Halaman

Senin, 05 September 2011

22. KITAB YANG MENSUNNAHKAN SEDEKAP KETIKA I'TIDAL

1. ثُمَّ اْلإِعْتِدَالُ الْوَاجِبُ أَنْ يَعُوْدَ بَعْدَ رُكُوْعِهِ إِلَى الْهَيْئَةِ الَّتِيْ كَانَ عَلَيْهَا قَبْلَ الرُّكُعِ سَوَاءٌ صَلاَّهَا قَائِمًا أَوْ قَاعِدًا
Kemudian I’tidal yang wajib itu, hendaklah mengembalikan setelah ruku’nya kepada sikap yang sama sebagaimana yang dilakukan sebelum ruku’, baik shalatnya dengan berdiri ataupun duduk. (Kifayatul Akhyar I:67 bab shalat)

2. وَ رَدَّهُمَا مِنَ الرَّفْعِ إِلَى تَحْتِ الصَّدْرِ أَوْلَى مِنْ إِرْسَالِهِمَا
Mengembalikan kedua tangan setelah diangkat (bangun dari ruku’) ke bagian bawah dada, lebih utama daripada menggantungkannya lurus ke bawah. (Fathul Mu’in I:119, Bab Shalat)
 
3. فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعِظَامُ ) أَيِ الَّتِيْ انْخَفَضَتْ حَالَ الرُّكُوْعِ تَرْجِعُ إِلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ حَالُ الْقِيَامِ لِلْقِرَاءَ ةِ وَ ذَلِكَ بِكَمَالِ الْإِعْتِدَالِ
(Maka luruskanlah tulang punggungmu sehingga tulang-tulang itu kembali ke semu-la), yaitu hingga kembali tulang-tulang yang menurun (membungkuk) sewaktu dalam keadaan ruku’ kepada keadaan semula sewaktu dalm sikap berdiri membaca al fati-hah dan ayat. Dan begitulah I’tidal yang sempurna. (Subulus Salam I:160, Bab Shalat)

4. (وَ سُئِلَ) نَفَعَ اللهُ بِعُلُوْمِهِ وَ مَتَّعَ بِوُجُوْدِهِ الْمُسْلِمِيْنَ هَلْ يَضَعُ الْمُصَلِّيْ يَدَيْهِ حِيْنَ يَأْتِيْ بِذِكْرِ الْإِعْتِدَالِ كَمَا يَضَعُهُمَا بَعْدَ التَّحَرُّمِ أَوْ يُرْسِلُهُمَا ؟ (فَأَجَابَ) رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِقَوْلِهِ اَلَّذِيْ دَلَّ عَلَيْهِ كَلاَمُ النَّوَوِيْ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ أَنَّهُ يَضَعُ يَدَيْهِ فِي الْإِعْتِدَالِ كَمَا يَضَعُهُمَا بَعْدَ التَّحَرُّمِ
Artinya: Telah ditanya (yakni Ibnu Hajar AL Haitami), (semoga Allah SWT membe-rikan kemanfaatan dan keberkatan kepada kaum muslimin dengan ilmu-ilmunya dan keberadaannya)………Apakah orang yang shalat itu meletakkan kedua tangannya ke-tika berdiri I’tidal sebagaimana meletakkannya setelah takbiratul ihram, ataukah menggantungkannya lurus ke bawah? Maka beliau menjawab dengan menunjukkan penjelasan Imam Nawawi dalam kitab syarhil Muhaddzab, sesungguhnya beliau me-letakkan kedua tangannya di waktu berdiri I’tidal, sebagaimana meletakkannya setelah takbiratul ihram. (Al Fatawa al Kubra Al Fiqhiyah 1:39, bab shalat.)

5. وَ الْإِعْتِدَالُ الْوَاجِبُ هُوَ أَنْ يَعُوْدَ بَعْدَ الرُّكُوْعِ إِلَى الْهَيْئَةِ الَّتِيْ كَانَ عَلَيْهَا قَبْلَ الرُّكُوْعِ سَوَاءٌ صَلَّى قَائِمًا أَوْ قَاعِدًا
Dan I’tidal yang wajib itu, bahwa hendaklah mengembalikan setelah ruku’nya kepa-da sikap yang sama sebagaimana yang dilakukan sebelum ruku’, baik shalatnya de-ngan berdiri ataupun duduk. (Syarhul Muhadzdzab III:416 Bab Shalat)

Dari dalil-dalil di atas, dapat dipahami bahwa posisi tangan di waktu berdiri setelah takbiratul ihram, setelah ruku’ pertama pada shalat gerhana, dan berdiri setelah sujud tilawah, begitu juga setelah bangun dari sujud kedua dan berdiri setelah duduk at tahiyyat awwal adalah dengan “MELETAKKAN TANGAN KANAN DI ATAS TANGAN KIRI DI DADA”.

Rabu, 24 Agustus 2011

21. PENJELASAN LENGKAP TENTANG SYARAT ISTIHLAL DAN JUHUD ( BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT SYAIKH BIN BAZZ )

Bantahan Atas Pendapat Syaikh Ibnu Bazz Yang Mensyaratkan Istihlal Bagi Kafirnya Orang yang Mengganti Syariah Allah dengan Undang-Undang Positif
Oleh: Abdul Mun’im Musthafa Halimah Abu Bashir
Ada sebuah pertanyaan dari seorang ikhwan yang ditujukan kepada saya. Dalam pertanyaan tersebut, penanya mengatakan :
“ Ada sebuah kaset dialog antara syaikh Ibnu Bazz rahimahullah dengan para ulama seputar tema berhukum dengan selain hokum Allah. Di bawah ini disertakan beberapa petikan dari isi kaset yang berjudul “ Ad Dam’atu Al Baaziyatu “ tersebut, selengkapnya bias dilihat pada situs ;
www.alsunah.net/vb/shorthread.php?threadid=1880.
[Isi petikannya sebagai berikut :
Seorang ulama : Apa dalil yang menunjukkan bahwa maksud dari kata kufur dalam ayat :
فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“ maka mereka itulah orang-orang yang kafir ” [QS. Al Maidah :44] adalah kafir asghar, padahal kata tersebut dengan shighat hasr (pembatas yang menunjukkan kafir akbar, yaitu huruf alif lam ma’rifah—ed) ?
Syaikh Bin Bazz : Kekafiran dalam ayat ini maksudnya menurut pendapat yang paling benar adalah bila disertai sikap istihlal (membolehkan berhukum dengan selain hokum Allah—ed). Jika tidak disertai sikap istihlal, maka seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas yaitu kufrun duna kufrin (kafir asghar). Jika tidak demikian (kufur asghar—ed), maka sebenarnya mereka telah kafir.
Sebagian ulama yang hadir dalam dialog : Ya, apa yang memalingkan kita nash ayat ini dari dhahirnya (memaknai ayat ini dengan kafir asghar, padahal dhahirnya menunjukkan kafir akbar—ed) ????
Syaikh Bin Bazz : Karena ia membolehkan berhukum dengan selain hukum Allah Ta’ala. Itu terjadi pada diri orang-orang kafir yang memutuskan persoalan dengan selain hukum Allah. Mereka memutuskan bangkai itu halal, dan hokum-hukum semisal itu. Apakah kalau Zaid atau Amru memutuskan perkara berdasar suap yang ia terima, apakah ia kita sebut telah kafir ? ?? Ia tidak kafir. Atau kalau ia memutuskan hokum bunuh karena mengikuti hawa nafsunya, maka ia tidak kafir.
Seorang ulama yang hadir: Itu suatu hal yang sulit dalam masalah ini, masalah mengganti hukum-hukum syariat dengan undang-undang positif  !!!! ‘afallahu ‘anka.
Syaikh bin Bazz memotong ucapan ulama tersebut ; Pembahasan kita tentang memutuskan perkara dengan selain hokum Allah bila disertai sikap istihlal !!!!
Ulama penanya kembali bertanya : Bagaimana jika ia mengaku tidak melakuan istihlal ????
Syaikh bin Bazz berkata : Jika ia melakukannya disertai istihlal maka telah kafir, jika melakukannya karena ta’wil atau demi mencari kerelaan kaumnya atau karena ini atau karena itu…maka hukumnya kufur duna kufrin, namun jika kaum muslimin mempunyai kekuatan ; wajib memeranginya sampai ia kembali komitmen dengan hokum Allah. Jika ia tidak komitmen dengan zakat atau lainnya, ia diperangi sampai kembali komitmen.
Ulama penanya ; Jika ia membuat pasal-pasal undang-undang positif  ??? ‘afallahu ‘anka.
Syaikh bin Bazz : Hukum asalnya tidak kafir sampai ia melakukan istihlal. Ia melakukan dosa besar dan maksiat, kufur duna kufrin sampai ia melakukan sikap istihlal.
Seorang ulama lain : Jika ia memutuskan dengan syariat yang telah mansukh —hafidzakumullah—seperti dengan ajaran Yahudi, ia menjadikan syariat Yahudi sebagai Undang-undang yang wajib ditaati oleh kaumnya, ia menghukum dengan penjara, hukuman mati dan pengusiran kepada kaumnya yang tidak mentaati undang-undang tersebut, (apa hukumnya )????
Syaikh bin Bazz : Ia mengatakan undang-undang tersebut adalah hokum syariat (Islam) atau tidak ??? Jika ia menyatakan undang-undang tersebut berasal dari syariat Islam maka ia telah kafir, namun jika tidak maka ia tidak kafir. Jika ia menganggap undang-undang tersebut bukan hokum Allah, bukan hokum Rasul-Nya, hanya sekedar undang-undang manusia yang ia rasa lebih sesuai maka ini sekedar kejahatan, namun saya yakin tidak termasuk kafir akbar.
Seorang ulama yang hadir  ; Imam Ibnu Katsir —wahai fadzilatu syaikh—menyebutkan dalam Al Bidayah wa Nihayah adanya ijma’ ulama bahwa seperti itu adalah kafir akbar ???
Syaikh Bin Bazz : Barangkali itu jika orang tersebut menyatakan undang-undang tersebut adalah hukum syariat (Islam)…
Ulama penanya : Tidak, Imam Ibnu katsir mengatakan,” Barang siapa memutuskan dengan syariat-syariat yang telah mansukh maka ia telah kafir, terlebih lagi dengan orang yang memutuskan dengan selain syariat seperti dengan pendapat (akal) manusia. Tak diragukan lagi, ia telah murtad…
Syaikh bin Bazz : Sekalipun, sekalipun, Ibnu Katsir itu tidak ma’shum. Perlu dikaji ulang, bisa saja ia dan ulama lain salah, betapa banyak hal yang katanya ijma’ ternyata bukan ijma’.” Selesai nukilan dari kaset.
Apa koreksian anda terhadap materi dialog tersebut menurut aqidah ahlu sunah wal jama’ah dalam masalah iman dan kekafiran ???. Jazakumullah khairan.
Jawab :
Al hamdu lillahi rabbil ‘alamin. Wa sholatu wa salamu ‘ala khatimil anbiya’ wal mursalin. Amma ba’du.
Saya telah mengikuti dialog antara syaikh bin Bazz dengan beberapa fadzilatul ulama tersebut secara lengkap di situs yang ditunjukkan kepada saya tersebut. Saya memberikan catatan berikut :
1-      Ada perbedaan antara penguasa yang sekedar berhukum dengan selain hukum Allah, dengan penguasa yang menetapkan undang-undang dan peraturan-peraturan yang bertentangan dan menyelisihi syariat Allah, dan berbeda lagi dengan penguasa yang mengganti syariat Islam dengan undang-undang kafir untuk dijadikan undang-undang negara.
Penguasa pertama : yang “sekedar” memutuskan perkara dengan selain hukum Allah, masih ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Para ulama tidak langsung mengkafirkannya dengan perbuatan memutuskan perkara dengan selain Allah tersebut. Mereka masih melihat kepada factor pendorong yang menyebabkan ia tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah. Apakah penyebabnya syahwat dan hawa nafsu, ataukah istihlal dan juhud ???? Inilah yang dimaksud dengan perkataan Ibnu Abbas dan para ulama lain “kufrun duna kufrin”. Statusnya diatur berdasar beberapa syarat dan aturan. Meski demikian, para ulama bersepakat dalam dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan, yaitu :
Pertama. Para ulama bersepakat tetang kafirnya penguasa yang tidak memutuskan dengan hukum Allah dalam masalah tauhid, atau memutuskan dengan kesyirikan dan demi kepentingan kesyirikan, tanpa perlu melihat kepada factor ada tidaknya istihlal atau juhud. (Jatuhnya vonis kafir ini) disebabkan penguasa tersebut telah menyetujui kekafiran dan kesyirikan.
Kedua. Sikap menetapkan perkara dengan selain hukum Allah Ta’ala telah menjadi manhaju hayat (way of life)nya, hokum selain hukum Allah menjadi pokok pegangan dan aturan yang dipraktekkan dalam seluruh bidang kehidupan. Penguasa jenis ini juga telah kafir, tanpa melihat factor yang mendorong dirinya untuk memutuskan perkara dengan selain hukum Allah ; apakah sikap istihlal dan juhud atau bukan ??? (Jatuhnya vonis kafir ini) disebabkan penguaa tersebut telah terjatuh dalam kufur i’radh dan tawalli (kafir karena berpaling, seperti kafirnya Iblis dan Fir’aun—ed).
Adapun penguasa jenis kedua. Penguasa yang menetapkan undang-undang dan peraturan-peraturan yang menyelisihi syariat llah Ta’ala, menjadikan undang-undang tersebut sebagai undang-undang dasar negara yang harus diikuti, tidak boleh diselisihi, siapa yang melanggar undang-undang dasar tersebut akan dihukum sesuai dengan undang-undang lain yang ditetapkan oleh penguasa tersebut atau oleh orang lain…penguasa seperti ini tidak diragukan lagi telah kafir berdasar nash dan ijma’, sama sekali tidak boleh ragu-ragu akan status kafirnya, juga tidak boleh mengaitkan kekafirannya dengan adanya sikap istihlal atau tidak.
Hal ini dikarenakan banyak sebab, antara lain :
[a]- Penguasa yang sifatnya telah disebutkan tadi telah menandingi Allah Ta’ala dalam salah satu sifat yang khusus menjadi hak Allah ta’ala, yaitu al tasyri’u dan al hukumu (menetapkan undang-undang). Ia telah menjadikan dirinya sebagai tandingan bagi Allah Ta’ala, baik ia mengakuinya maupun tidak. Ini sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِنْ دُوْنِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِيْنَ
” Dan barang siapa di antara mereka mengatakan,” Aku adalah Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah, maka Kami membalasnya dengan Jahanam dan sesungguhnya demikianlah Kami membalas orang-orang yang dzalim.”
[b]- Allah Ta’ala telah menyebutnya sebagai thaghut. Allah ta’ala juga telah menyebutkan kafirnya orang yang “ingin” berhukum kepada selain Allah Ta’ala. Maka, penguasa yang menetapkan hukum lebih pantas untuk disebut sebagai kafir dan termasuk golongan orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman ;
أَلَمْ تَرَإلِىَ الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَآأُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآأُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحاَكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ
” Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.” [QS. An Nisa’ :60].
Allah Ta’ala menyatakan iman mereka hanyalah sekedar pengakuan yang tidak ada buktinya sama sekali, hanya disebabkan karena mereka ‘ingin” berhukum kepada thaghut dan undang-undang thaghut…lantas bagaimana dengan si thaghut yang menetapkan undang-undang ???? Tak diragukan lagi, ia lebih pantas untuk terkena hukum kafir.
[c]- Ia telah kafir meskipun kita (mengikuti pendapat yang) mensyaratkan adanya istihlal sekalipun. Ketika ia menetapkan undag-undang yang menandingi dan menyaingi syariat Allah ta’ala…berarti ia telah menghalalkan apa yang diharamkan Allah ta’ala dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Ta’ala…Tidak ada satu undang-undangpun yang ditetapkan penguasa untuk rakyatnya, kecuali bersifat membolehkan, melarang atau mewajibkan…ini namanya adalah istihlal itu sendiri.
Begitulah seluruh undang-undang ketetapan para pembuat undang-undang positif . Lihatlah isinya…selalu dimulai dengan ungkapan diperbolehkan…atau tdiak diperbolehkan…perbuatan begini dan begitu diperbolehkan….perbuatan begini dan begitu tidak diperbolehkan…dilarang…tidak dilarang…barang siapa melanggar pasal sekian hukumannya demikian atau membayar denda sekian…dan ungkapan-ungkapan istihlal lainnya, yang semuanya menyelisihi syariat allah Ta’ala.
Jika ini semua tidak disebut istihlal..lantas apa yang namanya istihlal itu ??? Terlebih lagi, sikap istihlal mereka ditambah dengan sikap membela dan berperang demi menjaga undang-undang yang mereka tetapkan, sebagaimana kondisi para thaghut hari ini tanpa terkecuali !!!!
Jika mereka mengatakan ini saja belum cukup (untuk disebut istihlal)…ia harus mengucapkan dengan lisannya saya menghalalkan undang-undang ini dalam hati saya, sebagaimana yang tertulis dalam lembaran hitam di atas putih dan dalam realita kehidupan rakyat ????
Kami jawab : Kalian berarti telah jauh melampaui Jahm bin Shafwan yang tersesat…Kalian telah mengatakan sebuah kesesatan yang tidak Jahm dan para pengikutnya tidak sanggup mengatakannya…perbedaan pendapat kami dengan kalian berarti bukan sekedar menerapkan kaedah (takfir) terhadap personal saja, melainkan perbedaan dalam hal pokok dan prinsipil…yaitu perbedaan antara aqidah ahlu sunah wal jama’ah dengan aqidah Jahmiyah dan Murjiah !!!!
Penguasa jenis ketiga : penguasa yang menyingkirkan hukum-hukum syariat Islam dan menggantinya dengan undang-undang thaghut. Penguasa jenis ini adalah penguasa yang telah kafir, tanpa harus melihat kepada faktor yang mendorongnya berbuat demikian ; apakah karena istihlal dan juhud atau bukan ??? Perbuatannya secara langsung telah menunjukkan bahwa ia kafir, karena perbuatan itu tidak mungkin timbul kecuali dari seorang kafir yang menentang dan membenci syariat Allah Ta’ala, seorang musuh Allah, musuh Rasulullah dan musuh kaum muslimin.
Ia telah kafir karena berhukum secara terang-terangan dan jelas kepada hokum kafir dan thaghut.
Ia telah kafir karena telah berpaling dari hokum-hukum syariat (kafir I’radh wa tawalli)
Ia telah kafir karena meniadakan (ta’thil) berhukum dengan tauhid
Ia telah kafir karena memaksa rakyatnya untuk berhukum kepada undang-undang thaghut
Ia telah kafir karena menganggap undang-undang kafir lebih baik dari syariat Ar Rahman (Allah Yang Maha Pemurah)
Jika ada yang membantah ; bukankah ia tidak mengucapkannya ???
Kami jawab :
Kalau anda mengikuti ucapan-ucapan dan perbuatannya anda akan mendapatinya telah mengucapkan hal itu, baik dengan lisan maupun perbuatannya…jika anda tidak mendenfar ucapannya, anda akan melihat perbuatannya. Perbuatannya lebih tegas dan jelas  (dari ucapannya) dalam menunjukkan anggapannya bahwa undang-undang kafir lebih utama dan lebih baik dari  syariat Allah Ta’ala.
Kami tanyakan : apa yang membuatnya  secara total  mengganti syariat Allah dengan undang-undang thaghut ?
Jika anda menjawab ia takut kekuasaannya hilang sehingga ia mentaati Yahudi dan nasrani dengan mengganti syariat Allah dengan undang-undang kafir, agar singgasanya tetap di tangannya…kami jawab ini sebuah kekafiran baru, ditambah kekafiran sebelumnya tadi, terlebih lagi kekafiran ini menjadi sebab ia berbuat kafir, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“ Dan jika kalian mentaati mereka (dalam hal menganggap bangkai itu halal), tentulah kalian menjadi orang-orang musyrik.”
Mereka akan menjadi orang-orang musyrik jika mentaati para pemimpin mereka, meski hanya dalam hal menganggap bangkai itu halal….maka terlebih lagi dengan orang yang mentaati mereka dalam membuang seluruh hukum syariat Allah dan menggantinya dengan undang-undang kafir dan thaghut…tak diragukan lagi ia lebih terkena oleh ayat :
وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“ Dan jika kalian mentaati mereka (dalam hal menganggap bangkai itu halal), tentulah kalian menjadi orang-orang musyrik.”
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan dalam Majmu’atu Tauhid ;
“ Menyesuaikan diri secara lahir dengan orang-orang musyrik, sekalipun dalam batin menyelisihi mereka, sementara ia tidak berada dalam kekuasan orang-orang musyrik tersebut. Ia berbuat demikian karena rakus terhadap kekuasaan atau harta, atau karena kecintaan kepada tanah air atau rakyat, atau takut terjadi suatu musibah dengan hartanya. Dalam kondisi ini ; ia telah murtad, rasa benci dalam hatinya kepada orang-orang musyrik sama sekali  tidak bermanfaat. Ia termasuk dalam kelompok yang difirmankan Allah Ta’ala :
ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى اْلآخِرَةِ وَأَنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِيَنَ
“ Hal itu dikarenakan mereka lebih mencintai kehidupan dunia atas kehidupan akhirat dan sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”Selesai perkataan beliau.
Saya katakan :
Lantas bagaimana lagi dengan orang yang menyesuaikan diri dengan orang-orang musyrik dalam hal menyingkirkan syariat Allah secara keseluruhan dan menggantinya dengan undang-undang mereka yang batil…tak diragukan lagi ia lebih kafir dan murtad.
Jika anda mengatakan : penguasa jenis ini berbuat demikian karena membenci dan memusuhi Allah, Rasulullah dan kaum muslimin —-dan mau tidak mau anda tidak mempunyai alasan selain ini —-maka kami jawab ; anda benar, perbuatan ini jelas sebuah kekafiran yang nyata.
Kesimpulannya : syaikh bin Bazz dalam perkataan beliau yang telah disebutkan tadi tidak membedakan antara ketiga jenis penguasa ini, beliau menyama ratakan status ketiganya dengan mensyaratkan kepada semuanya adanya sikap istihlal. Jika sikap istihlal ada, barulah menurut beliau mereka bisa divonis kafir.  Penguasa jenis kedua dan ketiga yang kekafirannya telah disepakati berdasar nash dan ijma’ ; menurut syaikh bin Bazz seperti penguasa jenis pertama, harus dirinci keadaannya sebelum divonis telah kafir. Kesalahan syaikh bin Bazz inilah yang mendorong kita untuk menjelaskan rincian di atas.
2- Syaik bin Bazz mengatakan,” Jika melakukannya karena ta’wil atau demi mencari kerelaan kaumnya atau karena ini atau karena itu…maka hukumnya kufur duna kufrin, namun jika kaum muslimin mempunyai kekuatan ; wajib memeranginya sampai ia kembali komitmen dengan hukum Allah “
Saya katakan ;
Perkataan syaikh bin Bazz ini menyelisihi sabda Rasulullah :
إِلاَّّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَّاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ  فِيْهِ بُرْهَانٌ
“ Kecuali bila kalian telah melihat kekafiran nyata yang ada dalilnya dari Allah Ta’ala.” [HR. Muttafaq 'Alaih].
Perkataan beliau ini juga menyelisihi ijma’ ahlu sunah wal jama’ah bahwa seorang imam dan penguasa tidak dilawan dengan kekuatan (pemberontakan bersenjata) hanya karena adanya kefasikan atau ia berbuat sebuah dosa selama dosa tersebut belum mencapai derajat kekafiran nyata yang tidak mungkin lagi ditakwil (dibawa kepada makna selain kekafiran—ed), yang ada dalil tegas dari Al Qur’an atau as Sunah.
Saat menerangkan makna hadits “Kecuali bila kalian telah melihat kekafiran yang nyata yang ada dalilnya dari Allah”, Imam Nawawi mengatakan,”Memberontak dan memerangi para penguasa adalah haram berdasar ijma’ umat Islam sekalipun para penguasa tersebut adalah para penguasa yang fasiq dan dzalim. Hadits-hadits nabi telah menunjukkan apa yang saya sebutkan ini. Ahlu sunah juga telah ijma’ bahwa seorang penguasa tidak dipecat sekalipun ia berbuat fasiq.”
3- [Seorang ulama lain : Jika ia memutuskan dengan syariat yang telah mansukh ---hafidzakumullah---seperti dengan ajaran Yahudi, ia menjadikan syariat Yahudi sebagai undang-undang yang wajib ditaati oleh rakyatnya, ia menghukum dengan hukuman penjara, hukuman mati dan pengusiran kepada rakyatnya yang tidak mentaati undang-undang tersebut, (apa hukumnya )????
Syaikh bin Bazz : Ia mengatakan undang-undang tersebut adalah hukum syariat (Islam) atau tidak ??? Jika ia menyatakan undang-undang tersebut berasal dari syariat Islam maka ia telah kafir, namun jika tidak maka ia tidak kafir. Jika ia menganggap undang-undang tersebut bukan hukum Allah, bukan hukum Rasul-Nya, hanya sekedar undang-undang manusia yang ia rasa lebih sesuai (dengan kemaslahatan rakyat) maka ini sekedar kejahatan, namun saya yakin tidak termasuk kafir akbar].
Saya katakan ;
Mengaitkan kafirnya penguasa yang sifatnya seperti yang disebutkan dalam pertanyaan ini, dengan ada tidaknya pernyataan bahwa undang-undang yang berasal dari syariat Yahudi yang telah mansukh tersebut adalah hukum syar’i…merupakan sebuah kesalahan yang sangat nyata, kami berharap kesalahan seperti ini tidak terjadi pada diri syaikh, dikarenakan beberapa alasan :
[a]- Perkataan ini sebuah pendapat yang syadz (nyeleneh), syaikh bin Bazz sama sekali tidak mempunyai seorang ulama salafpun yang pernah berpendapat demikian , terlebih lagi pendapat ini sama sekali tidak berdasar dalil syar’i, sekalipun secara sekilas .
[b]- Puluhan nash-nash syar’i —kalau bukan ratusan — telah menyatakan kafirnya penguasa jenis ini. Seperti misalnya firman Allah Ta’ala :
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
” Maka demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidak beriman sehinggaa mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dala hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [QS. An Nisa' :65].
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
” Apakah hokum jahiliyah yang mereka kehendakai, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin ?” [QS. Al Maidah ;50].
فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابُ أَلِيْمٌ
” Maka hendaklah orang-orang yang menyelisih perintah-Nya takut jika mereka ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.”
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ
” Katakanlah ; Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian.” [QS. Ali Imran ;31].
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin kalian, karena sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara  kalian menjadikan mereka sebagai emimpin, maka ia termasuk dari golongan mereka.’ [QS. Al Maidah ;51].
وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“ Dan jika kalian mentaati mereka (dalam hal menganggap bangkai itu halal), tentulah kalian menjadi orang-orang musyrik.”
Ayat–ayat ini dan juga ayat-ayat serta hadits-hadits lainnya, menunjukkan secara tegas telah kafirnya jenis penguasa seperti yang disebutkan dalam pertanyaan. Jika kita menyebutkan semua perkataan para ulama tafsir tentulah kita akan menemukan semuanya menyatakan telah kafirnya penguasa jenis ini.
Lalu sebenarnya siapa yang lebih kafir…orang yang mentaati orang-orang musyrik dalam menganggap halalnya bangkai…ataukah orang yang mentaati orang-orang musyrik dalam menjauhkan umat Islam dari identitas dan syariat mereka, dalam mewajibkan umat Islam untuk mentaati undang-undang kafir mereka ??? Rakyat yang tidak mentaati undang-undang kafir tersebut mereka penjarakan atau mereka bunuh, sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan ??? Apakah yang ini menurut syaikh bin Bazz tidak kafir….sementara yang mentaati mereka dalam hal menganggap halalnya bangkai : telah kafir ????
Lantas apa nilai lebih umat Islam bila umat Islam telah dilepaskan dari identitas, syariat dan akidah Islam, lalu mereka diatur dengan undang-undang umat lain ???? Bukankah peperangan antara umat-umat kafir dengan umat Islam “hanya” karena persoalan syariat dan undang-undang yang mengatur negara dan rakyat ???
[c]- Penguasa yang memerintah negara dan rakyat dengan undang-undang buatannya sendiri adalah lebih kafir dari penguasa yang memerintah rakyat dengan undang-undang yang ia katakan berasal dari syariat.
Imam Ibnu Katsir dalam bukunya Al Bidayatu wa Al-Nihayatu mengatakan,“Barang siapa meninggalkan syariat yang telah muhkam, yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah khatimul anbiya’ (yaitu Al Qur’an), dan berhukum kepada syariat (agama) lain yang telah mansukh (yahudi dan nasrani—ed) maka ia telah kafir. Lantas bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Alyasiq dan mengutamakan Alyasiq (atas hukum syariat) ??? Barang siapa berbuat demikian ; ia telah kafir berdasar ijma’ kaum muslimin.”
Bantahan syaikh bin Bazz terhadap ijma’ yang dinyatakan oleh imam Ibnu Katsir ini adalah bantahan yang tertolak dan sama sekali tidak bisa dipegangi sebagai pendapat, karena syaikh bin Bazz sama sekali tidak menyebutkan satu dalil-pun, atau pendapat seorang ulama mu’tabar yang membantah ijma’ yang disebutkan imam Ibnu Katsir…dan memang tidak akan ada !!!!
[d]- Bagaimana kita bisa menyelaraskan antara perbuatan penguasa jenis ini ; yang menyingkirkan umat Islam dari hukum-hukum syariat Islam, menggantinya dengan undang-undang kafir dan thaghut, memerangi orang yang melawan undang-undang kafir dan thaghut tersebut, menghukum orang-orang yang menentang undang-undang tersebut….bagaimana kenyataan ini bisa diselaraskan dengan kenyataan bahwa iman merupakan sebuah keyakinan, ucapan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang…hubungan antara lahir dan batin…bagaimana kita bisa membayangkan lahiriah seseorang  ; kafir dan melawan syariat Allah ta’ala…sementara batinnya mu’min yang taat dan mencintai syariat Allah ???
Perkataan syaikh bin Bazz tadi —setelah diteliti dan dikaji—bertentangan dengan aqidah ahlu sunah wal jama’ah, yang di antaranya menyatakan bahwa iman merupakan gabungan dari keyakinan, ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang dan bahwa kekafiran juga merupakan gabungan dari keyakinan, ucapan dan perbuatan, kekafiran juga bertingkat-tingkat, bisa bertambah dan berkurang.
Termasuk dari aqidah ahlu sunah yang juga bertentangan dengan pendapat syaikh bin Bazz tersebut adalah adanya hubungan yang erat dan saling menpengaruhi antara aspek lahir dan batin…yang lahir tidak akan bertentangan dengan yang batin, demikian juga sebaliknya !!!!
4- Syarat istihlal itu berlaku ketika menghukumi seseorang yang terjatuh dalam dosa dan maksiat yang tidak mencapai taraf kafir dan syirik. Misalnya pencuri, peminum minuman keras, pemakan harta riba atau pezina tidak dianggap kafir sampai ia menganggap perbuatan dosanya boleh dilakukan (halal, istihlal). Jika ia melakukan semua atau sebagian dosa ini dengan disertai sikap istihlal, maka ia telah kafir.
Jika seseorang melakukan dosa syirik dan kekafiran —seperti syirik ketaatan dan berhukum kepada hukum thaghut—, maka untuk mengkafirkannya tidak perlu disyaratkan adanya sikap istihlal. Karena kesyirikan adalah syirik dan kekafiran li dzatihi, siapa melakukannya maka ia telah musyrik dan kafir, bagaimanapun ia melakukannya, baik disertai sikap istihlal maupun tidak. Mensyaratkan istihlal bagi kafirnya pelaku kekafiran dan kesyirikan merupakan pendapat kelompok sesat Jahmiyah !!!!!
Siapa yang mengikuti dialog syaikh bin Bazz dengan para ulama tersebut akan mendapati syaikh bin Bazz tidak membedakan antara dosa selain syirik yang pelakunya tidak divonis kafir bila tidak melakukan istihlal, dengan dosa kemusyrikan dan kekafiran —seperti berhukum kepada undang-undang thaghut—yang untuk menyatakan pelakunya telah kafir tidak perlu adanya syarat istihlal …!!!
5- Syaikh bin Bazz mengatakan (dalam dialog),“ Jika ia mempertahankan (berhukum dengan selain hukum Allah–ed), ia diperangi seperti orang-orang murtad diperangi, karena sikapnya yang mempertahankan berhukum dengan selain hukum Allah  sama nilainya dengan bertahan tidak mau mengeluarkan zakat, bahkan lebih besar lagi dosanya karena hal ini merupakan kekafiran. Jika ia tetap berhukum dengan selain hukum Allah dan mengatakan saya tidak akan mau kembali (berhukum kepada hukum Allah) maka berarti ia telah bertahan dan melakukan istihlal, maka ia telah kafir, ia harus diperangi. Jika ia melawan (berperang) maka ia telah kafir, namun bila ia tidak berperang maka ia tidak kafir, statusnya seperti para pelaku dosa besar lainnya !!!!
Saya katakan : perkataan syaikh bin Bazz ini rancu, karena beberapa sebab :
[a]- Hal ini menunjukkan kebingungan syaikh dalam masalah ini. Sebelumnya beliau menjawab bahwa penguasa yang mengatur rakyat dengan syariat yang telah mansukh, menghukum dengan hukuman penjara, hukuman bunuh, atau pengusiran setiap orang yang melanggar atau melawan syariat mansukh tersebut ; kekafiran penguasa seperti ini hanyalah kufrun duna kufrin (kafir asghar). Namun kali ini beliau menyatakan bila penguasa tersebut bertahan dan berperang demi mempertahankan syariat masukh tersebut ; ia telah kafir…padahal membunuh (orang yang melanggar syariat mansukh tersebut) dosanya lebih besar dari sekedar berperang untuk mempertahankan syariat mansukh tersebut….memenjarakan dan mengusir orang yang melanggar syariat mansukh tersebut lebih besar dosanya dari sekedar membela syariat mansukh tersebut. Kenapa yang pertama dikafirkan namun yang lain tidak ??? Kenapa yang pertama tidak menunjukkan adanya istihlal sementara yang kedua dianggap sebagai istihlal ??? Apa dalil yang menunjukkan hal ini ????
[b]- Termasuk kebingungan syaikh bin Bazz adalah perkataan beliau di awal dialog ["Ia kufrun duna kufrin, namun kaum muslimin wajib memeranginya…”] maksudnya wajib memeranginya sekalipun belum kafir. Namun di akhir dialog, syaikh bin Bazz mengatakan,” Jika mereka memerangi penguasa tersebut dan penguasa tersebut memerangi mereka ; maka penguasa tersebut telah kafir.”
[c]- Tidak selamanya perang itu menunjukkan istihlal, sebab kalau setiap perang menunjukkan istihal ; tentulah perangnya para pelaku maksiat demi berlangsungnya kemaksiatan mereka, demi keberlangsungan minuman keras dan narkotika mereka, perangnya para pemberontak demi pemberontakan mereka…ini semua juga dianggap sebagai istihlal (penghalalan) maksiat dan pemberontakan. Sebagai akibatnya mereka diperangi sebagai orang-orang murtad dan kafir. Ini tentu saja merupakan pendapat kaum Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar !!!!
[d]- Perkataan syaikh bin Bazz juga bisa ditolak dengan perkataan senada dengan perkataan, dalil-dalil dan kaedah beliau sendiri dalam menolak kafirnya penguasa yang mengganti syariat Allah, sehingga bisa dikatakan kepada beliau,” Kaedah, kaedah…tidak setiap konskuensi sebuah pendapat itu merupakan pendapat itu sendiri…tidak setiap konskuensi hukum itu merupakan hukum tersendiri.”
[e]- Tidak ada seorang penguasa dan thaghutpun yang memerintah umat Islam hari ini, kecuali ia pasti berperang mati-matian demi membela undang-undang dasar, ketetapan-ketetapan dan peraturan-peraturan yang ditetapkannya, ia membela undang-undang tersebut melebihi pembelaannya terhadap dirinya sendiri. Tetapi meski demikian, kita lihat para ulama kita masih tidak mau mengkafirkan mereka ????
Kenapa secara teori kita mengkafirkan mereka…namun ketika mempraktekkan teori tersebut pada realita nyata untuk menghukumi para thaghut, kita tidak mengkafirkan para thaghut tersebut dan justru membuat banyak ta’wil untuk membela mereka ????
Lihatlah misalnya perkataan syaikh bin Bazz. Beliau menyebutkan kaedah bahwa penguasa yang berperang demi membela undang-undang selain hukum Allah adalah penguasa yang kafir. Ketika membicarakan pemerintah negara Mesir yang sudah sangat terkenal permusuhan sengit mereka terhadap syariat Allah, peperangan mereka yang keras dan mati-matian demi membela hukum dan undang-undang batil mereka serta sikap mereka yang memerintah rakyat dengan selain hokum Allah, syaikh bin Bazz mengatakan :
“ Menyangka —telah kafirnya—pemerintah Mesir dan pemerintah negeri-negeri lainnya berarti menyangka kejahatan dan kekafiran mereka. Sudahlah, seharusnya setiap orang tidak mengucapkan mereka telah kafir, kecuali jika ia mengetahui mereka telah melakukan istihlal. Nas-alullaha al ‘afiyata.”
Urusan yang sudah sangat jelas ini menurut syaikh bin Bazz tak lebih dari sekedar persangkaan…meskipun kekafiran para thaghut Mesir sudah sangat terang dan jelas, beliau masih saja tidak mau mengatakan mereka kafir, karena menurut beliau sikap istihlal belum nampak dari para penguasa Mesir…!!!!
6- Perkataan syaikh bin Bazz dalam dialog ini telah bertentangan dengan perkataan-perkataan beliau yang terdahulu. Dalam buku beliau ” wajibnya berhukum dengan syariat Allah” yang tersebar luas, beliau mengatakan :
Tidak ada iman bagi orang yang meyakini bahwa pendapat dan pikiran manusia lebih baik dari  hukum Allah dan Rasul-Nya, atau serupa dan mirip dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, atau meninggalkan hukum Allah dan rasul-Nya dan menggantikan posisinya dengan undang-undang positif dan peraturan manusia, sekalipun ia meyakini hukum – hukum Allah lebih baik dan lebih adil.”
Saya katakan ; Perhatikanlah bagaimana beliau menganggap “sekedar” meninggalkan hukum-hukum Allah dan menggantinya dengan hukum-hukum positif sebagai kekafiran yang meniadakan iman pelakunya !!!!
Beliau juga mengatakan :
“ Barang siapa tunduk kepada Allah Ta’ala, mentaati-Nya dan berhukum kepada wahyu-Nya, maka ia adalah hamba Allah. Dan barang siapa yang tunduk kepada selain-Nya, dan berhukum kepada selain syariat-Nya, maka ia telah beribadah dan tunduk kepada thaghut, sebagaimana firman Allah :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيْدًا
” Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” [QS. An Nisa ' : 60].
Beribadah kepada Allah semata, bara’ (berlepas diri dan memusuhi) dari thaghut dan berhukum kepada Allah semata merupakan tuntutan dari bersaksi tiada ilah yang berhak diibadahi selain Allah tiada sekutu bagi-Nya dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.” Selesai perkataan beliau.
Sekarang kami hendak bertanya ; dari dua perkataan syaikh bin Bazz ini, mana yang menjadi pendapat beliau ??? Apakah dalam masalah iman dan kufur ada nasikh dan mansukh ???? Ataukah tekanan para thaghut memaksa syaikh bin Bazz untuk berubah-ubah pendapatnya seperti ini ????
Syaikh bin Bazz telah meninggal —rahimahullah— dan beliau meninggalkan kekosongan besar dalam masalah ini. Beliau telah meninggal —rahimahullah—namun belum sempat menyembuhkan kehausan para pengikut tauhid dengan perkataan beliau yang tegas tentang kedudukan para penguasa thaghut yang menguasai umat dan kekayaan umat ini, alangkah membutuhkannya kita kepada perkataan tegas tersebut. Beliau telah meninggal —semoga Allah mengampuni beliau dan kita semua— setelah menjelaskan segala persoalan secara terperinci, kecuali masalah hakimiyah dan tasyri’ ini…kecuali perkara pra thaghut ini…kecuali perkara pemerintahan kafir yang memerintah umat Islam dengan kediktatoran mereka, hampir-hampir mereka memisahkan umat Islam dari dien dan aqidah umat. Dalam masalah yang satu ini, beliau belum memberi penjelasan yang terperinci…beliau membiarkannya tetap samar sehingga membuka kesempatan seluas-luasnya bagi orang untuk mendebat dan menta’wil. Demikian juga dengan syaikh Nashirudin Al Albani dan syaikh Muhammad Shaolih Al ‘Utsaimin. Rahimahumullah ajma’in.
Wa akhiru da’waana anil hamdu lillahi rabbil ‘alamien.
Abdul Mun’im Musthafa Halimah / Abu Bashir
28/11/1421 H = 21/2/2001 M.

Kamis, 18 Agustus 2011

20. PERNYATAAN RUJUNYA USTADZ JA'FAR

Berikut pernyataan resmi Al-ustadz Ja’far Umar Thalib tentang ruju’nya beliau dari kesalahan-kesalahanya.
Sifat yang paling menonjol pada da’wah Salafiyah adalah bimbingan Ulama’ Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadapnya. Sejak pertama kali saya memandu dan menumbuh kembangkan da’wah Salafiyah di Indonesia (sejak Januari 1990), selalu saja Allah Ta`ala memudahkan saya untuk berkomunikasi dengan para Ulama’ di berbagai negeri Islam. Pertama saya berhubungan dengan As-Syaikh Al-Allamah Ihsan Ilahi Dhahir di Lahore Pakistan pada tahun 1986, kemudian pada tahun 1987 saya mengenal As-Syaikh Al-Allamah Badi’uddin As-Sindi di Karachi. Selanjutnya saya mengenal As-As-Syaikh Al-Allamah Jamilur Rahman di Kunar Afghanistan pada tahun 1988. Beliau semuanya adalah para Ulama’ Ahli Hadits / Ahlus Sunnah di Pakistan dan Afghanistan, dan beliau semuanya telah wafat, semoga Allah merahmati mereka dan melimpahkan maghfirah-Nya. Amin ya Mujibas sa’ilin. Dari beliau bertiga saya mulai mengenal nama-nama para Ulama’ Ahlus Sunnah yang masih hidup di masa itu. Yaitu Al-Imam Abdul Aziz bin Baz (di Saudi Arabia), Al-Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani (di Yordania), Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (di Saudi Arabia), Al-Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’ie (di Yaman).
Pada tahun 1990 saya diberi kesempatan oleh Allah untuk berkunjung ke Yaman dan langsung berjumpa pertama kali dengan As-Syaikh Al-Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’ie di kota San’a dan selanjutnya di desa Dammaj Sha’dah. Semua beliau para Ulama’ yang disebutkan di atas telah wafat, semoga Allah merahmati mereka dan melimpahkan kepada mereka maghfirah-Nya. Amin ya Mujibas sa’ilin. Hanya saja Allah Ta`ala tidak menaqdirkan untuk saya berjumpa dengan As-Syaikh Al-Albani sampai beliau wafat.
Setelah itu saya terus berkecimpung dalam kegiatan da’wah Salafiyah dan terus-menerus saya berkonsultasi serta menghadiri berbagai majlis Ilmu para Ulama’ tersebut. Kemudian dari majlis As-Syaikh Al-Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’ie, saya mulai mendengar nama para Ulama’ Ahli Hadits lainnya, yaitu As-Syaikh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad, As-Syaikh Al-Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, As-Syaikh Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, As-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, As-Syaikh Shalih As-Suhaimi, As-Syaikh Ubaid Al-Jabiri, As-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili. Sehingga pada tahun 1991 saya diberi kesempatan oleh Allah untuk berkunjung ke Saudi Arabia dan saya gunakan kesempatan ini untuk berkeliling mengunjungi para Ulama tersebut serta mengambil manfaat ilmu dari majlis-majlis mereka. Beliau-beliau yang disebutkan terakhir alhamdulillah masih tetap hidup sampai saat artikel ini ditulis. Semoga Allah tetap memelihara dan membimbing mereka di jalan-Nya. Amin ya Mujibas Sa’ilin.
Dari majlis para Ulama’ tersebut saya mulai mengenal para Ulama’ Ahli Hadits lainnya, yaitu As-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz Aalu Syaikh, As-Syaikh Abdullah bin Jibrin, As-Syaikh Bakr Abu Zaid, As-Syaikh Al-Allamah Muhammad Aman Al-Jami. Kedua Ulama’ yang disebutkan terakhir telah wafat. Semoga rahmat Allah dilimpahkan kepada mereka dan semoga maghfirah-Nya senantiasa meliputi mereka. Amin ya Mujibas sa’ilin.
Setelah itu setiap tahun saya diberi oleh Allah kesempatan untuk berkunjung ke Saudi Arabia dan Yaman, sehingga berkesempatan untuk mengambil faidah ilmu dari majlis para Ulama’ tersebut. Demikian terus berlangsung sampai tahun 2001 ketika saya memimpin Jihad Fi Sabilillah di Maluku dan Poso Sulawesi Tengah.
Kemudian mulailah masuk laporan serba negatif kepada para Ulama’ tentang kiprah saya di medan Jihad Fi Sabilillah, yaitu berkenaan dengan berbagai kesalahan dan kekeliruan yang saya lakukan padanya. Maka dengan taqdir Allah yang Maha Adil dan HikmahNYA yang Maha Sempurna, laporan tentang berbagai kekeliruan dan kekhilafan saya itu membikin marah As-Syaikh Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan beliaupun mengeluarkan maklumat berisi anjuran kepada saya untuk segera menghentikan aktifitas Jihad Fi Sabilillah dan membubarkan Laskar Jihad Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sehingga pada tgl. 7 Oktober 2002, saya nyatakan pembubaran Laskar Jihad Ahlus Sunnah wal Jamaah serta pembubaran organisasi Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah (FKAWJ).

PEMUTUSAN HUBUNGAN ULAMA’

Dengan pembubaran LJ dan FKAWJ, rupanya tidak menghentikan santernya arus berita negatif tentang Ja’far Umar Thalib yang dilaporkan kepada para Ulama’, khususnya kepada As-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali. Lebih-lebih setelah peristiwa pembubaran itu saya hanya memfokuskan perhatian saya kepada pondok pesantren Ihya’ As-Sunnah Yogyakarta. Sejak itu saya tidak lagi menelpon para Ulama’ karena memang tidak bisa nyambung setiap usaha untuk itu dan saya tidak ditaqdirkan oleh Allah untuk tidak bisa berkunjung ke Saudi Arabia. Sehingga benar-benar terputuslah hubungan saya dengan para Ulama’ yang masih hidup dan saya pun akhirnya untuk sementara mencukupkan diri dengan bimbingan para Ulama’ yang telah wafat melalui kitab-kitab karya warisan peninggalan mereka.
Lebih seru lagi berita negatif tentang Ja’far Umar Thalib itu, di saat saya hadir dalam acara Dzikir Bersama yang diadakan oleh saudara Muhammad Arifin Ilham bersama para tokoh Sufi (yakni tokoh pengamal ilmu Tasawwuf) dan bahkan tokoh-tokoh Kuburi (yakni tokoh-tokoh penganjur perbuatan syirik dengan mengkeramatkan kuburan orang yang dianggap wali Allah). Ja’far Umar Thalib semakin dianggap telah keluar dari Manhaj Salaf (yakni pemahaman dan pengamalan agama para Salafus Shalih). Apalagi Ja’far Umar Thalib menulis dua artikel di majalah SALAFY edisi tiga dan empat yang menerangkan alasan ilmiah mengapa ikut hadir di acara Dzikir Bersama itu. Maka Ja’far Umar Thalib dianggap telah bergabung dengan aliran Sufi dan meninggalkan Manhaj Salaf. Begitulah terus berlangsung pemberitaan tentang Ja’far Umar Thalib di kalangan Salafiyyin (yakni para penganut Manhaj Salafus Shaleh) di berbagai negeri di dunia, baik kalangan Ulama’nya ataupun kalangan Thullabul ilminya (yakni kalangan pelajar penuntut ilmu agama). Berbagai berita yang beredar itu ada saja yang sampai ke telinga saya dan saya menyikapinya dengan hanya berdoa dan berdoa kepada Allah Ta`ala. Semoga Allah memberi kesempatan kepada saya untuk bertemu As-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali sebelum saya mati ataupun sebelum As-Syaikh Rabi’ wafat. Dan saya terus berdawah dan mendidik ummat dengan Manhaj Salafus Shalih di berbagai acara pengajian di hampir seluruh wilayah Indonesia. Saya terus berusaha membekali Ummat Islam dengan ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Juga saya terus berusaha membentengi Ummat Islam dari bahaya kerusakan agama mereka, dengan memerangi segala penyelewengan dari pemahaman yang benar tentang agama Allah Ta’ala. Penyelewengan itu dalam bentuk pemahaman Pluralisme, Thariqat Sufiyah, Khawarij, dan berbagai bentuk gerakan hizbiyyah. Saya juga terus berusaha menerbitkan majalah SALAFY (media cetak) dan menayangkan website http://alghuroba.org (di internet). Dan berbagai fasilitas media lainnya, saya gunakan untuk terus mengkampanyekan berbagai materi Da’wah Salafiyah ini.

DAPAT KESEMPATAN UMRAH KE MAKKAH

Setelah berulang kali saya gagal dalam usaha untuk berangkat ke Saudi Arabia, akhirnya Allah Ta’ala menaqdirkan, untuk saya dapat berangkat ke Saudi Arabia pada tanggal 6 Mei 2008. Saya sampai di Makkah dengan niat menunaikan ibadah Umrah di Ka’bah Baitullah Al-Mukarram. Allah Ta’ala memudahkan segenap perjalanan ibadah Umrah saya. Semoga Allah menerima amalan Umrah tersebut. Amin ya Mujibas sa’ilin.
Di saat saya berada di Masjidil Haram Makkah, Allah Ta’ala memberi kesempatan kepada saya untuk berdoa di setiap tempat yang disunnahkan untuk berdoa padanya. Terutama di Multazam, yaitu tempat antara Hajar Aswad dengan pintu Ka’bah dimana tempat tersebut adalah tempat yang amat didengar doa setiap hamba Allah oleh-NYA dan dikabulkan. Di tempat itu saya berdoa, ya Allah beri saya kemudahan untuk dapat bertemu dengan As-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan berkahilah pertemuan kami itu.
Maka dengan Pertolongan Allah Ta’ala dan kemudian dengan pertolongan beberapa ikhwan Salafiyyin di kota Jeddah, akhirnya pada tanggal 10 Mei 2008 saya bertemu As-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali di rumah kediaman beliau di komplek perumahan Awali Makkah. Tampak beliau lebih tua dibanding pertemuan saya dengannya tujuh tahun yang lalu. Setelah salam dan saling menanyakan kabar, langsung saja teman Salafi yang membawa kami dari Jeddah (yaitu As-Syaikh Ahmad Al-Ghamidi), memperkenalkan kami dengan beliau. Dan tampaknya beliau telah lupa dengan saya sehingga beliau baru ingat kalau saya adalah Ja’far Umar Thalib yang memimpin Jihad Fi Sabilillah di Maluku dan di Poso. Begitu beliau mengetahui bahwa yang datang ini adalah orang yang selalu diberitakan dan dilaporkan kepada beliau, langsung saja beliau bertanya kepada saya: “Apa yang kamu inginkan dari saya?” Maka sayapun langsung menjawab: “Saya ingin mempertanyakan apa yang antum nyatakan tentang saya bahwa saya telah antum hukumi keluar dari manhaj Salaf.” Demi mendengar pernyataan saya itu langsung beliau nyatakan: “Saya tidak akan memutuskan apa yang kalian perselisihkan kecuali kalau kedua belah pihak dari kalian telah berkumpul di hadapan saya. Hanya saja saya nasehatkan kamu untuk kembali bergabung dengan salafiyyin di Indonesia. Bukan sebagai pemimpin mereka, akan tetapi kamu menjadi sebagian dari mereka.”
Nasehat beliau langsung saya sambut dengan pernyataan: ‘Wahai Syaikh Rabi’, sesungguhnya sekarang ini tidak ada lagi perkara kepemimpinan. Namun saya ingin mendapat keterangan dan nasehat dari antum tentang mengapa saya dianggap keluar dari manhaj Salaf dan apa nasehat antum untuk saya agar saya dapat memperbaiki kekeliruan saya?” As-Syaikh Rabi’ langsung menjawab: “Saya menganggap kamu keluar dari manhaj Salaf, karena kamu:
1. Menulis surat bantahan terhadap nasehat yang telah saya berikan berkenaan dengan kekeliruan kamu dalam memimpin jihad. Dari suratmu itu saya mendapati bahwa kamu bukanlah Ja’far Umar Thalib yang dulu. Karena tampak dari suratmu itu bahwa kamu telah bersikap tidak sopan kepada Ulama’.
2. Kamu memutuskan hubungan dengan Ulama’.
3. Kamu menggelari saudara-saudara kamu dari kalangan Salafiyyin dengan gelar yang jelek.
Karena itu saya nasehatkan kepadamu agar kamu meninggalkan arena politik praktis. Sebab dengan terlibat dalam arena politik itu kamu terlalaikan dari kemestian da’wah Salafiyah. As-Syaikh Al-Allamah Muhammad Amin As-Syanqithi rahimahullah menyatakan: “Politik gaya demokratisme itu adalah anak perempuannya anjing. Maka jangan kamu memasuki arena politik praktis itu.” Juga saya nasehatkan kepadamu untuk kamu bertaqwa kepada Allah dalam menjalankan kegiatan Da’wah dan ikhlaskanlah amalanmu itu hanya untuk Allah. Saya nasehatkan kepadamu agar engkau menulis berbagai kesalahanmu untuk kemudian kamu bertaubat kepada Allah Ta’ala dari berbagai kesalahan itu. Saya menasehatkan kepadamu agar kamu berupaya sungguh-sungguh untuk membangun semangat saling mencinta di antara kamu dengan saudara-saudaramu kalangan Salafiyyin. Upayakanlah untuk kamu kembali dalam suasana saling tolong menolong dengan mereka dalam rangka kebaikan dan ketaqwaan. Jauhkanlah berbagai sebab yang mengarah kepada perselisihan dan perpecahan di kalangan kalian. Karena perpecahan dan permusuhan diantara kalian itu telah melemahkan Da’wah Salafiyah di Indonesia. Allah Ta’ala berfirman:
Dan janganlah kalian bertikai di antara kalian, karena pertikaian itu akan menjadikan kalian kalah dari musuh kalian dan akan menghilangkan kekuatan kalian.” (Al-Anfal: 46)
Demikian As-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah menasehati saya bagaikan Bapak yang menasehati anaknya. Beliau menahan saya di rumahnya agar saya makan malam bersama beliau. Namun karena As-Syaikh Ahmad Al-Ghamidi harus pulang ke Jeddah setelah shalat Isya’ maka kami memohon maaf kepada As-Syaikh Rabi’ dan beliaupun mengantarkan kami pulang sampai ke pintu keluar sambil terus menasehati saya untuk dapat kembali hidup rukun dengan ikhwan Salafiyyin di Indonesia sebagaimana dulu.

MAJLIS UNTUK MENGINGAT KESALAHANKU

Setelah kunjungan saya ke rumah As-Syaikh Rabi’ di Makkah, saya melanjutkan kunjunganku ke Al-Madinah An-Nabawiyah. Di sana saya berkesempatan untuk shalat di Masjid Nabawi dan masjid Quba’. Dalam kesempatan tersebut, Allah Ta’ala menolong saya dengan memudahkan saya untuk berkenalan dengan seorang Thalibul Ilmi senior bernama As-Syaikh Usamah bin Athaya Al-Utaibi. Saya dibawa ke rumah beliau dan kemudian saya dibawa kerumah As-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Hadi Al-Madkhali. Namun Anas bin Muhammad Al-Madkhali menemui kami di luar rumah dan memberi tahu kami bahwa ayahnya sedang sakit sehingga tidak mampu duduk menemui tamunya. Maka kamipun segera menuju ke rumah As-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aqil dan kami diterima dengan senang hati oleh beliau. Sehingga beliau berinisiatif untuk mengundang para mahasiswa Indonesia Salafiyyin yang sedang menempuh studi ilmu-ilmu keislaman di tingkat S2 dan S3 Universitas Islam di Al-Madinah An-Nabawiyah. Maka pada malam berikutnya berkumpullah di rumah As-Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aqil kurang lebih lima belas orang mahasiswa dan beberapa ikhwan Salafiyyin Indonesia. Di majlis yang moderatornya As-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aqil itu terjadi perdebatan yang seru tentang berbagai masalah berkenaan dengan tindakan saya yang dinilai salah oleh para mahasiswa itu. Dan yang paling seru pembahasannya ialah perkara kehadiran saya di majlis dzikir Arifin Ilham dan kecenderungan saya untuk sependapat dengan tulisan Abdullah bin Yusuf Al Judai’ yang menghalalkan musik dalam kitabnya yang kontroversial berjudul Al-Musiqa wal Ghina’ fi Mizanil Islam (artinya: Hukum Musik dan Nyanyian Dalam Timbangan Islam).
Dalam majlis itu saya kemukakan alasan saya menghadiri majlis dzikir itu, yaitu karena saya yakin bahwa dzikir bersama itu bukanlah bid’ah dan saya hadir di sana adalah dalam rangka menyampaikan ceramah berkenaan dengan ilmu serta seruan saya kepada yang hadir untuk mempelajari serta mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, kemudian meninggalkan syirik dan bid’ah. Mereka yang hadir meyakini bahwa dzikir bersama itu adalah bid’ah sebagaimana pendapat Al-Imam As-Syatibi. Saya mengemukakan kepada mereka dalil-dalil dari As-Sunnah An-Nabawiyah berkenaan dengan dzikir bersama serta keterangan para Ulama’ Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap dalil-dalil tersebut. Akhirnya As-Syaikh Muhammad menyimpulkan bahwa masalah tersebut perlu dipelajari lagi lebih serius. Namun permasalahan kehadiran saya di majlis dzikirnya Arifin Ilham itu dinilai oleh para hadirin, lebih banyak merugikannya dari pada menguntungkan untuk kepentingan Da’wah Salafiyah. Karena di sana saya ditampilkan duduk dengan para musuh Da’wah Salafiyyah seperti hizbiyyin dan quburiyyin. Yang demikian ini dikuatirkan akan mengesankan bahwa kita harus bersatu dengan hizbiyyin dan quburiyyin. Padahal Da’wah Salafiyyah sangat menentang hizbiyyah dan segala bentuk penyembahan quburan yang dikeramatkan. Maka dalam hal pandangan mafsadah (kerusakan) yang ditimbulkan oleh kehadiran saya di majlis itu, saya setuju dengan segenap yang hadir di rumah As-Syaikh Muhammad, dan saya nyatakan bahwa Ja’far Umar Thalib tidak sepantasnya untuk mendatangi majlis dzikir Arifin Ilham meskipun untuk berceramah padanya. Maka dengan tulisan ini sekaligus saya nyatakan bahwa mulai sekarang Ja’far Umar Thalib tidak akan hadir di majlis dzikir Arifin Ilham dan sekaligus juga Ja’far Umar Thalib menyatakan keluar dari Dewan Syari’ah Majlis Adz-Dzikra Arifin Ilham.
Adapun permasalahan pandangan saya tentang halalnya musik berdasarkan bacaan saya dari buku karya Abdullah bin Yusuf Al-Judai’, maka para mahasiswa Indonesia itu memberi tahu saya bahwa telah terbit buku bantahan terhadapnya yang ditulis oleh As-Syaikh Abdullah Ramadhan bin Musa yang diterbitkan oleh Darul Mu’ayyid –Riyadh Saudi Arabia. Merekapun memberikan kepada saya buku bantahan tersebut sebagai hadiah untukku berupa kitab yang tebalnya 620 halaman. Saya dengan senang hati menerima hadiah tersebut yang sangat berharga bagi saya dan langsung saya pelajari sampai artikel ini saya terbitkan. Saya belum selesai mempelajarinya dan untuk sementara saya nyatakan disini bahwa saya mencabut peredaran fatwaku tentang musik ini. Dan saya terus mempelajari tentang masalah tersebut.
Dan dalam rangka menjalankan apa yang dinasehatkan oleh As-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali kepadaku, maka dalam tulisan ini saya lengkapi pernyataan taubatku kepada Allah dari tindakanku menggelari Salafiyyin di Indonesia dengan gelar Ahlul Fitnah wal Khiyanah (artinya tukang fitnah dan tukang khianat). Saya nyatakan bahwa saya telah bersalah dengan menggelari mereka seperti itu, dan dengan demikian saya cabut pernyataanku yang demikian itu. Maka dengan kerendahan hati saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada segenap Salafiyyin atas kesalahan dan kedhalimanku terhadap hak kehormatan mereka.
Saya juga mengajak segenap Salafiyyin untuk bersatu kembali dalam naungan manhaj Salafus Shalih dan terus-menerus kita perlu mengoreksi diri kita sendiri dari berbagai kesalahan, kekhilafan dan penyimpangan dari manhaj tersebut. Marilah kita tumbuhkan semangat ukhuwwah Islamiyyah di atas landasan Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah. Kita tumbuhkan husnud dzan (baik sangka) di antara kita Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan jauhkanlah berbagai suud dzan (sangkaan jelek) terhadap sesama kita agar kita dapat mematahkan berbagai makar setan yang terus-menerus ingin menyalakan api fitnah diantara Salafiyyin untuk melemahkan perjuangan Da’wah Salafiyyah.
Saya terus berdoa kepada Allah Ta’ala untuk membuka hatiku dan hati segenap Salafiyyin di Indonesia khususnya untuk menyambut ajakan dan seruan persatuan kembali Salafiyyin dalam suasana persaudaraan dan cinta karena Allah. Semoga Allah Ta’ala memberi hidayah dan taufiq kepada saya dan kepada segenap ikhwan Salafiyyin untuk kita saling menegur dan memperbaiki berbagai kekurangan, kesalahan, dan penyimpangan kita dalam suasana penuh cinta serta husnud dzan dalam ikatan persaudaraan karena Allah semata. Ya Allah, kabulkanlah doa hamba-MU ini. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendzalimi diri kami. Maka bila ENGKAU tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami menjadi golongan orang-orang yang merugi.

P E N U T U P

Saya tulis segala cerita dan pernyataan saya di dalam artikel ini dengan mengharap ridla Allah dan barakahNYA. Tentang apakah cerita yang saya sampaikan di sini memang benar, maka saya nyatakan di sini bahwa saya tidak punya bukti dan tidak punya saksi bagi kebenaran ceritaku di sini. Jadi bagi pembaca yang menyangsikan cerita ini atau bahkan tidak mempercayainya, maka alhamdulillah saya tidak keberatan dan tidak dirugikan. Hanya Allahlah yang menjadi saksi tentang kebenaran cerita ini, karena Dia-lah yang Maha Tahu segala yang terjadi dan segala yang tersembunyi di lubuk hati yang paling dalam. Siapapun yang ingin menegur dan membukakan pikiran saya dengan ilmu tentang kesalahan dan kekhilafan saya atau bahkan penyimpangan saya, saya akan sangat berterimakasih kepadanya bila dia langsung menghubungi saya. Bukan dengan SMS gelap atau surat kaleng ataupun yang sejenisnya. Karena teguran dengan jalan gelap yang demikian itu lebih membesarkan peluang bagi syaithan untuk menumbuhkan su’udzdzan dan permusuhan di antara kita. Wallahu a’lamu bis shawab.

Al-Ustadz Ja’far Umar Thalib
Dikutip dari http://alghuroba.org/index.php?read=142

Rabu, 13 Juli 2011

19. HUKUM ASURANSI

Dalam praktik bisnis pada umumnya, pembeli sering berada dalam posisi dirugikan. “Kaidah” ini tak terkecuali juga berlaku pada sistem asuransi. Pencairan klaim yang dipersulit adalah contoh persoalan paling klise yang banyak dialami tertanggung atau pemegang polis. Namun yang namanya pertaruhan, tak ada yang mau dirugikan begitu saja. Banyak juga kasus di mana tertanggung dengan sengaja membakar atau menghilangkan asset miliknya menjelang habis masa pertanggungan demi memperoleh klaim. Bagaimana Islam menyoroti “perjudian” bernama asuransi ini? Simak kupasannya!

Asuransi yang jenisnya kian beragam pada masa sekarang, sebenarnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga: asuransi sosial, asuransi ta’awun (gotong-royong), dan asuransi tijarah (bisnis).

Asuransi Sosial
Biasanya, asuransi jenis ini diperuntukkan bagi pegawai pemerintah, sipil maupun militer. Sering juga didapati pada karyawan perusahaan swasta. Gambarannya, pihak perusahaan memotong gaji karyawan setiap bulan dengan persentase tertentu dengan tujuan:
1. Sebagai tunjangan hari tua (THT), yang biasanya uang tersebut diserahkan seluruhnya pada masa purna tugas seorang karyawan. Terkadang ditambah subsidi khusus dari perusahaan.
2. Sebagai bantuan atau santunan bagi mereka yang wafat sebelum purna bakti, diserahkan kepada ahli waris atau yang mewakili.
3. Sebagai pesangon bagi karyawan yang pensiun dini.
Pemotongan gaji dengan tujuan di atas yang dilakukan oleh pemerintah atau sebuah perusahaan swasta murni untuk santunan bagi karyawan, bukan dalam rangka dikembangkan untuk mendapatkan laba (investasi), maka hukum asuransi jenis ini dengan sistem seperti yang tersebut di atas adalah boleh, karena termasuk dalam bab ta’awun (tolong-menolong) dalam kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma`idah: 2)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ

“Dan Allah selalu menolong seorang hamba selama dia selalu menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 3391 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Upaya di atas termasuk pula dalam bab ihsan (berbuat baik) kepada sesama. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 15/284, dan Syarhul Buyu’ hal. 38)
Bila potongan gaji tersebut dimanfaatkan untuk investasi dalam rangka menghasilkan penambahan nominal dari total nilai gaji yang ada, maka tidak boleh (haram), karena termasuk memakan harta orang lain dengan cara kebatilan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil.” (Al-Baqarah: 188)
Maka tidak ada hak bagi karyawan tadi kecuali nominal gajinya yang dipotong selama kerja. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ

“Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 279)
Namun bila nominal tambahan tersebut telah diterima oleh sang karyawan dalam keadaan tidak mengetahui hokum sebelumnya, maka boleh dimanfaatkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)
Bila dia mengambilnya atas dasar ilmu (yakni mengetahui) tentang keharamannya, dia wajib bertaubat dan mensedekahkan ‘tambahan’ tadi. Wallahu a’lam bish-shawab. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 15/261)

Asuransi Ta’awun (Gotong Royong)
Asuransi ini dibangun dengan tujuan membantu dan meringankan pihak-pihak yang membutuhkan atau yang terkena musibah. Gambarannya, sejumlah anggota menyerahkan saham dalam bentuk uang yang disetorkan setiap pekan atau bulan dengan nominal yang tidak ditentukan nilainya, kepada yayasan/lembaga yang menangani musibah, bencana dan orang yang membutuhkan.
Biasanya, saham akan dihentikan untuk sementara bila jumlah uang dirasa sudah cukup dan tidak terjadi bencana atau musibah yang menyebabkan kas menipis atau membutuhkan suntikan dana. Sahamsaham dalam bentuk uang itu sendiri tidak dikembangkan dalam bentuk investasi. Dan asuransi ini murni dibangun di atas dasar kesadaran dan saling membantu, bukan paksaan.
Contoh di lapangan yang disebutkan oleh Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah adalah asuransi gotong royong pada perkumpulan angkutan kota atau bis (di mana kendaraan-kendaraan itu milik pribadi, bukan milik sebuah perusahaan). Caranya, masing-masing anggota menyetorkan sejumlah nominal tak tertentu, setiap pekan/bulan, kepada salah seorang yang mereka tunjuk untuk membantu anggota mereka yang mengalami kecelakaan atau terkena musibah. Setoran tersebut bersifat sukarela dan tidak mengikat, dengan nominal beragam dan dihentikan bila dirasa sudah cukup dan tidak ada musibah.
Mengenai asuransi jenis ini, para ulama anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah dan anggota Kibarul Ulama Kerajaan Saudi Arabia telah melakukan pertemuan ke-10 di kota Riyadh pada bulan Rabi’ul Awwal 1397 H. Hasilnya , mereka sepakat bahwa ta’awun ini diperbolehkan dan bisa menjadi ganti dari asuransi tijarah (bisnis) yang diharamkan, dengan beberapa alasan berikut:
1. Asuransi ta’awun termasuk akad tolong-menolong untuk membantu pihak yang terkena musibah, tidak bertujuan bisnis atau mengeruk keuntungan dari harta orang lain. Tujuannya hanyalah membagi beban musibah tersebut di antara mereka dan bergotong royong meringankannya.
2. Asuransi ta’awun ini terlepas dari dua jenis riba: fadhl dan nasi`ah. Akad para pemberi saham tidak termasuk akad riba serta tidak memanfaatkan kas yang ada untuk muamalah-muamalah riba.
3. Tidak mengapa bila pihak yang memberi saham tidak mengetahui secara pasti jumlah nominal yang akan diberikan kepadanya bila dia terkena musibah. Sebab, mereka semua adalah donatur (anggota), tidak ada pertaruhan, penipuan, atau perjudian.
Kemudian mereka memberikan usulan-usulan kepada pemerintah Kerajaan Saudi Arabia seputar masalah sosialisasi asuransi ta’awun ini. Lihat uraian panjang tentang masalah ini dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (15/287-292).
Sementara Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni menyayangkan dua hal yang ada pada yayasan atau lembaga yang menangani asuransi ini, yaitu:
1. Menaruh uang-uang tersebut di bank-bank riba tanpa ada keadaan yang darurat.
2. Memaksa para anggota untuk menyetorkan saham mereka dengan nominal tetap/ditentukan.
Wallahu a’lam. (Syarhul Buyu’, hal. 39)

Asuransi Tijarah (Bisnis)
Lembaga asuransi seperti ini biasanya lekat dengan para pelaku usaha dan orang yang memiliki harta berlebih, namun bisa juga bermuamalah dengan pihak manapun.
Gambaran sistem asuransi ini adalah pihak nasabah membayar nominal (premi) tertentu kepada perusahaan/lembaga asuransi setiap bulan atau tahun, atau setiap order, atau sesuai kesepakatan bersama, dengan ketentuan bila terjadi kerusakan atau musibah maka pihak lembaga asuransi menanggung seluruh biaya ganti rugi. Bila tidak terjadi sesuatu, maka setoran terus berjalan dan menjadi milik lembaga asuransi.
Asuransi jenis ini adalah bisnis murni karena memang didirikan dalam rangka mengeruk keuntungan. Terbukti, mereka biasanya akan lepas tangan dari para nasabahnya ketika terjadi peperangan besar atau tragedi –misalnya– yang mengakibatkan kerugian sangat banyak.
Ringkasnya, orang yang terbelit asuransi ini akan menghadapi pertaruhan dengan dua kemungkinan: untung atau rugi.
Untuk asuransi jenis ini, para ulama masa kini berikut lembaga-lembaga pengkajian fikih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami, Hai`ah Kibarul Ulama, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah Kerajaan Saudi Arabia, serta lembagalembaga keislaman yang lainnya baik di dunia Arab maupun internasional, telah bersepakat menyatakan keharaman asuransi jenis ini. Kecuali beberapa gelintir ulama saja yang membolehkan dengan alasan keamanan harta benda.
Berikut ini beberapa argumentasi yang disebutkan oleh Hai`ah Kibarul Ulama pada ketetapan mereka no. 55 tanggal 4/4/1397 H, tentang pengharaman asuransi bisnis di atas:
1. Asuransi bisnis termasuk pertukaran harta yang berspekulasi tinggi dengan tingkat pertaruhan yang sangat parah. Sebab, pihak nasabah tidak tahu berapa nominal yang akan dia berikan nanti dan berapa pula nominal yang bakal dia terima. Bisa jadi, dia baru menyetor sekali atau dua kali, lalu terjadi musibah sehingga dia menerima nominal (nilai pertanggungan) yang sangat besar sesuai dengan kejadiannya. Namun mungkin pula dia menyetor terus menerus dan tidak terjadi apa-apa, sehingga perusahaan asuransi meraup keuntungan besar. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang sistem jual beli gharar (yang mengandung unsur pertaruhan).
2. Asuransi bisnis termasuk salah satu jenis perjudian, dan termasuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (Al-Ma`idah: 90)
3. Asuransi ini mengandung riba fadhl dan riba nasi`ah. Rinciannya sebagai berikut:
 Bila lembaga asuransi memberikan kepada tertanggung atau ahli waris yang bersangkutan melebihi nominal yang disetorkan, maka ini adalah riba fadhl.
 Bila lembaga asuransi menyerahkannya setelah waktu yang berselang lama dari akad, maka ia juga terjatuh dalam riba nasi`ah.
 Namun bila perusahaan tersebut menyerahkan nominal yang sama dengan jumlah setoran nasabah, tetapi setelah selang waktu yang lama, maka dia terjatuh dalam riba nasi`ah saja.
Kedua jenis riba di atas adalah haram dengan nash dalil dan kesepakatan ulama.
4. Asuransi ini termasuk jenis pegadaian/perlombaan yang diharamkan, karena mengandung pertaruhan, perjudian, dan penuh spekulasi. Pihak tertanggung memasang pertaruhan dengan setoran-setoran yang intensif, sedangkan pihak lembaga asuransi pertaruhannya dengan menyiapkan ganti rugi. Siapa yang beruntung maka dia yang mengambil pertaruhan pihak lain. Mungkin terjadi musibah dan mungkin saja selamat darinya.
5. Asuransi ini mengandung upaya memakan harta orang lain dengan cara kebatilan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian.” (An-Nisa`: 29)
6. Dalam asuransi ini terdapat tindakan mengharuskan sesuatu yang tidak ada keharusannya secara syariat. Pihak lembaga asuransi diharuskan membayar semua kerugian yang dialami pihak nasabah, padahal musibah itu tidak berasal dari lembaga asuransi tersebut atau disebabkan olehnya. Dia hanya melakukan akad asuransi dengan pihak nasabah, dengan jaminan ganti rugi yang diperkirakan terjadi, dengan mendapatkan nominal yang disetorkan pihak nasabah. Tindakan ini adalah haram.
Kemudian para ulama tersebut membantah satu per satu argumentasi pihak yang membolehkan asuransi ini dengan uraian yang panjang lebar, yang dibukukan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (15/275-287, juga 15/246-248). Lihat juga dalam Syarhul Buyu’ (hal. 38-39).
Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah menjelaskan bahwa system asuransi jenis ini awal mulanya bersumber dari Zionis Yahudi di Amerika. Dan ketika melakukan penjajahan terhadap wilayah-wilayah Islam, mereka memasukkan aturan ini ke tengah-tengah kaum muslimin. Semenjak itulah asuransi ini tersebar dengan beragam jenis dan modus. Wallahul musta’an
.
Fatwa Ulama Seputar Asuransi
Al-Lajnah Ad-Da`imah pernah ditanya tentang beragam jenis asuransi dengan soal yang terperinci. Berikut ini pertanyaannya secara ringkas:
“Ada yang meminta fatwa tentang jenis asuransi berikut:
1. Asuransi barang ekspor impor (pengiriman barang): per tahun atau setiap kali mengirim barang dengan jaminan ganti rugi kerusakan kargo laut, darat ataupun udara.
2. Asuransi mobil (kendaraan) dengan beragam jenis dan mereknya: Disesuaikan dengan jenis mobil, penggunaannya sesuai permintaan, dengan jaminan ganti rugi semua kecelakaan, baik tabrakan, terbakar, dicuri, atau yang lain. Juga ganti rugi untuk pihak nasabah yang mengalami musibah dan atau kecelakaan yang ada.
3. Asuransi ekspedisi darat: Untuk pengiriman dalam dan luar negeri dengan setoran intensif tahunan per ekspedisi, dengan ganti rugi total bila terjadi musibah.
4. Asuransi harta benda: Seperti ruko, pertokoan, pabrik, perusahaan, perumahan, dan sebagainya, dengan ganti rugi total bila terjadi kebakaran, pencurian, banjir besar, dll.
5. Asuransi barang berharga: Seperti cek, surat-surat penting, mata uang, permata, dsb, dengan ganti rugi total bila terjadi perampokan/pencurian.
6. Asuransi rumah dan villa/hotel.
7. Asuransi proyek, baik proyek pembangunan ataupun pabrik dan semua jenis proyek.
8. Asuransi tata kota.
9. Asuransi tenaga kerja.
10. Asuransi jiwa atau kejadiankejadian pribadi seperti asuransi kesehatan (askes) dan pengobatan.
Itu semua dengan menyetor uang secara intensif dengan nominal yang disepakati bersama.”
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab bahwa semua jenis asuransi dengan system di atas adalah haram, dengan argumentasi yang telah disebutkan di atas. Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa Al-Lajnah, 15/243-248)

Masalah 1: Bolehkah asuransi masjid?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (15/258-259):
“Asuransi bisnis adalah haram, baik itu asuransi jiwa, barang, mobil, tanah/rumah, walaupun itu adalah masjid atau tanah wakaf. Karena mengandung unsur jahalah (ketidaktahuan), pertaruhan, perjudian, riba, dan larangan-larangan syar’i lainnya.”
Ketua: Asy-Syaikh Ibnu baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Anggota: Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud dan Asy-Syaikh Ibnu Ghudayyan.

Masalah 2: Askes (Asuransi Kesehatan)
Al-Lajnah Ad-Da`imah pernah ditanya tentang asuransi kesehatan dengan system berikut:
1. Asuransi pengobatan
Ketentuannya, pihak yang ikut serta dalam program kesehatan tersebut menyerahkan nominal tertentu yang disepakati bersama, dan dia akan mendapatkan pelayanan serta diskon berikut:
a. Pemeriksaan kesehatan selama menjadi anggota maksimal 3 kali sebulan
b. Diskon 5% untuk pembelian obat
c. Diskon 15% untuk operasi di salah satu rumah sakit tertentu
d. Diskon 20% untuk tes kesehatan dan pelayanan apotek
e. Diskon 5% untuk pemasangan gigi.
Nominal setoran 580 real Saudi, dan bila anggota keluarga ikut semua maka setoran per kepala 475 real Saudi.
2. Asuransi kehamilan dan kelahiran
Cukup dengan membayar 800 real Saudi selama masa kehamilan, dengan pelayanan sbb:
a. Pemeriksaan kesehatan sejak awal kehamilan hingga melahirkan, 2-3 kali dalam sebulan. Khusus bulan terakhir dari kehamilan, pemeriksaan sekali sepekan.
b. Pemeriksaan gratis 2 kali di rumah setelah melahirkan.
c. Si bayi mendapatkan kartu pengobatan gratis selama setahun.
3. Asuransi anak sehat
Setorannya 490 real per tahun, dengan pelayanan:
a. Pemeriksaan bayi selama setahun sampai 3 kali dalam sebulan.
b. Diskon 20% untuk UGD dan operasi kecil.
c. Diskon 15% untuk operasi besar di salah satu rumah sakit tertentu.
Jawaban Al-Lajnah Ad-Da`imah (15/272-274):
Program ini termasuk jenis asuransi kesehatan yang berafiliasi bisnis, dan itu adalah haram karena termasuk akad perjudian dan pertaruhan.
Nominal yang diserahkan nasabah untuk mendapatkan pelayanan berdiskon selama setahun, lebih atau kurang, terkadang tidak dia manfaatkan sama sekali karena dia tidak membutuhkan pelayanan di klinik tersebut selama jangka waktu itu. Sehingga dia rugi dengan jumlah nominal tersebut. Yang untung adalah pihak klinik. Terkadang pula dia mengambil faedah besar yang berlipat ganda dari nominal yang dia serahkan, sehingga dia untung dan kliniknya rugi…
Program ini adalah perjudian yang diharamkan dengan nash Al-Qur`an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (Al-Ma`idah: 90)
Ketua: Asy-Syaikh Ibnu Baz, Anggota: Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, Asy-Syaikh Abdul Aziz Alusy Syaikh, Asy-Syaikh Shalih Fauzan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan.

Masalah 3: Apa hukumnya bekerja di lembaga asuransi bisnis?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (15/251, lihat pula 15/262-264):
Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk bekerja di perusahaan asuransi sebagai sekretaris ataupun lainnya. Sebab bekerja di situ termasuk ta’awun (kerjasama) di atas dosa dan permusuhan, dan ini dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma`idah: 2)
Ketua: Asy-Syaikh Ibn Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan.

Masalah 4: Bila uang ganti rugi dari lembaga asuransi telah diterima, apa yang harus dilakukan?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (15/260-261):
Adapun harta yang telah diterima dari hasil akad asuransi bisnis, bila dia menerimanya karena tidak tahu hukumnya secara syari’i, maka tidak ada dosa baginya. Namun dia tidak boleh mengulangi lagi akad asuransi tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)
Tetapi bila dia menerimanya setelah tahu hukumnya, dia wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan taubat nasuha, dan mensedekahkan keuntungan tersebut.
Ketua: Asy-Syaikh Ibn Baz, Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud.
Ketika menjawab pertanyaan senada (15/260) Al-Lajnah Ad-Da`imah menyatakan: “Pihak nasabah boleh mengambil nominal uang yang pernah dia setorkan ke lembaga asuransi. Sedangkan sisanya dia sedekahkan untuk para faqir miskin, atau dia belanjakan untuk sisi-sisi kebajikan lainnya dan dia harus lepas/keluar dari lembaga asuransi.”
Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah menjelaskan: “Bila para pelaku usaha dan hartawan dipaksa untuk bermuamalah dengan lembagalembaga asuransi oleh pihak-pihak yang tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapinya atau menolak permintaannya, sehingga mereka menyetor dan bermuamalah dengan lembaga tersebut. Dosanya ditanggung oleh pihak yang memaksa. Namun ketika terjadi musibah, mereka tidak boleh menerima kecuali nominal yang telah mereka setorkan.” (Syarhul Buyu’ hal 39, pada catatan kaki).
Demikian uraian tentang masalah asuransi. Semoga bermanfaat.
Wallahul muwaffiq.

http://asysyariah.com/print.php?id_online=423

Selasa, 05 Juli 2011

18. Syaikh Albani mengkafirkan Al Bukhori ? DUSTA !!!!!

KEDUSTAAN TUDUHAN :
AL-ALBANY  MENGKAFIRKAN AL-BUKHARI

    Saudaraku kaum muslimin, semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa merahmati kita semua…
    Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany rahimahullah adalah salah seorang ulama’ Ahlussunnah. Beliau memiliki kapasitas keilmuan dalam ilmu hadits yang tidak diragukan lagi. Karya-karya beliau banyak dijadikan rujukan. Sebagai salah satu bentuk nikmat yang Allah berikan kepada kaum muslimin adalah hasil-hasil penelitian/ kajian beliau terhadap hadits-hadits Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam.
    Begitu bermanfaatnya tulisan-tulisan kajian hadits Syaikh alAlbaany tersebut, sampai-sampai Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i menyatakan: “Suatu perpustakaan (Islam) yang tidak memiliki karya Syaikh al-Albaany adalah perpustakaan yang miskin”. Karya tulis beliau memang benar-benar dijadikan referensi kaum muslimin. Baik Ahlussunnah yang mengambil faidah dari kajian ilmiyah tersebut, maupun musuh-musuh beliau yang dengki terhadap beliau, tidak sedikit yang juga menyimpan karya tulis beliau dalam bagian koleksi pribadinya, kemudian secara diam-diam menjadikannya sebagai salah satu rujukan.
    Para penentang dakwah Ahlussunnah menganggap Syaikh alAlbany sebagai Imam Salafy yang secara fanatik diikuti secara membabi buta. Padahal tidak demikian. Beliau adalah salah satu dari sekian banyak Ulama’ Ahlussunnah, yang semua Ulama’ tersebut diperlakukan sama oleh Ahlussunnah dalam hal: dihormati karena keilmuannya tanpa melampaui batas, diikuti nasehat dan bimbingannya selama sesuai dengan Sunnah Nabi, dan dijelaskan ketergelinciran atau kesalahan ijtihadnya –jika diperlukan- dalam beberapa hal dengan tetap memperhatikan adab dan mendoakan rahmat bagi beliau. Sebagai manusia, beliau tidaklah luput dari kesalahan. Sebagaimana ucapan Imam Malik:
كل أحد يؤخذ من قوله، ويترك، إلا صاحب هذا القبر صلى الله عليه وسلم
“Setiap orang ucapannya bisa diambil atau ditinggalkan, kecuali orang yang ada di dalam kubur ini (sambil mengisyaratkan pada kuburan Nabi) shollallaahu ‘alaihi wasallam (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ karya al-Hafidz Adz-Dzahaby juz 8 halaman 93).
    Ya, setiap orang selain Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah ma’shum (terjaga) dari kesalahan. Hanya Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam sajalah yang petunjuknya dalam masalah Dien tidak bisa tidak harus diikuti. Sabda beliau tidak bisa ditolak. Beda dengan manusia lain. Manusia lain, siapapun orangnya, setinggi apapun tingkat keilmuannya, ada kalanya benar, ada kalanya salah.
    Demikian juga Syaikh al-Albany. Ahlussunnah tidaklah fanatik secara membabi buta terhadap hasil telaah hadits yang beliau lakukan. Jika hasil penelitian Syaikh al-Albany terhadap suatu hadits ternyata bertentangan dengan kajian Ulama’ Ahlussunnah lain yang pendapatnya lebih kuat, ditopang hujjah yang lebih kokoh, maka pendapat Ulama’ Ahlussunnah itulah yang harus diikuti.
    Lajnah ad-Daimah pada saat masih diketuai Syaikh Bin Baz beberapa kali pernah menjadikan hasil penelitian Syaikh al-Albany sebagai rujukan. Silakan disimak tanya jawab berikut dalam Fatwa Lajnah ad-Daaimah:
س: « صنفان من الناس إذا صلحا صلح الناس... » إلخ، هل هو حديث أو من كلام عمر ؟
ج: رواه أبو نعيم في [الحلية] عن ابن عباس ، وقد ذكره السيوطي في الجامع الصغير بهذا اللفظ: « صنفان من الناس إذا صلحا صلح الناس وإذا فسدا فسد الناس: العلماء والأمراء » ورمز له السيوطي بالضعف، ونقل المناوي في شرحه [الجامع الصغير] عن الحافظ العراقي أنه ضعيف، وذكر أخونا العلامة الشيخ ناصر الدين الألباني في كتاب [سلسلة الأحاديث الضعيفة] أنه موضوع؛ لأن في إسناده محمد بن زياد اليشكري ، وهو كذاب، قاله أحمد وابن معين .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
Pertanyaan: “Ada 2 kelompok orang yang  jika mereka berdua baik, maka akan baiklah keadaan manusia…”. Apakah (lafadz) itu adalah hadits atau ucapan Umar?
Jawaban: (Ucapan) itu diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam ‘al-Hilyah’ dari Ibnu Abbas. As-Suyuthy menyebutkannya dalam al-Jami’us Shaghir dengan lafadz: “ Dua kelompok orang yang jika baik keduanya, maka manusia akan baik, yaitu Ulama’ dan Umara’ (pemimpin)”. As-Suyuthy mengisyaratkan kelemahannya. Dan alMunawy menukil perkataan alHafidz al-‘Iraqy dalam Syarahnya terhadap alJami’us Shaghir bahwasanya itu lemah(dhaif). Dan saudara kita asy-Syaikh Nashiruddin al-Albaany dalam kitabnya Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah (menyatakan) bahwa itu palsu. Karena pada sanadnya terdapat Muhammad bin Ziyaad al-Yasykary, yang dia adalah pendusta, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad dan(Yahya) Ibnu Ma’in. (Fatwa al-Lajnah adDaaimah juz 6 halaman 336).
    Demikian juga pada fatwa no 7586, ketika ada yang menanyakan derajat suatu hadits: “Allah mewahyukan kepada Dawud: Tidaklah hambaku menyandarkan diri padaKu…..”
alLajnah ad-Daaimah menyatakan:
الحديث الذي ذكرت: موضوع، كما ذكر الشيخ محمد ناصر الألباني ؛ لأن في سنده يوسف بن السفر ، وهو ممن يضع الأحاديث
“Hadits yang anda sebutkan adalah palsu, sebagaimana dinyatakan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany, karena pada sanadnya ada Yusuf bin as-Safar, yang dia termasuk pemalsu hadits” (Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah juz 6 halaman 404).
    Ketika ada penanya yang menanyakan bagaimana dengan kitab ‘Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah’ karya Syaikh al-Albany, apakah bisa dijadikan rujukan? Lajnah ad-Daimah menjelaskan:
أما كتاب [سلسلة الأحاديث الضعيفة والموضوعة] فمؤلفه واسع الاطلاع في الحديث، قوي في نقدها والحكم عليها بالصحة أو الضعف، وقد يخطئ
“Sedangkan kitab Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah wal maudlu’ah, penulisnya memiliki wawasan yang luas dalam ilmu hadits, kuat dalam hal mengkritik dan menentukan shahih atau lemahnya (hadits), (walaupun) kadang-kadang ia juga salah”(Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah juz 6 halaman 404)
    Di lain kesempatan, Lajnah ad-Daimah juga berbeda pendapat dengan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany ketika ada penanya yang menanyakan kedudukan hadits tentang sholat tasbih. Lajnah ad-Daimah cenderung pada pendapat bahwa hadits-hadits tentang itu tidak ada yang shahih, sedangkan Syaikh alAlbany cenderung pada pendapat Ulama sebelumnya yang menshahihkan salah satu riwayat (Fatwa al-Lajnah adDaimah juz 6 halaman 401). Hal itu menunjukkan keadilan sikap Ulama’ Ahlussunnah terhadap Ulama’ lainnya, mereka menghormatinya dan mencintainya karena Allah, kadangkala menukil ucapannya untuk menguatkan pendapat, namun mereka tidak pernah mengkultuskan dan menganggap bahwa orang itu tidak pernah salah sehingga semua ucapannya harus selalu diikuti.
    Di lain sisi, para penentang dakwah Ahlussunnah sangat membenci Syaikh alAlbany. Mereka berusaha menebarkan tuduhan-tuduhan dusta terhadap beliau. Di antaranya tuduhan bahwa Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany telah mengkafirkan Imam al-Bukhari.
    Pada salah satu blog penentang dakwah Ahlussunnah, terdapat tulisan berjudul: “AL-ALBANY MENGKAFIRKAN IMAM BUKHARY”. 

Berikut akan kami nukilkan tulisan dari blog tersebut :

Antara Fatwanya lagi, mengingkari takwilan Imam Bukhari. Sesungguhnya Imam Bukhari telah mentakwilkan Firman Allah :
كل سيء هالك إلا وجهه
 قال البخاري بعد هذه الأية : أي ملكه

Tetapi Al-Albaany mengkritik keras takwilan ini lalu berkata :
(( هذا لا يقوله مسلم مؤمن ))
” Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang Muslim yang beriman “. Lihatlah kitab           (( Fatawa Al-Albaany )) m/s 523. Tentang takwilan Imam Bukhari ini adalah suatu yang diketahui ramai kerana jika dilihat pada naskhah yang ada pada hari ini tidak ada yang lain melainkan termaktub di sana takwilan Imam Bukhari terhadap ayat Mutasyabihat tadi. Di samping itu juga, ini adalah antara salah satu dalil konsep penakwilan nusush sudah pun wujud pada zaman salaf (pendetailan pada pegertian makna). Bagaimana Beliau berani melontarkan pengkafiran terhadap Imam Bukhary As-Salafi dan mendakwa Imam Bukhary tiada iman dalam masa yang sama beriya-riya mengaku dirinya sebagai Muhaddits??!! memalukan je..

    Jika kita cermati, nukilan dari blog tersebut mengandung beberapa arti:
1.    Imam al-Bukhari dianggap telah melakukan takwil terhadap Sifat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, beliau menakwilkan ‘Wajah’ Allah pada Qur’an surat al-Qoshosh ayat 88 dengan ‘Kekuasaan’/ ‘milik’Nya.
2.    Syaikh Al-Albany dalam kitab ‘Fataawa al-Albaany’ dianggap telah mengkafirkan Imam Al-Bukhari karena telah menyatakan:
    هذا لا يقوله مسلم مؤمن
     “ Ini tidaklah (pantas) diucapkan seorang muslim yang beriman”
        
Sehingga, secara garis besar bisa disimpulkan 2 pertanyaan mendasar, sekaligus syubhat yang perlu dijawab dan diluruskan.

Benarkah Imam al-Bukhari telah mentakwilkan ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ ? Benarkah Syaikh al-Albany mengkafirkan Imam al-Bukhari? 

Berikut ini kami sebutkan masing-masing syubhat tersebut berikut bantahannya. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan taufiqNya kepada kita semua…

Syubhat ke-1: Imam al-Bukhari telah Mentakwilkan ‘Wajah’ yang Merupakan Sifat Allah dengan ‘Kekuasaan’/’milik’. Itu Menunjukkan Imam al-Bukhari berpemahaman Al-‘Asyaairoh.

Bantahan:
        Al-Imam al-Bukhari memahami ‘Asma’ WasSifat Allah sesuai dengan pemahaman Salafus Sholih. Beliau tidaklah mentakwil dengan takwil yang batil. Mari kita simak penjelasan al-Imam al-Bukhari dalam Shahihnya:
{ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ } إِلَّا مُلْكَهُ وَيُقَالُ إِلَّا مَا أُرِيدَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ  
“ { Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya} yaitu KekuasaanNya, dan dinyatakan juga : ‘kecuali segala yang diinginkan dengannya Wajah Allah “ (Shahih al-Bukhari juz 14 halaman 437).
Ini adalah pernyataan beliau yang bisa didapati pada sebagian naskah Shahih al-Bukhari, dan pada naskah yang lain tidak ada. Pernyataan Imam al-Bukhari ini bisa dijelaskan dalam beberapa hal penting:

Pertama, Imam al-Bukhari menukilkan beberapa tafsiran yang masyhur terhadap ayat tersebut. Dalam hal ini beliau menyebutkan makna : “Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya, dalam 2 penafsiran :
a.    إلا ملكه  : kecuali ‘Kekuasaan’ / ‘milik’Nya.
b.    إلا ما أريد به وجه الله : kecuali segala yang diinginkan dengannya Wajah Allah. Artinya, segala sesuatu yang dilakukan ikhlas karena Allah.
Imam al-Bukhari menukilkan 2 penafsiran ini, namun sebenarnya beliau lebih cenderung memilih pendapat yang kedua. Maknanya, segala sesuatu akan binasa/lenyap kecuali amalan yang dilakukan ikhlas hanya untuk Allah.
Bagaimana kita bisa tahu bahwa Imam al-Bukhari lebih cenderung pada pendapat yang kedua, bukan yang pertama?
Mudah sekali. Hal itu dijelaskan oleh alHafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Beliau menyatakan:
وقال مجاهد والثوري في قوله: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ } أي: إلا ما أريد به وجهه، وحكاه البخاري في صحيحه كالمقرر له  
“ Mujahid dan ats-Tsaury berkata tentang firman Allah : ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali WajahNya’, yaitu: kecuali segala sesuatu yang diharapkan dengannya WajahNya. AlBukhari menghikayatkan dalam Shahihnya sebagai pendapatnya” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam menafsirkan Quran Surat al-Qoshosh ayat 88 juz 6 halaman 135 cetakan alMaktabah atTaufiqiyyah ta’liq dari Haani al-Haj).

Kedua, penukilan penafsiran ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’ / ‘milik’ Allah ini perlu ditinjau ulang.
AlHafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menjelaskan dalam Fathul Baari:
قَوْله : ( إِلَّا وَجْهه : إِلَّا مُلْكه ) فِي رِوَايَة النَّسَفِيِّ " وَقَالَ مَعْمَر " : فَذَكَرَهُ . وَمَعْمَر هَذَا هُوَ أَبُو عُبَيْدَة بْن الْمُثَنَّى ، وَهَذَا كَلَامه فِي كِتَابه " مَجَاز الْقُرْآن " لَكِنْ بِلَفْظِ " إِلَّا هُوَ " وَكَذَا نَقَلَهُ الطَّبَرِيُّ عَنْ بَعْض أَهْل الْعَرَبِيَّة ، وَكَذَا ذَكَرَهُ الْفَرَّاء
Ucapan al-Bukhari {kecuali WajahNya : kecuali Kekuasaan/milikNya} ada pada riwayat anNasafiy dengan menyatakan : ‘Ma’mar berkata….’kemudian disebutkan ucapan tersebut. Ma’mar ini adalah Abu Ubaidah bin alMutsanna. Ucapan tersebut terdapat dalam kitabnya “Majaazul Qur’aan”, akan tetapi dengan lafadz ‘kecuali Dia’. Demikian juga dinukil oleh atThobary dari sebagian ahli bahasa Arab, dan disebutkan juga oleh al-Farra’ (Lihat Fathul Baari syarh Shahih alBukhari juz 13 halaman 292).
    Dari penjelasan alHafidz di atas bisa disimpulkan bahwa Imam alBukhari menukilkan tafsiran ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ Allah berdasarkan riwayat anNasafiy dari perkataan Ma’mar. Namun, perkataan Ma’mar dalam kitabnya Majaazul Qur’an bukanlah menafsirkan kalimat ‘kecuali Wajah Allah’ dengan ‘kecuali Kekuasaan Allah’, tapi dengan ‘kecuali Dia’. Dari sini nampak jelas bahwa penukilan tafsir ‘Wajah Allah’ dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ Allah sebagai ucapan Ma’mar adalah penukilan yang tidak benar.     Atas dasar inilah, maka Syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbaany ketika ditanya tentang hal ini beliau meragukan tafsiran itu sebagai tafsiran dari Imam alBukhari sendiri, dan tidak mungkin Imam alBukhari menyatakan demikian (InsyaAllah nanti akan diperjelas pada bantahan syubhat ke-2).

Ketiga, Imam alBukhari menetapkan ‘Wajah’ Allah.
Tidak seperti al-‘Asya-iroh yang menakwilkan Sifat Allah dengan Sifat yang batil, Imam alBukhari menakwilkannya dengan takwilan yang benar.
Takwilan yang benar adalah takwilan yang merupakan penjelas dari maksud suatu kalimat. Penakwilan tersebut tidaklah keluar dari kaidah bahasa Arab. Sedangkan takwilan yang batil adalah penakwilan yang pada dasarnya mengingkari adanya Sifat itu, kemudian dia palingkan maknanya pada makna yang lain. Intinya, seseorang yang menakwil dengan takwil yang batil mengingkari makna hakiki dari Sifat tersebut. Dia tidak menolaknya secara terang-terangan seperti para Mu’aththilah (Jahmiyyah), namun dia palingkan maknanya kepada makna yang lain.
Sebagai contoh, takwilan yang batil adalah menakwilkan ‘Tangan’ Allah dengan ‘Kekuasaan’. Seseorang yang menakwilkan ini tidaklah menetapkan bahwa Allah memiliki Tangan. Padahal Ahlussunnah tidaklah menetapkan kecuali yang Allah tetapkan untuk dirinya sendiri, sesuai dengan Kesempurnaan Sifat yang ada pada Allah tanpa memalingkannya pada makna yang lain.
Imam al-Bukhari menetapkan Wajah Allah sesuai dengan Kesempurnaan Sifat Allah, tanpa beliau palingkan pada makna lain. Bagaimana kita tahu bahwa beliau menetapkan ‘Wajah’ bagi Allah? Bisa kita simak dalam kitab Shahih beliau sendiri pada bagian yang lain. Beliau menempatkan bab tersendiri dalam penafsiran ayat itu, kemudian menyebutkan riwayat hadits yang menjelaskan kandungan bab  itu sendiri.
Imam alBukhari menyatakan dalam kitab Shahihnya:
بَاب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ }
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ } قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوذُ بِوَجْهِكَ فَقَالَ{ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ } فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوذُ بِوَجْهِكَ قَالَ { أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا } فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَيْسَرُ
“Bab firman Allah Ta’ala : ‘Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya’
Telah memberitahukan kepada kami Qutaibah bin Sa’id (ia berkata) telah memberitahukan pada kami Hammad bin Zaid dari ‘Amr dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: ketika turun ayat ini : ‘Katakan: Dialah (Allah) Yang mampu untuk mengirim adzab dari atas kalian’, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah : ‘atau dari bawah kaki kalian’, Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah: atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan), Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Ini lebih ringan’(Lihat Shahih alBukhari juz 22 halaman 410).   
Telah dimaklumi di kalangan para Ulama’ Ahlul hadits bahwa pemilihan riwayat hadits dalam suatu bab merupakan representasi pemahaman Imam alBukhari terhadap makna yang ada pada bab tersebut. Ketika Imam alBukhari menyebutkan hadits perkataan/ doa Nabi: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, beliau tidaklah mentakwilkan ucapan Nabi tersebut pada makna-makna lain. Beliau sekedar menyebutkan riwayat itu saja. Ini menunjukkan bahwa Imam alBukhari menetapkan Sifat ‘Wajah’ bagi Allah tanpa mentahrif (memalingkan) pada makna yang lain.
Mungkin masih tersisa pertanyaan: ‘Jika benar Imam alBukhari memilih pendapat yang kedua dalam menafsirkan ayat itu, bukankah juga berarti beliau menakwilkan ayat tersebut. Kalimat: ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali Wajah Allah’ ditakwilkan sebagai ‘Segala sesuatu akan binasa kecuali yang mengharapkan Wajah Allah’. Benar, itu adalah takwil yang beliau lakukan sebagaimana penakwilan atTsaury. Penakwilan tersebut tidaklah batil, karena memang dipahami dari ucapan lafadz Arab.
Al-Imam atThobary menyatakan dalam tafsir atThobary juz 19 halaman 643 bahwa penafsiran tersebut sesuai dengan perkataan syair:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ ذَنْبًا لَسْتُ مُحْصِيهُ... رَبُّ العِبادِ إلَيْهِ الوَجْهُ والعَمَلُ
“Aku memohon ampun kepada Allah dari dosa yang aku tak mampu menghitungnya…
(Dialah) Rabb hamba-hamba, yang kepadaNya wajah (kehendak) dan amalan
Lafadz الوجه   (wajah) dalam kalimat syair tersebut berarti kehendak dan keinginan.
        Takwil yang demikian bukanlah takwil yang batil, karena merupakan salah satu penjelasan terhadap makna kalimat yang sesuai dengan konteks bahasa Arab yang biasa dipahami. Selain itu, penakwilan ini tidaklah menafikan penetapan ‘Wajah’ bagi Allah sesuai dengan Keagungan, Kemulyaan, dan Kesempurnaan Allah, yang tidak sama dengan makhlukNya, dan tidak diketahui kaifiyatnya kecuali Allah.

Syubhat ke-2: Syaikh alAlbany Mengkafirkan Imam alBukhari
Bantahan:
        Ini adalah kedustaan yang besar. Syaikh alAlbany tidaklah mengkafirkan Imam alBukhari. Jika yang dimaksud adalah ucapan Syaikh alAlbany dalam Fataawa alAlbaany, maka mari kita simak nukilan percakapan tanya jawab tersebut:
السؤال
لي عدة أسئلة، ولكن قبل أن أبدأ أقول: أنا غفلت بالأمس عن ذكر هذه المسألة، وهي عندما قلت: إن الإمام البخاري ترجم في صحيحه في معنى قوله تعالى: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ } [القصص:88] قال: إلا ملكه.
صراحة أنا نقلت هذا الكلام عن كتاب اسمه: دراسة تحليلية لعقيدة ابن حجر ، كتبه أحمد عصام الكاتب ، وكنت معتقداً أن نقل هذا الرجل إن شاء الله صحيح، ولازلت أقول: يمكن أن يكون نقله صحيحاً، ولكن أقرأ عليك كلامه في هذا الكتاب.
إذ يقول: قد تقدم ترجمة البخاري لسورة القصص في قوله تعالى: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ } [القصص:88]، أي: إلا ملكه، ويقال: (إلا) ما أريد به وجه الله، وقوله: إلا ملكه، قال الحافظ في رواية النسفي وقال معمر فذكره، و معمر هذا هو أبو عبيدة بن المثنى ، وهذا كلامه في كتابه مجاز القرآن ، لكن بلفظ (إلا هو)، فأنا رجعت اليوم إلى الفتح نفسه فلم أجد ترجمة للبخاري بهذا الشيء، ورجعت لـ صحيح البخاري دون الفتح ، فلم أجد هذا الكلام للإمام البخاري ، ولكنه هنا كأنه يشير إلى أن هذا الشيء موجود برواية النسفي عن الإمام البخاري ، فما جوابكم؟
الجواب
جوابي تقدم سلفاً.
السائل: أنا أردت أن أبين هذا مخافة أن أقع في كلام على الإمام البخاري .
الشيخ: أنت سمعت مني التشكيك في أن يقول البخاري هذه الكلمة؛ لأن تفسير قوله تعالى: { وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالْأِكْرَامِ } [الرحمن:27] أي: ملكه، يا أخي! هذا لا يقوله مسلم مؤمن، وقلت أيضاً: إن كان هذا موجوداً فقد يكون في بعض النسخ، فإذاً الجواب تقدم سلفاً، وأنت جزاك الله خيراً الآن بهذا الكلام الذي ذكرته تؤكد أنه ليس في البخاري مثل هذا التأويل الذي هو عين التعطيل
.
السائل: يا شيخنا! على هذا كأن مثل هذا القول موجود في الفتح ، وأنا أذكر أني مرة راجعت هذه العبارة باستدلال أحدهم، فكأني وجدت مثل نوع هذا الاستدلال، أي: أنه موجود وهو في بعض النسخ، لكن أنا قلت له: إنه لا يوجد إلا الله عز وجل، وإلا مخلوقات الله عز وجل، ولا شيء غيرها، فإذا كان كل شيء هالك إلا وجهه، أي: إلا ملكه، إذاً ما هو الشيء الهالك؟!! الشيخ: هذا يا أخي! لا يحتاج إلى تدليل على بطلانه، لكن المهم أن ننزه الإمام البخاري عن أن يؤول هذه الآية وهو إمام في الحديث وفي الصفات، وهو سلفي العقيدة  والحمد لله
Pertanyaan:’Saya memiliki beberapa pertanyaan, akan tetapi sebelum saya mulai, saya katakan: Saya lupa kemarin untuk menyebutkan masalah ini, yaitu: Sesungguhnya al-Imam alBukhari menjelaskan dalam Shahihnya tentang firman Allah Ta’ala:’ Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya’ (Q.S alQoshosh: 88), beliau berkata: ‘kecuali kekuasaan/milikNya’. ‘Secara jelas saya menukil ucapan ini dari kitab yang berjudul: ‘Diraasah Tahliiliyah li ‘aqiidati Ibni Hajar’, ditulis oleh Ahmad ‘Ishaam al-Kaatib. Dan saya yakin bahwa nukilan penulis ini Insya Allah benar. Aku terus menerus berkata: mungkin nukilannya benar. Akan tetapi saya bacakan di hadapan anda ucapan beliau di dalam kitab ini.
Telah berlalu penjelasan alBukhari dalam surat alQoshosh tentang firman Allah Ta’ala : ‘Segala sesuatu akan binasa kecuali WajahNya’ (Q.S alQoshosh:88): Segala yang diharapkan dengannya Wajah Allah. Dan ucapan beliau: ‘Kecuali kekuasaanNya/ milikNya. AlHafidz Ibnu Hajar berkata dalam riwayat anNasafiy dan berkata Ma’mar, kemudian disebutkan ucapan tersebut. Ma’mar ini adalah Abu Ubaidah bin alMutsanna. Ini adalah ucapannya dalam kitabnya Majaazul Qur’an. Akan tetapi dengan lafadz ‘kecuali Dia’. Aku pada hari ini berusaha melihat kembalai Fathul Baari tetapi tidak aku temui penjelasan alBukhari tentang itu. Kemudian aku juga melihat kembali kitab Shahih alBukhari yang tanpa syarh Fathul Baari, aku juga tidak mendapati ucapan ini dari alBukhari. Akan tetapi, seakan-akan itu mengisyaratkan bahwa kalimat itu ada pada riwayat anNasafiy dari al-Imam al-Bukhari. Bagaimana jawaban anda?
Jawaban: “Jawaban saya adalah seperti yang tersebutkan lalu”.
Penanya bertanya lagi: “Saya ingin menjelaskan ini karena khawatir terjatuh dalam kesalahan terhadap ucapan al-Imam al-Bukhari.
Syaikh alBany berkata lagi: Anda telah mendengar dari saya keraguan bahwa alBukhari mengucapkan kalimat tersebut. Karena sesungguhnya tafsir firman Allah Ta’ala: ‘Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (ArRahman:27), (Wajah) yaitu Kekuasaan/MilikNya. Wahai saudaraku, ucapan ini tidak sepantasnya diucapkan seorang muslim yang beriman. Aku juga katakan bahwa: Jika (perkataan) tersebut ada, mungkin terdapat pada sebagian naskah. Kalau demikian, maka jawabannya adalah pada yang telah lalu. Kepada anda, Jazaakallah khairan (semoga Allah membalas anda dengan kebaikan), sekarang dengan ucapan yang telah anda sebutkan itu memperjelas bahwa tidak ada dalam alBukhari semisal takwil tersebut yang merupakan bentuk peniadaan.
Penanya bertanya lagi: Wahai Syaikh kami, sepertinya ucapan semacam ini terdapat dalam Fathul Baari. Saya telah menyebutkan bahwa saya berkali-kali mengecek kembali kalimat ini dengan pendalilan salah satu dari mereka. Sepertinya saya menemukan sebagian bentuk pendalilan ini, bahwasanya itu terdapat dalam sebagian naskah. Akan tetapi saya katakan kepadanya: Sesungguhnya tidak ada kecuali Allah dan kecuali makhluk-makhluk Allah. Tidak ada selain keduanya. Jika tidak ada yang binasa kecuali WajahNya artinya miliknya, maka apa lagi yang binasa?
Syaikh alAlbany berkata: ‘ Wahai saudaraku, ini tidak membutuhkan lagi dalil untuk menunjukkan kebatilannya. Akan tetapi yang penting adalah membersihkan persangkaan bahwa al-Imam alBukhari telah menakwilkan ayat (seperti itu), dalam keadaan beliau adalah Imam dalam masalah hadits dan Sifat Allah. Beliau adalah seorang Salafy dalam aqidahnya, alhamdulillah (Fataawa alAlbaany halaman 522-523).
    Saudaraku kaum muslimin….
    Kalau dialog tanya jawab dengan Syaikh alAlbaany tersebut kita baca dengan baik niscaya kita akan dengan mudah memahami bahwa sungguh dusta tuduhan tersebut. Sama sekali Syaikh alAlbany tidak mengkafirkan Imam alBukhari.
    Ada seorang penanya yang dalam suatu kesempatan menanyakan kepada Syaikh AlBany, apakah benar Imam alBukhary telah menakwilkan ‘Wajah Allah’ dengan ‘Kekuasaan/’Milik’Nya. Awalnya Syaikh tidaklah menanggapi terlalu banyak. Cukuplah penjelasan dalam pertemuan-pertemuan majelis beliau sebelumnya bahwa Imam alBukhari menafsirkan surat alQoshosh ayat 88, dengan ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali yang diharapkan dengannya Wajah Allah’. Penjelasan Syaikh alAlbany ini sama dengan ucapan Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang menukil juga pendapat Imam alBukhari (telah kami sebutkan di atas).
    Penanya tersebut mengatakan sendiri bahwa ia telah berulang kali berusaha cross check ulang pada naskah Shahih alBukhari yang ada pada dirinya, namun ia tidak mendapati perkataan Imam alBukhari yang menakwilkan demikian. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran ‘Wajah’ dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ ada pada sebagian naskah (manuskrip), dan penukilan pada naskah tersebut tidak benar, sebagaimana dijelaskan oleh alHafidz Ibnu Hajar bahwa kalau yang dimaksud adalah ucapan Ma’mar maka seharusnya penafsirannya adalah : ‘segala sesuatu akan binasa, kecuali Dia’.
    Penanya juga dapat menarik kesimpulan sendiri bahwa penafsiran tersebut terlihat tidak benar. Kalau diartikan bahwa ‘segala sesuatu akan binasa, kecuali milik Allah’, maka berarti tidak akan ada yang binasa. Karena yang ada hanyalah Allah dan makhlukNya, sedangkan makhluk Allah adalah milik Allah. Itulah yang dimaksud dengan ucapan Syaikh alAlbany bahwa tidak mungkin seorang muslim yang beriman akan mengucapkan demikian, karena berarti dia akan berkeyakinan bahwa semua akan kekal.   
    Di sini nampak jelas kedustaan tuduhan itu, karena sama sekali Syaikh alAlbany tidak menyatakan bahwa Imam alBukhari adalah bukan seorang muslim dan mukmin, justru Syaikh meragukan kalimat itu sebagai ucapan Imam al-Bukhari. Syaikh menyatakan:  “Anda telah mendengar dari saya keraguan bahwa alBukhari mengucapkan kalimat tersebut”…kemudian beliau juga menyatakan: …”Akan tetapi yang penting adalah membersihkan persangkaan bahwa al-Imam alBukhari telah menakwilkan ayat (seperti itu)”.
    Kemudian, sebagai bantahan telak bahwa Syaikh alAlbany sama sekali tidak mengkafirkan Imam alBukhari, bahkan justru memujinya sebagai salah seorang Imam kaum muslimin, di akhir dialog Syaikh alAlbany menyatakan: “…dalam keadaan beliau adalah Imam dalam masalah hadits dan Sifat Allah. Beliau adalah seorang Salafy dalam aqidahnya, Alhamdulillah”.
Sedemikian jelasnya masalah ini jika dipandang secara adil. Namun, musuh dakwah Ahlussunnah bersikap tidak amanah, dan memang yang dicarinya adalah fitnah untuk menjauhkan Ulama’ Ahlussunnah dari kaum muslimin.
    Kami menasehatkan pengelola blog tersebut ataupun seluruh situs/blog yang banyak menukil tulisan tersebut untuk bertaubat kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala karena mereka telah menyebarkan tuduhan dusta di tengah kaum muslimin. Jika kepada sesama muslim yang awam saja merupakan dosa besar jika kita memberikan tuduhan yang keji padanya, maka bagaimana jika tuduhan itu disematkan kepada seorang Ulama’ Ahlussunnah.
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (Q.S al-Ahzaab: 58).
Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan hidayahNya kepada kita semua…

Ditulis Oleh Abu Utsman Kharisman untuk Situs Darussalaf.or.id