kalau diungkapkan secara mutlak (berdiri sendiri)”.[25] Jadi segala bentuk jihad, baik jihad melawan hawa nafsu, syetan atau godaan dunia disyari’atkan dalam Islam bahkan segala bentuk jerih payah dalam rangka beribadah kepada Alloh adalah jihad fii sabilillah. Namun semua bentuk dan macam jihad tesebut bukanlah yang dimaksud pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan jihad secara mutlak (berdiri sendiri) baik hukum-hukum yang berlaku padanya maupun keutamaan-keutamaannya.
        Demikian juga halnya dengan Ibnu Qayyim, beliau berkata,”…Kemudian diwajibkan atas kaum muslimin secara menyeluruh untuk memerangi semua orang musyrik secara menyeluruh. Yang mana sebelumnya hal ini dilarang lalu diizinkan, lalu diperintahkan untuk melawan orang-orang yang memulai perang lalu diperintahkan untuk memerangi seluruh orang musyrik, hukum perintah terakhir ini ada yang mengatakan  farhdu ‘ain namun yang masyhur adalah fardhu kifayah. Yang benar, pekerjaan jihad secara umum adalah fardhu ‘ain baik dengan hati, lisan, harta atau tangan. Semua orang Islam harus berjihad dengan berbagai bentuk jihad tersebut, adapun jihad dengan nyawa adalah fardhu kifayah sedangkan jihad dengan harta ada yang mewajibkan dan ada yang tidak. Yang benar adalah wajib juga.”
        [26]Ustadz Hasan Al-Banna berkata,” Yang saya maksud dengan jihad adalah sebuah kewajiban yang hukumnya tetap hingga hari kiamat. Ini merupakan kandungan dari apa yang disabdakan Rosululloh saw. :

        من مات ولم  يغز ولم  ينو الغزو مات ميتة جاهلية

        ”Barangsiapa mati, sedangkan ia belum pernah berperang atau berniat untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.”
        Peringkat pertama jihad adalah pengingkaran dengan hati dan peringkat terakhir adalah berperang di jalan Alloh. Di antara keduanya terdapat jihad dengan pena, tangan dan lesan berupa kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zlolim. Tidaklah dakwah menjadi hidup kecuali dengan jihad. Kadar ketinggian dakwah dan keluasan bentangan ufuknya adalah penentu bagi sejauh mana keagungan jihad di jalan-Nya dan sejauh mana pula harga yang harus ditebus untuk mendukungnya. Sedangkan keagungan pahalanya diberikan kepada mujahid.
        وجاهدوا في الله حق جهاده
        “ Dan berjihadlah di jalan Alloh dengan sebenar-benar jihad.”
        Dengan demikian engkau telah mengerti slogan abadimu:”Jihad adalah jalan kami.”
        Syaikh Said Hawa menerangkan perkataan beliau di atas dengan berkata,“ Kami sebutkan dalam kitab jundulloh tsaqofatan wa akhlaqon bahwa jihad itu ada lima macam yaitu; jihad dengan tangan, jihad dengan lisan, jihad dengan harta, jihad dengan politik.” Lebih lanjut beliau berkata,”Jika jihad disebutkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah jihad dengan tangan.” [27]


        III. DISTORSI MAKNA JIHAD :
        Saat ini, faridzah jihad merupakan faridzah yang paling banyak mendapat serangan baik dari orang-orang kafir maupun dari orang-orang Islam sendiri, baik kalangan pengikut orientalis bahkan juga sebagian ulama yang mukhlish –tanpa mereka sadari ikut menikam jihad –. Serangan-serangan ini hadir lewat berbagai pemahaman yang mereka sebarkan yang bertentangan dengan Al Qur’an, As Sunah, ijma’ salaful umah dan realita kehidupan umat Islam zaman keemasan mereka. Di antara sebagian pemahaman yang melenceng dalam memahami makna jihad ini adalah :

        1)           Makna Jihad Secara Syar’i Bukan Perang
        Ada sebagian orang saat ini yang mulai mengutak-atik makna jihad ini. Mereka memandang memaknai jihad dengan kata perang melawan orang-orang kafir merupakan pengertian yang picik, sempit dan justru semakin memojokkan Islam yang selalu dituduh pihak orientalis sebagai agama yang tesebar dengan pedang dan kekerasan, agama teroris dan sebagainya. Untuk itu, mereka mencari-cari dalil dari Al Qur’an dan As sunah, kiranya memperkuat pendapat mereka yang “moderat” tersebut. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah :
        Firman Alloh :
        وجاهدوا فى الله حق جهاده
        “Dan berjihadlah untuk Alloh dengan sebenar-benar jihad.”(QS. Al-Hajj: 78).
        وجاهدوهم به جهادا كبيرا
        “Dan jihadilah mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan jihad yang besar.” (QS.Al-Furqon: 52)
        وجاهدوا بأموالكم وأنفسكم في سبيل الله
        “Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Alloh.”

        جاهدوا المشركين بأموالكم وأنفسكم و ألسنتكم
        “Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lidah kalian.” (Hadits shohih, HR. Abu Dawud no. 2504, An-Nasa’i 7/7 dan 51, Ahmad 3/124,153,251, Ad Darimi 2/132 no. 2436, Al Baghawi no.3410).
        أي  الجهاد أفضل ؟ فقال : كلمة حق عند سلطان جائر.
        “Jihad apa yang paling utama?” Beliau menjawab,” Berkata benar di hadapan pemerintah yang dholim.“ (HR Ahmad, Nasa’i 7/61, dihasankan Al Mundziri dalam At Targhiib wa at Tarhib 3/168].

        عن بن مسعود أن رسول الله قال : ما من نبي بعثه الله في أمة قبلي إلا كان له من أمته حواريون وأصحاب يأخذون بسنته و يقتدون بأمره ثم إنها تخلف من بعدهم خلوف يقولون ما لا يفعلون و يفعلون ما لا يؤمرون فمن جاهدهم بيده فهو مؤمن ومن جاهدهم بلسانه فهو مؤمن ومن جاهدهم بقلبه فهو مؤمن و ليس وراء ذلك من الايمان حبة خردل.

        Dari Ibnu Mas’ud bahwasanya Rasulullah bersabda,” Tak seorang nabi pun yang diutus sebelumku kecuali ia mempunyai shahabat– shahabat dan penolong-penolong yang setia. Mereka mengikuti sunnah-sunnahnya dan meengerjakan apa yang diperrintahkannya. Kemudian datang setelah mereka kaum yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya maka dia adalah mukmin dan barang siapa berjihad dengan lisannya dia adalah mukmin dan siapa yang berjihad dengan hatinya maka dia mukmin. Setelah itu tidak ada lagi iman walaupun sebesar biji sawi. “ [Muslim no. 50].

        الجهاد أربع الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر و الصدق فى مواطن الصبر و شنان الفاسق

        Jihad itu ada empat: amar makruf, nahi munkar, berlaku benar pada tempat yang menuntut kesabaran dan membenci orang-orang fasik.”(HR. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, hasan].
        Di antara para ulama yang mempunyai pemahaman ini adalah DR. Yusuf Qardhawi [dalam buku beliau Fiqhu az Zakat] dan DR. Ramadhan al Buthy [dalam buku beliau Al Jihad fi al Islam Kaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numarisuhu]. Di sini hanya akan kita sebutkan pendapat Dr. Yusuf Qardhawi saja karena pendapat beliau sudah mewakili pendapat para ualama yang sependapat dengan beliau dalam hal ini. Alasan lain karena beliau termasuk ulama kontemporer yang kredibilitas keilmuan beliau diakui dan menjadi tempat rujukan umat Islam. Dr. Yusuf Qardhawi berkata,” Oleh karena itu saya condong untuk tidak memperluas cakupan fi sabilillah dengan mencakup seluruh perbuatan baik dan bermanfaat, sebagaimana saya juga tidak mempersempit cakupannya sehingga tidak terbatas kepada jihad yang berarti peperangan secara militer saja. Kadang-kadang jihad itu menggunakan pena dan lisan sebagaimana juga menggunakan pedang dan tombak. Kadang-kadang jihad berbentuk pemikiran, pendidikan, sosial, ekonomi atau politik sebagaimana kadang berupa militer…Sesungguhnya berbagai macam bentuk jihad dan aktivitas keislaman yang kami sebutkan diatas walaupun tidak termasuk makna jihad dalam nash maka wajib memasukkannya ke dalam makna jihad dengan cara qiyas, karena keduanya adalah amalan yang bertujuan untuk menolong din Allah, membelanya dan melawan musuh – musuhnya serta menegakkan kalimatullah di muka bumi.
        Beliau juga berkata,” Sesungguhnya yang terpenting dan pertama kali dianggap fi sabililillah saat ini adalah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memulai kehidupan Islami dan benar, diterapkan di dalamnya seluruh hukum Islam baik itu aqidah, pemahaman, syiar-syiar, akhlaq dan adat istiadat / budaya.  Adapun yang kami maksud dengan bekerja secara sungguh-sungguh adalah bekerja bersama-sama yang terorganisir dan terarah untuk mewujudkan hukum Islam, menegakkan daulah Islam dan mengembalikan khilafah Islamiyyah, umat dan peradabannya.” [28]
        Beliau lebih memperjelas pendapat ini,” Sesungguhnya mendirikan pusat-pusat dakwah, untuk menyeru kepada agama Islam yang benar, menyampaikan risalahnya kepada selain kaum muslimin di seluruh benua di dunia ini yang mana berbagai agama dan aliran saling bertarung adalah jihad fi sabilillah. [29]

        Jawaban Atas Berbagai Dalil di Atas :
        Definisi jihad menurut bahasa sangat umum sehingga apapun usaha seseorang dengan motivasi baik maupun buruk jika ada unsur mengerahkan kemampuan bisa tergolong jihad—menurut bahasa. Namun, Islam telah meletakkan kata jihad dengan pengertian syar’i. Ratusan kata jihad tersebar di dalam Al Qur’an dan As Sunah. Pelaksanaan dan hukum-hukum jihad sendiri juga telah diatur syariat dengan sempurna. Para ulama ushul fiqih telah menetapkan kaidah,” Makna syar’i lebih diutamakan berdasarkan pengertian syara’, daripada pengertian bahasa maupun ‘urf.” [30]
        (a)              Telah kita sebutkan di atas dasar-dasar dari Al Qur’an, As sunah dan pendapat para ulama salaf yang menyimpulkan makna syar’i dari kata jihad adalah perang melawan orang-orang kafir. Ini makna asasi dan pokok dari kata jihad. Meski demikian ada makna lain dari kata jihad ini seperti jihad melawan hawa nafsu, jihad dengan lisan, harta dan makna sekunder lainnya. Namun jihad tidak bisa dimaknakan dengan makna-makna sekunder ini, kecuali bila ada qarinah (dalil/hal lain) yang menyebabkan jihad tidak bisa dipakai dengan makna pokoknya. [31]Imam Ibnu Hajar berkata,” Secara syar’i adalah mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir, dan kadang-kadang digunakan untuk makna berjihad melawan hawa nafsu dan setan.[32]. Imam Ibnu Rusydi berkata,” Jihadus saif adalah memerangi orang-orang musyrik karena agama. Setiap orang yang berpayah-payah karena Alloh maka ia telah berjihad di jalan Alloh, akan tetapi sesungguhnya kalimat jihad fii sabilillah apabila berdiri sendiri (mutlaq)  maka tidak ada arti lain kecuali jihad melawan orang-orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah dengan rendah diri.” [Al Muqoddimatu al Mumahidatu li Bayani Ma Iqtadhthu Rusunu al Mudawwanah mi Al Ahkam al Syar’iyah 1/269].[33] Karena itu, bila sebagian besar umat Islam memahami jihad itu perang, itu sudah betul, sesuai dengan syariat dan bukan merupakan pandangan yang picik dan sempit. Adapun tuduhan orang-orang orientalis dan orang-orang kafir lainnya, memang itulah pekerjaan mereka mencari-cari celah untuk menyerang Islam. Menuduh memaknai jihad dengan perang sebagai sebab adanya tuduhan orientalis kepada Islam sebagai dien teroris dll merupakan tindakan yang tidak pada tempatnya dan tak lebih dari upaya mencari kambing hitam. Tanpa inipun, mereka akan tetap menyerang Islam dengan tuduhan-tuduhan miring. Sedangkan perkataan DR. Yusuf Qardhawi yang mendasarkan pada qiyas, maka pernyataan beliau ini tertolak karena tidak ada qiyas kalau sudah ada nash.
        (b)              Bila dikatakan makna jihad secara syar’i adalah perang, bukan artinya kita melalaikan dan mengecilkan peran penting jihad dengan arti sekunder lainnya. Tetap kita mengakui arti penting dakwah, tarbiyah, pembinaan aqidah, pembangunan pondok pesantren dan madrasah sebagai upaya pembangunan kader da’i, pembangunan jaringan ekonomi Islam dan usaha-usaha sholih lainnya. Itu semua penting, sangat penting dan jihad tak akan mungkin terlaksana tanpa adanya dukungan semua usaha tadi. Kaum muslimin hari ini, baik ulama maupun masyarakat tetap menyadari hal ini, dan itu satu hal yang patut kita syukuri dan kita tingkatkan lagi.  Adapun adanya mayoritas masyarakat umat Islam yang memahami jihad sebagai jihad dan tidak menamai aktifitas keislaman lain dengan kata jihad, maka itu sudah betul, sudah di atas rel yang lurus dan bukan hal yang berbahaya. Meluruskannya justru akan membengkokkan pemahaman yang telah benar. Kalau semua disebut jihad maka umat akan dibuat bingung membedakan mana yang bukan jihad. Sebagai contoh, seorang petani ke sawah mengatakan saya berjihad, pedagang ke pasar berkata saya berjihad, ustadz ngajar di pondok mengatakan saya berjihad, dan seterusnya, lantas mana yang tidak jihad??? Jangan-jangan, yang jihad betulan (mengangkat senjata) malah disebut teroris dst. Para ulama sendiri menyebut jihad sebagai dakwah, bukannya menyebut dakwah sebagai jihad. Sebagai contoh Imam Al Kasani mengatakan,”Dakwah ada dua: Dakwah dnegan senjata yaitu perang dan dakwah dnegan lisan yaitu tabligh.” [Badai-u al Shanai’ 9/4304][34] Di sini, bukannya menyebut dakwah dengan jihad, justru beliau menyebut jihad dengan dakwah. Walahu A’lam bish Shawab.
        (c)              Jadi, yang salah bukan mendefinisikan dan memahami kata jihad bermakna perang, namun yang salah dan tidak tepat adalah melalaikan atau mengecilkan sebagian macam-macam bentuk jihad (jihad dengan makna sekunder). Termasuk hal yang salah adalah salah menerangkan makna bentuk jihad yang paling afdhal (utama). Dari sini, bisa kita pahami — sebagai jawaban atas orang-orang yang mengatakan jihad maknanya perang merupakan pendapat yang picik dan salah — hal-hal berikut :
        1. Memang benar ayat-ayat tadi menerangkan keutamaan dan arti penting jihad da’awy (lewat dakwah) dan menyebutnya sebagai  jihadan kabiran (jihad yang besar), namun makna ayat tadi tak lebih dari pengertian ini, maksudnya bukan berarti dakwah itu jihad yang paling utama. Kalaupun kita menerima pendapat yang mengatakan  dakwah itu jihad yang paling agung dan utama, itupun tidak menjadi masalah  karena ayat ini turun di Makkah sedang para ulama dan umat Islam telah sepakat perintah jihad belum diturunkan di Makkah, saat itu perintah perang melawan orang muyrik belum ada. Bahkan, saat perjanjian Aqabah keduapun —menjelang hijrah beliau ke Madinah— ketika shahabat Anshar meminta izin menyerang penduduk kafir Mina esok harinya, beliau berkata,”Kita belum diperintahkan untuk itu.” Yang diperintahkan saat itu adalah jihad dakwah, tentu saja hal ini menjadikannya amal paling utama saat itu. Adapun mengartikan jihad adalah perang melawan orang kafir merupakan jihad paling utama, maka ini semua berangkat dari ayat niha’i dari ayat jihad yang turun tahun 9 H. Islam telah sempurna, dan hukum yang wajib diambil adalah hukum niha’i. Orang yang berjihad dan mati tidak dimandikan bahkan sebagian ulama menyatakan tidak disholati, cukup dikafani dan dikuburkan. Ini semua menunjukkan jihad itu makna syar’inya perang. Dengan demikian setiap jihad itu berarti “perang”, meskipun tidak setiap perang itu masuk kategori jihad.” [DR. Muhammad Khoir Haikal, Al Jihadu wa al Qitalu fi al Siyasah al Syar'iyah, 1/74-75]. Untuk itulah kata jihad selalu diiringi dengan kata fi sabilillah, demi menujukkan tujuannya yang mulia untuk meninggikan kalimat Allah semata. Makna yang langsung bisa dipahami dari kata fi sabilillah sendiri adalah jihad, seperti ditegaskan Imam Ibnu Hajar,”Makna yang langsung dipahami dari kata fi sabilillah adalah jihad.[35] Karena itu tak ada ulama yang memahami hadits di bawah ini untuk makna selain jihad/perang :

        عن أبي سعيد قال : قال رسول الله : ما من عبد يصوم يوما في سبيل الله إلاباعد الله بذلك اليوم وجهه عن النار سبعين خريفا. و في رواية البخاري : من صام يوما في سبيل الله بعد الله وجهه عن النار سبعين خريفا.

        Dari Abu Sa’id ia berkata,” Rasulullah bersabda,” Tidak ada seorang hamba pun yang shaum sehari saja di jalan Allah (jihad) kecuali Allah akan menjauhkan dirinya dari neraka dengan (shaum) hari itu sejauh 70 tahun.” [Bukhari no.2840, Muslim no. 1153].
        Imam Ibnu Jauzi berkata,” Jika disebutkan secara mutlaq kata sabilullah maka maknanya adalah jihad.”[36] Tak seorang ulamapun menggunakan hadits ini untuk mereka yang thalabul ilmi, berdakwah, mendirikan pondok dst. Semua ulama memasukkan hadits ini dalam hadits tentang jihad, tentang perang melawan orang kafir. Wallahu A’lam.
        1. Hadits-hadits yang disebutkan juga tidak bisa menunjukkan dakwah merupakan jihad  yang paling agung atau memaknai jihad secara syar’i dengan perang merupakan hal yang salah. Makna hadits–hadits tadi —wallahu A’lam— adalah dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan jihad melawan hawa nafsu menuntut perjuangan keras dan melawan beban yang berat. Terkadang harus mengorbankan nyawa seperti kasus amar ma’ruf di hadapan sultan yang dzalim. Namun makna hadits-hadits ini juga bisa —bahkan mungkin lebih pas— bila diterapkan dalam jihad dnegan makna perang, di mana nyawa dan harta betul-betul dicurahkan untuk meninggikan Islam, melebihi pengorbanan harta dan nyawa dalam dakwah dan jihad melawan hawa nafsu. Bahkan, perang melawan orang kafir  merupakan jihad melawan hawa nafsu yang paling besar, di mana selain nyawa dan harta dipertaruhkan, seluruh pelajaran tauhid, akhlaq dan hukm-hukum fiqih ada di dalamnya. Jihad dengan makna perang akan mengajarkan tauhid, tawakal, sabar, syukur, pengorbanan dst, melebihi jihad qauly (dakwah) dan jihad melawan hawa nafsu yang bukan di medan jihad. Bahkan jihad dengan makna perang ini telah mencakup jihad melawan hawa nafsu dan jihad qauly. Wallahu A’lam.
        2. Dalam banyak hadits disebutkan keutamaan berbagai amal. Menggunakan hadits-hadits tentang utamanya berbagai amal tadi untuk menyimpulkan makna jihad secara syar’i bukan hanya perang saja, atau memaknainya dengan perang merupakan pemikiran yang salah dan picik sama sekali tidak benar. Dalam hadits disebutkan :

        عن أبي هريرة قال : سئل رسول الله أي الأعمال أفضل ؟ قال : إيمان بالله و رسوله.  قيل : ثم ماذا ؟ قال : الجهاد في سبيل الله. قيل : ثم ماذا ؟ قال : حج مبرور.

        Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah ditanya,” Amal apakah yang paling utama ?” Beliau menjawab,” Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian beliau ditanya lagi,” Lalu apa?” Beliau menjawab,” Jihad di jalan Allah.” Kemudian beliau ditanya lagi,” Lalu apa?” Beliau menjawab,” Haji yang mabrur.” [Bukhari no.56, 1519, Muslim no. 83, Tirmidzi no. 1658, Nasa’I 8/93].

        عن بن مسعود سألت رسول الله , قلت : يا رسول الله, أي العمل أفضل ؟ قال: الصلاة على وقتها. قلت : ثم أي؟ قال : بر الوالدين. قلت : ثم أي؟ قال : الجهاد ي سبيل الله. فسكت عن رسول الله و لو استزده لزادني.

        Dari Ibnu Mas’ud,” Saya bertanya kepada Rasulullah,” Ya Rasulullah, amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab,” Shalat tepat pada waktunya.” Saya bertanya lagi,“Lalu apa?” Beliau menjawab,” Berbakti pada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab,”Jihad di jalan Allah.” [Bukhari no.2782]. Dan hadits-hadits lain yang sebagiannya telah kita sebutkan di atas.
        Dalam berbagai hadits di atas, jawaban nabi selalu berbeda-beda sesuai dengan kondisi si penanya atau kondisi waktu saat itu. Imam Ibnu Hajar berkata saat menerangkan hadits Ibnu Mas’ud tadi,” Kesimpulan para ulama mengenai hadits ini dan hadits-hadits lain yang saling berbeda mengenai amal yang paling utama bahwasanya jawaban nabi berbeda-beda sesuai kondisi si penanya dengan cara memberitahukan kepada setiap kaum apa yang mereka butuhkan atau amalan apa yang mereka senangi atau cocok untuk mereka atau (bisa) juga berbeda sesuai perbedaan waktu dengan (penjelasan) amal itu lebih utama untuk waktu itu. Karena jihad itu awal Islam adalah sebaik-baik amalan karena merupakan wasilah untuk melaksanakan (menegakkan) Islam dan memngkinkan untuk melaksanakannya. Banyak sekali nash-nash yang menyatakan shalat lebih utama dari shadaqah, meski demikian dalam kondisi menyantuni orang yang dalam keadaan terjepit lebih utama dari sholat. Atau bisa jadi bukan lebih utama dari amalan yang serupa dengannya, namun maksudnya adalah keutamaan secara mutlaq atau maknanya adalah termasuk amalan yang paling utama, kata termasuk (من) dibuang, dan itulah yang dimaksudkan.[37]
        Dengan ini bisa dimengerti cara memadukan berbagai hadits yang nampaknya bertentangan dalam masalah amalan yang paling utama inii. Kaidah yang diterangkan Ibnu Hajar ini berlaku juga untuk menerangkan jihad yang paling utama. Beliau kadang menyebut,” Seutama-utama jihad adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim.” Terkadang bersabda,” Seutama-utama jihad adlah engkau berjihad melawan nafsumu demi Allah.” Terkadang beliau bersabda,”Orang yang kudanya terbunuh dan darahnya tertumpah.” Terkadang juga bersabda,”Bagi kalian (kaum wanita) ada jihad yang paling utama yaitu haji yang mabrur.”Jawaban beliau ini berbeda-beda sesuai kondisi suasana saat itu atau kondisi si penanya. Namun demikian, tetap jihad dengan makna memerangi orang kafir dengan senjata yang mempertaruhkan nyawa dan harta itu sebagai jihad paling utama, dan itulah makna syar’i dari kata jihad. Wallahu A’lam.
        Agar jawaban di atas lebih bisa dipahami, ada baiknya kita membahas penggunaan berbagai istilah dalam Islam :

        ISTILAH SYAR’I DAN PEMAKAIANNYA
        Dalam Islam, istilah-istilah syar’i selalu mempunyai dua makna; makna bahasa dan makna syar’i atau istilah. Dalam penggunaannya, makna yang dipakai pedoman dan penilaian adalah makna syar’i/istilah. Sebagai contoh :
        a). Sholat maknanya secara bahasa adalah doa, sedang secara syar’i perbuatan dan perkataa tertentu dengan aturan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri salam. Makna sholat dengan makna bahasa “doa” ini tersebut dalam ayat dan hadits, namun demikian setiap kali kata sholat disbut maka yang langsung dipahami oleh siapapun adalah makna keduanya, makna syar’inya. Saat sholat dhuhur tiba, misalnya, seluruh orang dalam masjid mendirikan sholat Dhuhur berjama’ah, namun ada seseorang memojok dan tdak ikut sholat, ia berdiam diri dzikir atau membaca Al Qur’an. Ketika ditanya, kenapa tidak sholat ia menjawab sudah karena sholat itu kan berdoa. Akankah jawaban ini diterima? Tentu saja semua pihak akan menolaknya, bisa dipastikan ia malah dituduh pengikut kebatinan atau aliran sesat lainya. Kenapa demikian, karena ia mempermainkan istilah syariat.
        b). Shaum maknanya secara bahasa adalah diam atau menahan diri. Tidak berbicara namanya shaoum, tidak makan namanya shoum, tidak tidur namanya shaum,dst. Makna shaum secara syar’i adalah menahan diri dari makan, minum, jima’ dan seluruh pekerjaan lain yang membatalkan shoum menurut syariat sejak terbit fajar sampai tenggelamnya matahari.
        Demikian pula jihad. Ia mempunyai makna secara bahasa dan syar’i seperti telah kita terangkan di muka. Meski makna sekunder jihad banyak seperti jihad melawan syetan, melawan hawa nafsu da lain-lain, atau makna bahasanya mengerahkan segenap kemampuan, kita tidak bisa menyebut bersungguh-sungguh main bola itu jihad sekalipun seluruh tenaga terkuras habis. Kenapa?  Karna itu artinya bermain-main dengan istilah syariat. Cukuplah main bola disebut sebagai bermain bola, dakwah dengan dakwah, membangun ponpes dengan membangun ponpes dst. Cukuplah jihad itu perang melawan orang kafir. Memang bisa dimaknai dakwah dst, tapi itu kalau ada qarinah. [38]
        Kesimpulannya :
        Kata jihad diungkapkan dengan dua cara  yaitu : (1) Dengan secara mutlak (berdiri sendiri) dan (2) Dengan ungkapan yang disertai qorinah (keterangan) yang memalingkan dari makna aslinya. Jika disebutkan secara mutlak maka tidak ada arti lain kecuali perang melawan orang-orang kafir. Inilah makna syar’i yang dibicarakan seluruh ulama madzhab tadi. Jihad dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan dzirwatu sanamil islam (puncak ketinggian Islam) dan sebaik-baik amalan secara mutlak sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Nuhas[39] dan Ibnu Taimiyah[40]. Setiap hadits dan ayat yang menerangkan keutamaan jihad maka maknanya adalah jihad dalam artian perang ini. Jihad dalam pengertian ini pulalah yang hukumnya asalnya fardlu kifayah dan dalam beberapa kondisi tertentu menjadi fardlu ain. Adapun dakwah dst itu termasuk jihad dengan makna kedua, dan jihad tidak dimaknai dengan makna kedua ini bila tidak ada qarinah. Kesalahan sebagian pihak saat ini adalah memaksakan jihaddengan qarinah ini untuk bisa menempati makna jihad mutlaq tanpa qarinah ini. Wallahu A’lam.
        Oleh karena itu, Syaikh Abdul Akhir Hamad Al-Ghunaimy dalam mendudukkan persoalan ini mengatakan,” Yang benar, memang jihad dalam Islam mencakup jihad melawan syetan, hawa nafsu dan godaan dunia. Akan tetapi yang paling tinggi adalah memerangi musuh-musuh Allah dengan pedang dan tombak dan inilah puncak ketinggian Islam dan ini pulalah  yang dimaksud dengan jihad kalau diungkapkan secara mutlak (berdiri sendiri)”.[41] Begitu juga ungkapan Imam Ibnu Rusyd, yang telah kita ungkapkan dua kali di atas.
        Jadi segala bentuk jihad, baik jihad melawan hawa nafsu, syetan atau godaan dunia disyari’atkan dalam Islam bahkan segala bentuk jerih payah dalam rangka beribadah kepada Alloh adalah jihad fi sabilillah. Namun semua bentuk dan macam jihad tesebut bukanlah yang dimaksud pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan jihad secara mutlak (berdiri sendiri) baik hukum-hukum yang berlaku padanya maupun keutamaan-keutamaannya.
        Demikian juga halnya dengan Ibnu Qayyim, beliau berkata,”…Kemudian diwajibkan atas kaum muslimin secara menyeluruh untuk memerangi semua orang musyrik secara menyeluruh. Yang mana sebelumnya hal ini dilarang lalu diizinkan, lalu diperintahkan untuk melawan orang-orang yang memulai perang lalu diperintahkan untuk memerangi seluruh orang musyrik, hukum perintah terakhir ini ada yang mengatakan  farhdu ‘ain namun yang masyhur adalah fardhu kifayah. Yang benar, pekerjaan jihad secara umum adalah fardhu ‘ain baik dengan hati, lisan, harta atau tangan. Semua orang Islam harus berjihad dengan berbagai bentuk jihad tersebut, adapun jihad dengan nyawa adalah fardhu kifayah sedangkan jihad dengan harta ada yang mewajibkan dan ada yang tidak. Yang benar adalah wajib juga.” [42]Ustadz Hasan Al-Banna berkata,” Yang saya maksud dengan jihad adalah sebuah kewajiban yang hukumnya tetap hingga hari kiamat. Ini merupakan kandungan dari apa yang disabdakan Rosululloh saw. :
        من مات ولم  يغز ولم  ينو الغزو مات ميتة جاهلية
        ”Barangsiapa mati, sedangkan ia belum pernah berperang atau berniat untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.”
        Peringkat pertama jihad adalah pengingkaran dengan hati dan peringkat terakhir adalah berperang di jalan Alloh. Di antara keduanya terdapat jihad dengan pena, tangan dan lesan berupa kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zlolim. Tidaklah dakwah menjadi hidup kecuali dengan jihad. Kadar ketinggian dakwah dan keluasan bentangan ufuknya adalah penentu bagi sejauh mana keagungan jihad di jalan-Nya dan sejauh mana pula harga yang harus ditebus untuk mendukungnya. Sedangkan keagungan pahalanya diberikan kepada mujahid.
        وجاهدوا في الله حق جهاده
        “ Dan berjihadlah di jalan Alloh dengan sebenar-benar jihad.”
        Dengan demikian engkau telah mengerti slogan abadimu:”Jihad adalah jalan kami.”
        Syaikh Said Hawa menerangkan perkataan beliau di atas dengan berkata,“ Kami sebutkan dalam kitab jundulloh tsaqofatan wa akhlaqon bahwa jihad itu ada lima macam yaitu; jihad dengan tangan, jihad dengan lisan, jihad dengan harta, jihad dengan politik.” Lebih lanjut beliau berkata,”Jika jihad disebutkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah jihad dengan tangan.” [43]
        Seperti telah diungkapkan di atas, seluruh ulama menyebutkan melawan hawa nafsu, syetan, berdakwah dst itu juga jihad namun jihad dalam artian bahasa, atau jihad dalam artian sekunder. Hal itu memang benar dan tidak diingkari, namun demikian pengertian ini tetap tidak bisa dimasukkan kedalam pengertian jihad secara khusus (syar’i/saat jihad disebut secara mutlaq). Kenapa ? Karena memang perbedaan hukum-hukum, kedudukan dan keutamaannya. Hukum-hukum jihad seperti fa’i, ghanimah, kharaj, ghulul, membunuh lawan dst, keutamaan mati syahid dst, itu semua hanya berlaku untuk jihad dengan makna syar’i (mutlaq), bukan untuk dakwah dst itu. Itulah kenapa makna syar’I jihad menurut seluruh ulama salaf adalah perang, bukan dakwah dst. Karena itu tidak bisa kita artikan, misalnya, hadits orang mati syahid memberi syafa’at 70 anggota keluarganya itu untuk orang yang dakwah (tabligh atau mengajar di pondok lalu sakit dan mat, misalnya), karena hadits itu untuk jihad dengan makna syar’i, jihad dengan artian perang. Wallahu A’lam.

        PERANG ADALAH JIHAD TERBESAR.

        Belakangan ini semakin  banyak pihak yang menyatakan jihad dengan makna syar’i ini (perang) bukanlah jihad yang paling utama. Dengan berbagai dalil, mereka mencoba memperkuat pendapatnya, sebuah pendapat yang sama sekali tidak pernah dikenal salafush sholih. Ada yang mengatakan da’wah, perjuangan diplomasi dan menjadi oposisi lewat jalur MPR/parlemen merupakan jihad terbesar, dengan hadits orang yang mengatakan kebenaran di hadapan pemerintah yang dzalim. Padahal jelas sekali banyak ayat dan hadits yang menerangkan jihad dengan makna syar’i perang adalah jihad yang paling utama dan tinggi, seperti :


        لا يستوي القاعدون من المؤمنين غير أولي الضرر والمجاهدون في سبيل الله بأ‎موالهم وأنفسهم فضل الله المجاهدين بأموالهم وأنفسهم على القاعدين درجة وكلا وعد الله الحسنى وفضل الله المجاهدين على القاعدين أجراعظيما درجات منه ومغفرة ورحمة وكان الله غفورا رحيما.

        “ Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk ( tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orqng-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang –orang yang duduk satu derajat, kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan  pahala yang baik ( syurga) dan Allah melebihkan orang–orang yang jihad atas orang–orang yang duduk dengan pahala yang besar.()Yaitu beberapa derajat, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ [QS An Nisa 95-95].
        Juga
        يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُم بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِضْوَانٍ وَجَنَّاتٍ لَّهُمْ فِيهَا نَعِيمُُ مُّقِيمٌ ä خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا إِنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمُُ ä

        “Rabb mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhoan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, Rabb mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhoan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, “ [QS. At Taubah ; 21-22].
        Keterangan : Orang yang berjihad diutamakan atas orang yang duduk-duduk (tidak berjihad). Bisa jadi orang yang duduk-duduk ini melakukan jihad dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, jihad melawan hawa nafsu dan setan, karena Allah juga menjanjikan bagi mereka pahala dan kebaikan. Namun demikian tetap saja Allah melebihkan yang berjihad dengan derajat, maghfirah dan rahmat-Nya. Ini menunjukan jihad dengan makna perang adalah jihad terbesar dan paling utama. Hal ini juga menunjukkan bahwa makna jihad secara syar’i adalah perang, bukan dakwah dst.
        Rasulullah bersabda :
        رأس الأمر الإسلام وعموده الصلاة و ذروة سنامه الجهاد.
        ” Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad.”  [Tirmidzi no. 2616, Al Hakim 2/76].
        Keterangan :Dalam hadits ini Rasulullah menempatkan jihad dengan makna perang sebagai amalan paling tinggi dalam Islam, kenapa makna perang? Karena shalat sendiri adalah jihad, namun beliau tidak menyebutnya dengan jihad. Dengan demikian, jihad di sini adalah perang.

        من رأى منكم منكرا فليغيره  بيده فإن لم يستطع  فبلسانه و إن لم يستطع فبقلبه و ذلك أضعف الإيمان.
        “Siapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaklah ia merubah dengan tangan, bila tidak mampu hendaklah dengan  lisan, bila tetap tidak mampu hendaklah dengan hati dan itulah selemah-lemah iman.” [HR. Muslim no. 49, Abu Daud no. 1140 dan 4340, Tirmidzi 2172, Ibnu Majah no. 1275, Ahmad 3/54, Nasa'I 8/111].
        Keterangan : Kemungkaran yang paling besar di muka bumi ini adalah adanya kekafiran dan kesyirikan. Hadits ini menjelaskan tingkatan merubah  kemungkaran mulai dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah. Idealnya, merubah adalah dengan tangan. Kalau tidak bisa maka dengan lisan, kalau tetap tidak bisa maka dengan hati. Merubah dengan tangan termasuk di dalamnya adalah jihad. Dengan demikian, jihad dengan artian perang lebih utama dari jihad da’wah, jihad melawan hawa nafsunya sendiri dst. [Lihat penjelasan hadits ini dalam Jami'u al Ulum wa al Hikam hal. ]. Juga hadits Ibnu Mas’ud tentang amar ma;ruf nahi mukar di atas, dimana disebutan yang paling tinggi adalah amar makruf dengan tangan, termasuk di dalamnya jihad.
        Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. ia berkata,” Dikatakan kepada Rosululloh saw,” Wahai Rosululloh, orang bagaimanakah yang paling utama ?” Rosululloh saw. Menjawab,” Orang mukmin yang berjihad di jalan Alloh dengan jiwa dan hartanya.” Mereka bertanya lagi,” Kemudian siapa?” Beliau menjawab,” Seorang mukmin yang (menyendiri) berada dalam suatu lembah, takut kepada Alloh dan meninggalkan  manusia karena kejahatan mereka .”(Al-Bukhori no. 2786].
        Imam Ibnu Daqiq al ‘Ied berkata,” Qiyas menuntut  jihad menjadi amalan dengan kategori wasilah yang paling utama, karena jihad merupakan sarana untuk meninggikan dan menyebarkan dien serta memadamkan kekafiran, sehingga keutamaannya sesuai dengan keutamaann hal itu. Wallahu A’lam.”  [44]
        Dari Abu Huroiroh ra. Beliau berkata,“ Datang seseorang kepada Rosululloh saw. Lalu berkata,” Tunjukkan padaku sebuah amalan yang bisa menyamai jihad !!” Beliau menjawab,”Aku tidak mendapatkannya. Apakah kamu mampu apabila seorang mujahid keluar, kamu masuk masjid lalu sholat dan tidak berhenti dan kamu shaum dan tidak berbuka?” Orang tersebut berkata,” Siapa yang mampu melakukan hal tersebut???” Abu Huroiroh berkata,” Sesungguhnya bermainnya kuda seorang mujahid itu dicatat sebagai beberapa kebaikan.”(Al-Bukhori no. 2785].
        Imam Ibnu Hajar berkata,” …(Hadits) ini merupakan keutamaan yang jelas bagi mujahid fi sabilillah, yang menuntut tak ada amalan yang menyamai jihad.” [45]

        قال قتادة : سمعت أنس بن مالك عن النبي قال: ما أحد يدخل الجنة يحب أن يرجع إلي الدنيا و له ما  على الأرض من شيئ إلا  الشهيد يتمنى أن يرجع إلى الدنيا فيقتل عشر مرات لما يرى من الكرامة.

        Qatadah berkata,” Saya mendengar Anas bin Malik dari Nabi beliau bersabda,” Tidak ada seorang pun masuk surga yang ingin kembali ke dunia padahal ia  mempunyai (di surga) seluruh apayang ada di dunia, kecuali orang yang mati syahid. Ia berangan-angan kembali ke dunia dan terbunuh sepuluh kali, karena ia mengerti keutamaan (bila mati syahid di medan perang).” [HR. Bukhari no. 2817].
        Hadits ini juga diriwayatkan oleh imam An Nasa’I dan al Hakim. Imam Ibnu Bathal berkata,”Hadits ini merupakan hadits yang paling agung dalam menerangkan keutamaan mati syahid. Tidak ada amal kebaikan yang di dalamnya nyawa diprtaruhkan selain jihad, karena itu pahalanya pun besar.” [46]
        Berkaitan dengan makna jihad ini, ada kekhawatiran mendalam di mana kadang-kadang (dan sayangnya  ini sudah menjadi realita) perluasan makna syar’i jihad dari perang menjadi thalabul ilmi juga jihad, tashfiyah juga jihad, dakwah juga jihad, membangun ponpes dan madrasah juga jihad, menyantuni anak yatim juga jihad, berjuang lewat parlemen/jalur konstitusi juga jihad dst ini dijadikan alasan untuk mencukupkan diri/ organisasi/ jam’iyah/ partai/ jama’ahnya dengan bidang yang digelutinya, tidak mengadakan i’dad (persiapan secara militer untuk jihad dengan makna syar’i perang) dengan beralasan bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah jihad. Lebih buruk lagi bila ditambah dengan menuduh orang yang mengartikan jihad dengan perang lalu mengadakan i’dad (persiapan militer) sebagai picik, tak berwawasan luas, teroris, merusak medan dakwah dll. Inilah yang mengundang kritik banyak ulama yang berusaha keras meluruskan berbagai penyimpangan ini.
        Sebenarnya perselisihan yang terjadi dalam masalah ini, tidaklah berbahaya kalau hanya ikhtilaful lafdzi (perbedaan dalam menggunakan istilah) saja. Artinya masing-masing pendapat tidak meninggalkan amalan yang dilakukan oleh yang lain, dan juga tidak mencampur adukkan dalil misalnya menggunakan dalil-dalil keutamaan perang untuk dakwah dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, perselisihan ini tidak menimbulkan perselisihan dalam beramal kecuali pada masalah-masalah yang memang masih diperbolehkan untuk berijtihad dan berselisih pendapat. Sehingga yang berjihad dengan makna syar’i perang tidak mengabaikan dan meremehkan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, begitu juga sebaliknya yang tidak berjihad tidak mengabaikan dan meremehkan kewajiban perang melawan orang-orang kafir. Wallahu A’lam.

        2) Jihadun nafs dan jihadusy syaithon.
        Selain mengartikan jihad dengan berbagai amalan di luar perang melawan orang kafir, di kalangan kaum muslimin juga tersebar luas pemahaman bahwa perang melawan musuh adalah jihad ashghor sedangkan jihadun nafs adalah jihad akbar. Dalil yang dijadikan sandaran :

        قدمتم خير مقدم وقدمتم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر مجاهدة العبد هواه

        “Kalian datang sebagai sebaik-baik pendatang, dan kalian datang dari jihad ashghor menuju jihad akbar yaitu jihad melawan hawa nafsu.” Dalam riwayat lain :

        رجعنا من الجهاد الأصغرإلىالجهاد الأكبر قالوا وما جهاد الأكبر قال جهاد القلب أو جهاد النفس

        Juga hadits :

        والمجاهد من جاهد نفسه فى طاعة الله والمهاجر من هجر ما نهي عنه

        ” Mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dalam rangka ta’at kepada Allah dan muhajir adalah orang yang berhijrah dari larangan-larangan Allah”.
        Juga perkataan Imam Ibnu Qoyyim,Oleh karena jihad melawan musuh-musuh Allah yang dhohir itu adalah cabang dari jihad nafs karena Allah, sebagaimana sabda Nabi,” Mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dalam rangka ta’at kepada Allah dan muhajir adalah orang yang berhijrah dari larangan-larangan Allah.” maka jihadun nafs lebih didahulukan dari melawan musuh yang dhohir, dan jihadun nafs adalah pokok dari pada jihad kuffar karena siapa belum berjihad melawan hawa nafsunya dengan  melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya serta memerangi hawa nafsu karena Allah dia tidak akan mampu untuk berjihad melawan musuh-musuh Allah yang dhohir. Bagaimana mungkin dia mampu berjihad melawan musuh Allah, sedang musuh yang mengusai dirinya saja belum ia perangi? Ia tidak akan mungkin mampu keluar pergi berjihad melawan musuh Allah sampai ia berjihad menundukkan hawa nafsunya sehingga mau keluar melawan musuh-musuh Allah. Seorang hamba diuji untuk berjihad melawan kedua musuh ini (musuh yang lahir dan bathin). Di antara kedua musuh tersebut masih ada lagi musuh ketiga, ia tidak akan mungkin memerangi kedua musuh tersebut kecuali bila dia (telah) bisa melawan musuh yang ketiga yang melemahkan semangatnya, menakut-nakuti dan selalu membikin khayalan baginya betapa beratnya jihad melawan keduanya dan hilangnya seluruh kesenangan. Ia tidak mungkin berjihad melawan kedua musuh tersebut musuh tersebut kecuali setelah melawan musuh yang ketiga ini. Karena itu jihad melawan musuh yang ketiga ini pokok dari jihad melawan kedua musuh di atas. Musuh yang ketiga ini adalah syaithon. Allah berfirman,Sesungguhnya syaithon itu musuh bagi kalian maka jadikanlah ia sebagai musuh.” Perintah untuk menjadikan syaiton sebagai musuh adalah peringatan supaya mengerahkan segala kemampuan untuk memeranginya, karena syaithan (merupakan) musuh yang tidak pernah berhenti untuk memerangi hamba setiap detak nafas, dengan demikian maka sebenarnya seorang hamba diperintah untuk memerangi tiga musuh ini.”[47]

        Jawaban Atas Pernyataan Ini :
        1. Hadits pertama begitu terkenal di masyarakat kita. Untuk menjawabnya kita serahkan kepada para ulama pakar hadits. Komentar Ulama’ hadits tentang hadits ini ;
        Para ulama hadits yaitu imam Ibnu Mu’in, Al Baihaqi, Al-‘Iroqi dan al Suyuti menyatakan bahwa sanad hadits ini dhoif, sebagian ulama hadits lainnya seperti Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah menyatakan hadits ini hadits palsu  :
        • Imam Al Iraqy berkata dalam takhrij Ihya’ Ulumi al Dien 2/6,”Diriwayatkan oleh Al Baihaqy dalam kitab al Zuhdu dari riwayat Jabir, sanad hadits ini lemah.”
        • Imam Ibnu Hajar dalam takhrij al Kasyaf 4/114 berkata,” Hadits ini dari riwayat Isa bin Ibrahim dari Yahya bin Ya’la dari Laits bin Abi Sulaim. Ketiga perawi ini lemah. Juga diriwayatkan oleh an Nasa’i dalam kitab al Kuna dari perkataan Ibrahim bin Abi Ablah, seorang tabi’in dari Syam.”
        • Dalam Tasdidu al Qaus, beliau juga berkata,” Hadits ini begitu terkenal di kalangan mansyarakat, (padahal) merupakan perkataan Ibrahim bin Abi Ablah, dalam kitab al Kuna karangan imam an Nasa’i.”
        • Syaikh Zakaria al Anshari dalam Ta’liq atas tafsir al Baidhawi menyatakan bahwa imam Ibnu Taimiyah berkata tentang hadits ini,” Tidak ada asalnya (hadits palsu).” Ibnu Hajar berkata tentang perawi Yahya bin Al Ala,” Dia tertuduh memalsukan hadits.” Imam Ad Dzahabi berkata,” Imam Abu Hatim berkata,“Dia tidak kuat periwayatannya.” Imam Ad-Daruqutni berkata,”Dia matruk (tertuduh memalsu hadits). Imam Ahmad berkata,” Dia adalah kadzdzaab ( pembohong/ pemalsu hadits).”
        • Syaikh Nashirudin al Albani menyatakan hadist ini munkar (sangat lemah).[48]
        • Imam Ibnu Taimiyah berkata,” Adapun hadits yang diriwayatan oleh sebagian orang bahwa beliau datang dari perang Tabuk dan bersabda,”Kita kembali dari al jihad al asghar menuju al jihad al akbar,”maka tidak ada asalnya (hadits palsu) dan tak seorang ulama hadits pun yang meriwayatkannya. Jihad melawan orang-orang kafir adalah seutama-utama amalan bahkan amalan paling utama yang dikerjakan oleh manusia.” Beliau menyebutkan banyak dalil yang menerangkan hal ini antara lain QS. 4:95, 9:19-22, dll. [Majmu’ Fatawa 11/197]. Dengan demikian, pendapat yang mengatakan jihad melawan hawa nafsu merupakan jihad akbar ini jelas salah kaprah, sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an dan As-sunnah. Hadits pertama ini jelas-jelas bertentangan dengan ayat Al Qur’an [QS. 4:94-96] dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang menerangkan keutamaan jihad yang sebagiannya telah kita singgung di atas.
        • Seperti disebutkan Imam Ibnu Hajar, perkataan ini adalah perkataan Ibrahim bin Abi Ablah. Diriwayatkan ketika ada pasukan kembali dari medan perang, Ibrahim bin Abi Ablah berkata,” Kalian telah kembali dari jihad asghar. Lantas apa yang kalian kerjakan dalam jihad akbar, yaitu jihadul qalb.’[49] Namun riwayat ini diragukan, mengingat sanadnya tidak bersih. Imam ad Daruquthni berkata,” Ibrahim bin Abi Ablah adalah seorang yang tsiqah, namun jalan-jalan (sanad) kepadanya tidak bersih.” [Siyaru A’lam 6/324]. Selain sanadnya tidak kuat, beliau juga manusia biasa, perkataan beliau jelas salah karena bertentangan dnegan Al Qur’an dan As Sunah. Kalaupun tetap dipakai, maknanya adalah setelah berperang maka janganlah lupa akan jihad melawan hawa nafsu. Karena kemenangan dalam medan perang selalu berasal dari amal sholih, sebagaimana dikatakan shahabat Abu Darda’,” Kalian berperang (bermodalkan) amal kalian.”[50] Dengan demikian, thalabul ilmi saja, tasfiyah saja, amalan sunat saja tanpa perang melawan orang kafir justru berarti terjebak dan ditawan oleh hawa nafsu dan setan.
        2. Hadits kedua sudah dijelaskan dalam keterangan terdahulu tentang cara memahami hadits-hadits yang menerangkan amal yang paling utama. Sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu Hajar, jawaban nabi ini disesuaikan dengan kondisi si penanya atau kondisi waktu dan tempat saat itu. Barangkali si penanya masih bergelimang dosa, sehingga nabi menyatakan kepadanya bahwa berjuang mengalahkan hawa nafsu itu jihad terbesar baginya. Namun keterangan ini akan kita tambahkan lagi mengingat banyak yang memperalat perkataan Imam Ibnu Qayyim untuk menomor sekiankan perang melawan orang kafir. Mereka mengatakan jihad melawan hawa nafsu adalah jihad terbesar, (mereka selalu berfikir) untuk apa memerangi orang kafir kalau hal itu hanyalah jihad asghar, bukankah lebih utama bila mereka jihad melawan hawa nafsunya dan setan ? (mereka selalu berfikir) Mereka tidak akan berjihad melawan orang kafir sampai mereka mengalahkan hawa nafsu, sampai iman dan aqidah mereka seperti iman para shahabat, sampai mereka bersih dari dosa. Untuk itu tidak boleh berjihad sampai mendapatkan tarbiyah dan tasfiyah, sampai akhirnya lulus dari dua program ini.
        Untuk menjawab hal ini, pemimpin para ulama salaf, imam Ibnu Qayyim dan Ibnu Taimiyah sendirilah yang paling berhak. Imam Ibnu Qayim menyebutkan 7 tingkatan jebakan setan yaitu:1) kekafiran. 2) Bid’ah. 3) Dosa besar. 4) Dosa kecil. 5) Menyibukkan dengan hal-hal mubah. 6). Menyibukkan dengan amalan yang kurang utama atass amalan yang lebih utama. 7). Berbagai tekanan, intimidasi fisik dan perang dengan mengerahkan tentara setan, yaitu orang-orang kafir.[51] Setan mengenal betul Fiqih Maratibu al A’mal. Ia memulai menjebak manusia dengan kekafiran, bila gagal dengan bid’ah, bila gagal dengan dosa besar, dst. Seorang muslim yang cerdik akan bisa menyatakan yang pertama kali harus diberantas adalah kekafiran dan kemusyrikan, baru kemudian bid’ah, setelah itu dosa besar, lalu dosa kecil, dst. Hari ini, tak kurang dari 4,5 milyar umat manusia masih kufur dan musyrik. Bukan itu saja, mereka juga meraja lela di dunia ini dengan mengatur dunia sesuka hati mereka, dengan aturan setan dan menindas serta membantai Islam dan kaum muslimin. Bila seseorang gagal dijebak oleh setan dengan enam jebakan pertama maka ia kan dihadapi setan dengan cara kekerasan, yaitu perang fisik antara wali Allah dan wali setan. Dengan demikian, perang melawan orang-orang kafir merupakan tingkatan yang paling utama dan paling tinggi. Tingkatan tertinggi ini oleh imam Ibnu Qayyim disebut sebagai ibadah yang hanya bisa dilakukan oleh khawashul ‘arifin. Ubudiyah ini disebut sebagai Ubudiyah Muraghamah, ibadah yang membuat musuh-musuh Allah marah dan takut. Beliau menyebutkan beberapa dalil hal ini, antara lain: [QS. An Nisa’:100, Al Taubah: 120-121 dan Al Fath: 29].[52]
        Dengan demikian jihadun nafs yang dimaksud oleh Imam Ibnu Qoyyim tidaklah sama dengan apa yang dipahami oleh sebagian orang yang mengharuskan belajar, tarbiyah dan tashfiyah tadi. Makna jihad nafs menurut Ibnu Qoyyim adalah menepati perintah–perintah Allah secara kaffah dan mendakwahkannya pada seluruh manusia dengan merealisasikan tauhid dan mengkufuri thaghut. Jihad melawan orang kafir dengan pedang itu adalah buah dari aplikasi tauhid. Ibnu Qoyyim membagi jihad nafs itu dengan empat tahapan :
        a).  Berjihad dengan mempelajari din yang haq ( Islam ).
        b). Berjihad dengan mengamalkan perintah – perintah agama yang telah dipelajari.
        c). Berjihad dengan mendakwahkan agama Islam serta mengajarkannya kepada orang yang tidak tahu.
        d). Berjihad dengan bersabar terhadap rintangan-rintangan dakwah. [53]
        Mempelajari dinul haq, mengamalkannya, mendakwahkannya kepada manusia serta bersabar di jalan dakwah tidak sama dengan orang yang menyatakan jihad melawan hawa nafsu itu dengan membersihkan batin, menggodok diri, membersihkan dengan berbagai amalan sampai mencapai derajat ketaqwaan yang meyakinkan., Memerangi orang-orang kafir adalah salah satu ajaran dinul haq, harus diamalkan dan didakwahkan. Apa benar membersihkan batin dan hati dari maksiat itu lebih utama dari membersihkan bumi dari kesyirikan dan kekafiran  ? Membersihkan batin memang penting sekali, sebagai wasilah untuk memebersihkan bumi dari syirik dan orang penganut-penganutnya. Tapi tidak boleh berhenti sampai di tingkatan wasilah saja, kapan ghayahnya dicari?
        Sholat itu ghayah, wudhu wasilahnya. Kalau ada orang berwudlu, setiap kali selesai berwudlu, dia ulang lagi dari awal hingga waktu sholat habis dan lewat sedang ia belum sholat, maka ia bermaksiat kepada Allah. Demikian juga dengan jihad melawan orang kafir. Ia berawal dari melawan hawa nafsu dan setan. Namun bukan berarti kalau belum mampu mengalahkan setan dan hawa nafsunya ia tidak boleh berperang. Justrru bila berpikiran demikian, ia telah terjebak dalam jebakan setan. Kenapa, karena melawan hawa nafsu dan setan itu sepanjang umur kita. Akhirnya kita tak akan pernah melawan orang kafir dengan alasan iman kita belum benar, aqidah kita belum sekokoh shahabat dst. Mengatakan jihad nafs itu jihad akbar, tapi belum pernah terdetik dalam hatinya untuk berperang, bukankah kalau mati ia terkena hadits Rasulullah;

        من مات ولم يغز ولم يحدث به نفسه مات على شعبة من النفاق

        “Barang siapa mati sementara ia belum pernah berperang dan belum pernah terdetik dalam hatinya untuk berperang, maka kalau mati ia mati pada salah satu cabang kemunafikan.” [HR. Muslim].
        Makna hadits ini sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Tamiyah adalah,” Lafal al faqru dalam syar’i kadang bermakna faqir (membutuhkan) harta dan kadang bermakna makhluk membutuhkan Rabbnya. Sebagaimana Allah berfirman,” Sesungguhnya sedekah (zakat) itu untuk para fuqara’, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, budak, orang-orang yang berhutang, jalan Allah dan orang-orang yang dalam perjalan dan kehabisan bekal, sebagai sebuah ketetapan yang diwajibkan Allah.”[QS. Al Taubah :60]. Allah juga berfirman,”Wahai manusia, kalian faqir (membutuhkan) Allah.” Dalam Al Qur’an Allah memuji dua golongan fuqara’ yaitu: orang yang menerima sedekah dan orang yang menerima fa’i. Allah berfirman tentang yang pertama:

        لِلْفُقَرَآءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي اْلأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَآءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْئَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَاتُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ ä

        ” (Berinfaqlah) Bagi para faqir yang tertahan di jalan Allah (jihad), mereka tidak dapat berusaha di muka bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka itu orang kaya  karena memelihara diri dari meminta-minta…”[QS. Al Baqarah :273], sedang bagi yang kedua yang merupakan kelompok yang lebih utama, Allah berfirman :

        لِلْفُقَرَآءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا وَيَنصُرُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ ä

        ” Bagi para faqir yang berhijrah, yang diusir dari negerinya dan dari harta bendanya karena mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya serta menolong Allah dan Rassul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”[QS.Al Hasyr: 8].
        Inilah sifat muhajirin yang berhijrah meninggalkan kejahatan dan berjihad melawan musuh-musuh Allah secara lahir dan batin. Sebagaimana sabda Nabi,” Orang mukmin itu orang yang darah dan harta orang lain selamat dari gangguannya, orang muslim itu orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya, orang yang berhijrah itu orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah orang yang berjihad itu orang yang berjuang melawan hawa nafsunya demi Allah.[54]
        Di sini, beliau menyatakan muhajirin yang berhijrah dan berjihad lebih utama dari orang fakir karena waktunya habis untuk jihad (perang), lantas bagaimana dengan yang sekedar melawan hawa nafsu dan belum (apalagi tidak ada niatan) berjihad? Kenapa demikian? Orang yang berperang mengalahkan dua musuh yaitu musuh lahir dan musuh batin, sedang yang berjihad melawan nafsunya hanya berjuang melawan musuh batin saja. Sedang kesyirikan, kemungkaran, kebid’ahan, dosa besar, dosa kecil, perbuatan mubah yang tak berpahala dst belum ia berantas, minimal belum ia usik.
        Dari sini kita akan memahami orang yang berjihad justru merupakan orang yang telah mengalahkan hawa nafsu dan setan, orang yang tidak berjihad tanpa udzur syar’i berarti kalah dengan nafsu dan setan. Inilah makna perkataan Ibnu Qayyim di atas,” siapa belum berjihad melawan hawa nafsunya dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya serta memerangi hawa nafsu karena Allah dia tidak akan mampu untuk berjihad melawan musuh-musuh Allah yang dhohir. Bagaimana mungkin dia mampu berjihad melawan musuh Allah, sedang musuh yang mengusai dirinya saja belum ia perangi? Ia tidak akan mungkin mampu keluar pergi berjihad melawan musuh Allah sampai ia berjihad menundukkan hawa nafsunya sehingga mau keluar melawan musuh-musuh Allah.” [55]
        Allah berfirman:
        لا يَسْتَوِى الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا.    درجات منه و مغفرةو رحمة.

        “Tidaklah sama antara orang mukmin yang tak mempunyai udzur yang duduk saja (tidak berjihad) dengan mujahidin fi sabililah dengan harta dan nyawa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan nyawa mereka atas orang-orang yang duduk saja (tidak berjihad) dengan satu derajat. Kepada masing-masing Allah menjanjikan kebaikan. Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan nyawa mereka dengan pahal yang besar. (95) yaitu beberapa derajat, ampunan dan rahmat Allah.” [QS. Al Nisa’: 95-96].
        Dalam hadits disebutkan :

        إن في الجنة مائة درجة أعدها الله للمجاهدين في سبيل الله ما بين درجتين كما بين السماء والأرض

        ” Sesungguhnya di janah ada seratus tingkatan yang disiapkan untuk para mujahidin di jalan Alloh. Jarak antara dua tingkatan sebagaimana jarak antara langit dan bumi.”(Al-Bukhori No. 2790, Tirmidzi no. 2529, Ahmad 2/235). Dalam riwayat Imam A Tirmidzi,” Antara dua derajat selama seratus tahun.” Dalam riwayat Imam Al Thabrani,” lima ratus tahun.” [Fathu al Bari 6/15].
        Ini baru makna derajat, belum rahmah, maghfirah dan ajrun adzim yang dijanjikan Allah, yang semuanya tertera dalam buku-buku hadits. Dengan demikian, keutamaan yang berperang di jalan Allah jauh di atas orang yang hanya jihadun nafs (tasfiyah, tarbiyah dst) saja tanpa jihad.
        Bila kita kembali kepada sunah nabawiyah, akan kita pahami dengan baik bahwa maksud berjihad melawan hawa nafsu adalah belajar ilmu yang dengannya aqidah dan ibadahnya benar. Bila sudah berilmu maka ia segera mengamalkannya. Itulah berjihad melawan hawa nafsu itu. Imam Bukhari menyebutkan dalam shahihnya dalam Kitabu Jihad sebuah  bab,” Amalun Sholihun qabla al Qital” {amal sholih sebelum perang}. Beliau menyebutkan perkataan Abu Darda’,” Sesungguhnya kalian itu berperang dengan amal-amal kalian.” Lalu menyebutkan QS. Ash Shaf ; 2-4. Beliau lalu menyebutkan hadits :

        عن أبي إسحاق سمعت البراء يقول : أتى النبي رجل مقنع بالحديد فقال : يا رسول الله, أقاتل أو أسلم ؟ قال :  أسلم ثم قاتل. فأسلم ثم قاتل فقتل,فقال رسول الله : عمل قليلا و أجر كثيرا.

        Dari Abu Ishaq ia berkata,” Saya mendengar al Bara’ bin Azib berkata,”Seorang laki-laki mendatangi Nabi sedang ia telah memakai helm besi untuk perang dan bertanya,” Ya Rasulullah, saya masuk Islam dulu atau ikut perang dulu?” Beliau menjawab,’ masuklah Islam baru kemudian ikut berperang?” Maka ia masuk Islam dan ikut berperang, sampai akhirnya terbunuh. Maka Rasulullah bersabda,” Ia beramal sdikit dan mendapat anyak pahala.” [Bukhari no. 2808].
        Ibnu Ishaq dalam al Maghazi dengan sanad yang shahih menyebutkan bahwa Amru bin Tsabit tidak mau masuk Islam. Ketika terjadi perang Uhud, ia ikut perang sampai terluka parah (padahal masih musyrik). Para shahabatnya (kaum anshar, sudah mukmin) bertanya kepadanya,” Apa yang membuatmu ikut berperang, apakah karena sayang dengan kaummu atau karena ingin masuk Islam?” Maka ia menjawab,” Karena ingin masuk Islam.” Maka Rasulullah bersabda,” Ia termasuk penduduk surga.” Imam Abu Daud dan al Hakim menyatakan ia tidak mau masuk Islam karena menolak pelarangan riba. Ia meninggal dalam perang Uhud dan masuk surga, padahal belum pernah melakukan sekalipun dari kewajiban shalat lima waktu.[56]
        Imam Bukhari menyatakan pentingnya amal sholih (jihad melawan hawa nafsu) dengan menyebutkan nama bab, ayat dan perkataan shahabat Abu Darda’. Namun kenapa hadits yang disebutkan tidak ke arah itu ? Ini semua menunjukkan yang disebut jihad melawan hawa nafsu bukanlah seseorang harus belajar aqidah, syariah, akhlaq, ilmu hadits dan detail-detail masalah agama lainnya sampai habis bertahuntahun, setelah itu mengamalkan, baru berdakwah dan berjihad. Bukan itu jihad melawan hawa nafsu itu. Jihad melawan hawa nafsu memang terdiri dari empat unsur yang disebutkan Imam Ibnu Qayim tadi, tapi tidak berarti setiap orang harus melalui empat tahapan ini. Makna jihad melawan hawa nafsu adalah bila ia telah mempunyai ilmu, maka ia langsung mengamalkannya. Seperti shahabat yang baru tahu ilmu masuk Islam itu wajib, maka ia masuk Islam dan ikut berperang. Rasulullah tidak menyuruhnya untuk tinggal di Madinah, belajar wudhu. shalat, zakat, shaum, haji, dzikir, memperkuat iman sampai sperti shahabat Abu Bakar. Tidak. Tahu Islam itu wajib dianut, langsung jihad. Demikianlah, bila ia tahu shalat, maka shalat dan jihad. Begitu seterusnya. Bagi yang belum bisa berangkat jihad maka ia harus senantiasa thalabul ilmi, membina iman dan kemiliteran, beramal dan berdakwah sampai saat mampu berjihad maka ia terjun berjihad.
        Kondisi umat Islam saat ini sama persis dengan kondisi zaman Rasulullah hidup. Umat Islam dibantai di mana-mana, medan jihad terbuka luas. Orang Islam yang mampu mestinya berjihad ke medan perang, bukannya kita haruskan untuk belajar dulu bertahun-tahun sampai aqidah dan ibadahnya lurus. Cara ini sama sekali bertentangan dengan sunah nabawiyah. Justru dengan adanya peerang (jihad), masyarakat di tempat jihad yang sebelumnya masih tenggelam dengan kemaksiatan, sama sekali jauh dari aqidah tauhid bisa dibenahi dengan hadirnya sebagian kecil umat Islam yang sudah mengenal tauhid dan ibadah yang benar serta memahami Islam secara baik. Dari sini kita harus membedakan antara teori dengan praktek, antara dirasah aqidah dengan aqidah itu sendiri. Belajar aqidah maknanya mempelajari kitab-kitab aqidah mu’tabarah karangan para ulama salaf, adapun aqidah maka itu terbukti di medan jihad di mana tawakal, khauf, raja’, shabar terbukti. Di medan nyata inilah terlihat siapa yang gugur siapa yang tangguh. Betapa banyak para ulama dan kyiai kita yang pertama kali mengungsi bersama keluarganya dan tak pernah kembali, meninggalkan masyarakat yang awam tak mengenal aqidah dan ibadah yang benar berjuang melawan orang-orang kafir sendirian. Kalau begitu, mana jihadu nafs yang selama ini diteriakkan?.
        Justru, orang yang berperanglah yang sesungguhnya berjuang melawan hawa nafsu dan syaithan. Buktinya, ia berjuang agar bisa shabar, tawakal, zuhud, cinta akhirat, tak takut mati, taat kepada pimpinan dalam kebaikan, selalu menjaga darah, harta dan agama kaum muslimin dst. Sedang yang thalabul ilmi dan tasfiyah (amalan-amalan sunah), ia tak akan mengerti betul apa itu sabar, tawakal dst, karena tantangan yang dihadapinya relatif kecil bila dibandingkan mereka yang berjihad melawan musuh dan menantang maut. Ini, sekali lagi bukan mengecilkan arti jihad melawan nafsu dan setan, bukan, namun untuk mendudukkan masalah ini secara proporsional.

        3. Sebagaimana disebutkan DR. Idris Muhammad Ismail dan DR. Muhammad Khalid Isthanbuli, pembagian jihad menjadi jihad asghar (melawan orang kafir) dan akbar (melawan hawa nafsu dan setan) ini merupakan musibah terbesar yang ditimpakan musuh-musuh Islam atas jihad fi sabilillah. Mereka mengetahui dengan adanya jihad (perang melawan orang kafir), Islam akan senantiasa jaya dan mengalahkan orang kafir. Karena itu mereka menjebak umat Islam dengan cara halus dan damai, melalui cara ini. Mereka pintar, mengetahui bahwa selama manusia masih hidup ia tak akan pernah lepas dari serangan hawa nafsu dan setan. Dengan semikian umat Islam akan sibuk bertasfiyah, melakukan berbagai amalan sunah, thalabul ilmi dan riyadhah agar lepas dari hawa nafsu dan setan. Akhirnya waktunya habis dan musuh-musuh Islam bisa melenggang ringan menyebarkan kekafiran di seluruh penjuru dunia. [57]
        Dari sini jelaslah kemurnian pemaham salafu al sholih, di mana saat menyebutkan kitab jihad mereka hanya menyebutkan perang, hukum-hukum perang, anjuran mencari syahid dst. Mereka tidak melalaikan jihad melawan hawa nafsu, namun mereka meletakkannya dalam kitab tersendiri yang mereka namai kitab al Zuhdu dan al Raqaiq. Mereka tidak mencantuman tarbiyah wa tashfiyah ini dalambab jihad. Inilah fiqih salafu al sholih yang mesti kita ikuti. Wallahu A’lam. [Masyari’u al Aswaq 1/34]. Wallahu A’lam.

        Beberapa Catatan:
        1. Keutamaan jihad dengan nyawa dan harta di atas jihad dengan dakwah seperti diterangkan di atas adalah bagi orang yang jihad (perang) dan dakwah baginya fardhu kifayah. Adapun bagi orang yang dakwah baginya fardhu ‘ain seperti dalam kondisi di daerah di mana tak ada da’i lain selainnya maka dakwah lebih utama baginya. Imam Ibnu Hajar berkata,” Seakan-akan maknanya adalah bahwa seorang mukmin yang melaksanakan hal yang fardhu ‘ain atasnya lalu ia mendapatkan keutamaan ini (jihad), bukan atas orang yang melaksanakan jihad saja dan melalaikan  kewajiban-kewajiban ‘ain lainnya. Ketika itulah terlihat keutamaan mujahid karena ia telah mencurahkan nyawa dan hartanya untuk Allah semata, juga karena jihadnya merupakan manfaat yang mengenai orang lain.” [Fathu al Bari 6/6].
        2. Termasuk fiqih dakwah adalah bagi para da’i dan thalibul ilmi untuk memperhatikan keadaan umat Islam, apa yang mereka butuhkan, apa yang belum mereka ketahui, apa yang mereka lalaikan. Hari ini, mayoritas umat Islam tidak mengerti fiqih jihad dengan makna perang ini. Musuh-musuh Islam menghinakan dan membantai kaum muslimin di mana-mana, sementara para penguasa di negara-negara berpenduduk muslim justru mengekor kepada musuh-musuh Islam dan menyambut mereka dengan penuh penghormatan dan kekeluargaan, dengan alasan membuat perdamaian padahal hal itu tak lebih dari sikap menyerah dan menghinakan diri. Sudah sepantasnya para da’I dan thalibul ilmi menerangkan makna syar’I jihad ini dan mengajak umat untuk melakukan i’dad dalam kondisi lemah seperti saat ini, untuk bisa melakukan faridzah jihad ini di kala mampu. Bukannya malah mengangkat pemahaman bahwa jihad di artikan perang itu salah. Rasulullah bersabda :

        من مات و لم يغز و لم يحدث به نفسه  مات على شعبة من النفاق
        “Siapa mati dan belum pernah berperang atau meniatkan diri berperang maka ia mati dalam salah satu cabang dari kemunafikan.”[HR. Muslim no. 1910, Abu Daud no. 2502, Nasa'I 6/8].

        Termasuk memahami dengan baik fiqih maratibul amal adalah mendahulukan yang terpenting, paling bermanfaat, paling menjanjikan hasil dunia dan akhirat. Dalam hal ini, memilih jihad sebagai satu-satunya alternatif mengembalikan kemuliaan umat termasuk hal paling berlandaskan syariat dan yang paling masuk akal.

        Wallahu A’lam bish Shawab.
        sumber: http://ishoba.wordpress.com/2010/07/03/definisi-jihad-secara-syari/