Halaman

Senin, 24 Desember 2012

MEMBANTAH HAULA WAHABIYAH ATAS TUDUHAN ALI BAHWA ABU BAKAR ADALAH PENDUSTA

Abu Bakar, Umar dan Ali radhiyallahu ‘anhum adalah seorang pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat ?


Abu Bakar, Umar dan Ali radhiyallahu ‘anhum adalah seorang pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat ?

Sebagaimana biasa, kaum Syi’ah tak henti-hentinya berusaha mendiskreditkan sahabat-sahabat utama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam daintaranya adalah Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan kali ini mereka menggunakan sebuah hadits dari shahih Muslim sebagai senjatanya untuk menembak kedua sahabat mulia tersebut, tetapi seperti biasa, kebiasaan mereka adalah menukil suatu hadits dengan sepotong-sepotong, mengambil yang diinginkan dan membuang sisanya, sehingga menyesatkan orang awwam yang membacanya, memang itulah tujuan mereka. Padahal jika dibaca hadits tersebut secara keseluruhan, maka akan tampak permasalahan sebenarnya, dan akan runtuh hujjah mereka dengan sendirinya, karena jika kita memakai gaya pemikiran mereka, bukan hanya Abu Bakar dan Umar ra saja yang terdiskreditkan tetapi Imam Ahlul Bait yaitu Imam Ali, Al-Abbas ra sebagai ahlul bait Nabi pun kena getahnya dengan gaya pemikiran mereka tersebut. Apakah setelah itu mereka masih mau memakai hadits ini untuk menyerang sahabat Nabi? Kita lihat saja nanti.

Baik mari kita perhatikan bersama-sama teks hadits ini secara keseluruhan :

49 – ( 1757 ) وحدثني عبدالله بن محمد بن أسماء الضبعي حدثنا جويرية عن مالك عن الزهري أن مالك بن أوس حدثه قال
Y أرسل إلي عمر بن الخطاب فجئته حين تعالى النهار قال فوجدته في بيته جالسا على سرير مفضيا إلى رماله متكئا على وسادة من أدم فقال لي يا مال إنه قد دف أهل أبيات من قومك وقد أمرت فيهم برضخ فخذه فاقسمه بينهم قال قلت لو أمرت بهذا غيري ؟ قال خذه يا مال قال فجاء يرفا فقال هل لك يا أمير المؤمنين في عثمان وعبدالرحمن بن عوف والزبير وسعد ؟ فقال عمر نعم فأذن لهم فدخلوا ثم جاء فقال هل لك في عباس وعلي ؟ قال نعم فأذن لهما فقال عباس يا أمير المؤمنين اقض بيني وبين هذا الكاذب الآثم الغادر الخائن فقال القوم أجل يا أمير المؤمنين فاقض بينهم وأرحهم ( فقال مالك بن أوس يخيل إلي أنهم قد كانوا قدموهم لذلك ) فقال عمر اتئدا أنشدكم بالله الذي بإذنه تقوم السماء والأرض أتعلمون أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ( لا نورث ما تركنا صدقة ) قالوا نعم ثم أقبل على العباس وعلي فقال أنشدكما بالله الذي بإذنه تقوم السماء والأرض أتعلمان أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لا نورث ما تركناه صدقة ) قالا نعم فقال عمر إن الله عز و جل كان خص رسولهل صلى الله عليه و سلم بخاصة لم يخصص بها أحدا غيره قال ما أفاء الله على رسوله من أهل القرى فلله وللرسول [ 59 / الحشر / 7 ] ( ما أدري هل قرأ الآية التي قبلها أم لا ) قال فقسم رسول الله صلى الله عليه و سلم بينكم أموال بني النضير فوالله ما استأثر عليكم ولا أخذها دونكم حتى بقي هذا المال فكان رسول الله صلى الله عليه و سلم يأخذ منه نفقة سنة ثم يجعل ما بقي أسوة المال ثم قال أنشدكم بالله الذي بإذنه تقوم السماء والأرض أتعلمون ذلك ؟ قالوا نعم ثم نشد عباسا وعليا بمثل ما نشد به القوم أتعلمان ذلك ؟ قالا نعم قال فلما توفي رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أبو بكر أنا ولي رسول الله صلى الله عليه و سلم فجتئما تطلب ميراثك من ابن أخيك ويطلب هذا ميراث امرأته من أبيها فقال أبو بكر قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( ما نورث ما تركنا صدقة ) فرأيتماه كاذبا آثما غادرا خائنا والله يعلم إنه لصادق بار راشد تابع للحق ثم توفي أبو بكر وأنا ولي رسول الله صلى الله عليه و سلم وولي أبا بكر فرأيتماني كاذبا آثما غادرا خائنا والله يعلم إني بار راشد تابع للحق فوليتها ثم جئتني أنت وهذا وأنتما جميع وأمركما واحد فقلتما ادفعها إلينا فقلت إن شئتم دفعتها إليكما على أن عليكما عهد الله أن تعملا فيها بالذي كان يعمل رسول الله صلى الله عليه و سلم فأخذتماها بذلك قال أكذلك ؟ قالا نعم قال ثم جئتماني لأقضي بينكما ولا والله لا أقضي بينكما بغير ذلك حتى تقوم الساعة فإن عجزتما عنها فرداها إلي
[ ش ( تعالى النهار ) أي ارتفع




Diriwayatkan oleh az-Zuhri yang hadits ini diceritakan kepadanya oleh Malik bin Aus yang mengatakan : Umar bin Khattab memintaku untuk datang dan aku datang kepadanya pada siang hari. Aku menemui dia di rumahnya sedang duduk di kasur menghadap pasir, bersandar di atas bantal kulit. Ia berkata (kepadaku) : “Malik, beberapa orang dari kaum-mu telah bergegas datang kepadaku (dengan meminta tolong). Aku telah memutuskan untuk memberi sedikit uang kepada mereka. Ambillah dan bagikan itu kepada mereka. Aku berkata: “saya berharap anda memerintahkan orang lain untuk melakukan tugas ini”. Ia berkata : “Malik, Ambillah itu”. Pada saat itu (Pelayan Umar) Yarfa’ masuk dan berkata : “Amirul Mukminin, apa yang anda katakan tentang Utsman, Abdurrahman bin Auf, Zubair dan Sa’ad (yang datang meminta bertemu anda)? Umar berkata : Ya, ijinkan mereka. Kemudian mereka masuk, kemudian Yarfa’ datang lagi dan berkata : “Apa yang anda katakan tentang Ali dan Abbas (yang sudah hadir di depan pintu)? Ia menjawab : Ya, ijinkan mereka untuk masuk. Abbas berkata : “Amirul mukninin, putuskan (perselisihan) antara saya dan pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat ini” (yang dimaksud adalah Ali –Pent). Orang-orang (yang hadir) juga berkata : “Ya Amirul Mukminin, putuskan (perselisihan tersebut) dan kasihani mereka. Malik bin Aus berkata : Saya dapat membayangkan dengan baik bahwa mereka telah dikirimkan terlebih dahulu untuk tujuan ini (oleh Ali dan Abbas). Umar berkata : “tunggu dan sabar”, “kuingatkan kalian kepada Allah, dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi. Tidakkah kalian tahu bahwa Rasulullah Shalalahu alaihi wasalam telah bersabda : “Kami (para Nabi) tidak meninggalkan warisan, apa-apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah” ? Mereka menjawab : “Ya”. Kemudian dia menghadap ke arah Ali dan Abbas dan berkata : “kuingatkan kalian kepada Allah, dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi. Tidakkah kalian tahu bahwa Rasulullah Shalalahu alaihi wasalam bersabda : “Kami (para Nabi) tidak meninggalkan warisan, apa-apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah” ? mereka (juga) menjawab : “Ya” (kemudian) Umar berkata : Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung telah memperlakukan Rasul-Nya dengan sebuah kebaikan yang khusus yang Dia tidak perlakukan kepada yang lain kecuali terhadap beliau. Ia mengutip ayat Al-Qur’an : “Apa-apa yang telah anugerahkan kepada Rasul-Nya dari (kekayaan) penduduk kota adalah untuk Allah dan Rasul-Nya… (Al-Hasyr : 7)”. Rawi berkata : “saya tidak tahu apakah dia juga mengutip ayat sebelumnya atau tidak”. Umar melanjutkan : Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam telah membagikan diantara kalian harta rampasan dari Bani Nadhir. Demi Allah, beliau tidak pernah menghendaki dirinya melebihi kalian dan tidak pernah mengambil alih apapun terhadap pengeluaran kalian. (sesudah pembagian yang adil dengan cara ini) harta ini masih tersisa.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam akan memenuhi dari harta ini untuk nafkah tahunan beliau, dan sisanya akan disimpan di Baitul Mal. (lebih lanjut) Ia mengatakan : kuingatkan kalian kepada Allah, dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi, Tahukah kalian tentang ini? Mereka menjawab “Ya”. Kemudian dia meminta Abbas dan Ali sebagaimana ia telah minta kepada yang lain dan bertanya : “Tahukah kalian berdua mengenai hal ini”? mereka menjawab “Ya”. Ia mengatakan “Dan ketika Rasulullah saw. wafat, Abu Bakar berkata, ‘Aku adalah walinya Rasulullah, lalu kalian berdua (Ali dan Abbas) datang menuntut warisanmu dari anak saudaramu dan yang ini menuntut bagian warisan istrinya dari ayahnya. Maka Abu Bakar berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda: “Kami tidak memberikan warisan, apa-apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah.”, lalu kalian berdua memandangnya sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat. Demi Allah ia adalah seorang yang jujur, bakti, terbimbing dan mengikuti kebenaran. Kemudian Abu Bakar wafat dan aku berkata, ‘Akulah walinya Rasulullah saw. dan walinya Abu Bakar, lalu kalian berdua memandangku sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat. Dan Allah Mengetahui bahwa aku seorang yang jujur, bakti, terbimbing dan mengikuti kebenaran. Aku menjadi wali dari harta ini. Kemudian kamu dan seperti halnya dia telah datang kepadaku. Kalian berdua telah datang dan urusan kalian satu, kalian mengatakan (pada saat itu) : “Percayakan harta itu kepada kami”, Aku mengatakan : “jika kalian menghendakinya aku akan percayakan kepada kalian. Dengan syarat bahwa kalian berdua akan bertanggung jawab dengan berjanji kepada Allah untuk menggunakannya dengan cara yang sama sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menggunakannya”. “maka kalian berdua telah mendapatkannya”. Ia berkata : “bukankah seperti ini?” mereka menjawab :”Ya”. Ia berkata : Kemudian kalian datang (lagi) kepadaku dengan permintaan bahwa aku harus mengadili diantara kalian (Ali dan Abbas). Tidak, Demi Allah, aku tidak akan memberikan putusan yang lain kecuali ini sampai hari kiamat. Jika kalian tidak bisa memegang harta tersebut sesuai dengan syarat yang ada, kembalikan harta itu kepadaku. (HR. Muslim, Kitab al Jihâd wa as Sair, Bab Hukm al Fai’,3/1376 No. 1757)

Ada beberapa poin yang bisa diambil dari hadits di atas :

1. Kesederhanaan, Kedermawanan dan ketegasan khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu
2. Abbas dan Ali ra datang dalam keadaan mereka berdua sedang bersengketa (dalam urusan harta peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam), kedatangan mereka disertai beberapa orang sahabat utama, mereka meminta putusan dari Umar sebagai khalifah, hal ini menunjukkan pengakuan mereka atas kepemimpinan Umar ra.
3. Abbas melontarkan kata-kata yang cukup keras yang ditujukan kepada Ali dihadapan Umar dengan perkataannya “Amirul mukninin, putuskan (perselisihan) antara saya dan pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat ini (Ali)”
4. Umar ra mengingatkan kepada mereka tentang hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau tidak meninggalkan warisan, dan apa-apa yang ditinggalkan adalah shadaqah. Umar ra kemudian mengkonfirmasikan hal ini kepada sahabat-sahabat yang hadir di sana termasuk Abbas dan Ali ra, mereka semua dengan tegas mengetahui dan membenarkan hadits tersebut.
5. Umar ra mengingatkan kepada mereka tentang cara Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengelola harta Fa’i rampasan dari Bani Nadhir yang sudah menjadi hak beliau semasa beliau masih hidup, yaitu beliau mengambil dari harta tersebut nafkah beliau selama satu tahun dan kemudian sisanya beliau masukkan baitul Mal (sebagai shadaqah). Umar kemudian mengkonfirmasikan hal tersebut kepada yang hadir, termasuk Abbas dan Ali, dan mereka semua dengan tegas mengetahui dan membenarkan hal itu.
6. Kemudian Umar menceritakan, bahwa setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar yang menggantikan beliau mengelola harta itu dan mencontoh apa yang dilakukan Nabi terhadap harta Fa’i tersebut selama beliau hidup, kemudian Abbas datang, menuntut pembagian warisan atas harta itu dari anak saudaranya dan Ali menuntut pembagian warisan istrinya atas harta itu dari ayahnya, dan Abu Bakar menjawab dengan hadits di atas bahwa Nabi tidak meninggalkan warisan, apa-apa yang ditinggalkan adalah shadaqah, tetapi saat itu mereka (Abbas dan Ali) belum bisa menerimanya, sehingga Umar menggambarkan pandangan Abbas dan Ali saat itu kepada Abu Bakar sebagaimana pandangan Abbas kepada Ali dengan perkataan “kalian memandangnya sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat” Umar hanya mengulang perkataan Abbas dengan persis sama tanpa mengurangi atau melebihkan. Demikian juga saat Umar melanjutkan ceritanya bahwa kemudian dia menggantikan Abu Bakar dan berpendapat sama dengan Abu Bakar dalam mengelola harta itu, maka dia ulangi lagi perkataan tersebut di atas untuk menggambarkan perbedaan pendapat antara dia di satu sisi dengan Abbas dan Ali di sisi yang lain saat itu.
7. Kemudian Umar menceritakan juga bahwa harta fa’i itu akhirnya telah dia percayakan pengelolaannya kepada Abbas dan Ali dengan syarat mereka berjanji untuk mengelola harta fa’i tersebut sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengelolanya dan hal itu sudah dilakukannya, Umar juga meminta konfirmasi dari Abbas dan Ali mengenai hal ini, dan mereka membenarkannya.
8. Umar tidak mau mengubah status pengelolaan harta yang sudah dipercayakan kepada Abbas dan Ali saat itu dengan status yang lain.

Demikianlah konteks hadits di atas, ahlus sunnah dengan mudah memahami hadits tersebut, karena memang dalam memahami hadits-hadits seperti ini ahlus sunnah tidak disertai oleh rasa dengki atau benci terhadap sahabat atau ahlul bait tertentu. Ahlus sunnah memaklumi adanya perselisihan pendapat diantara para sahabat maupun ahlul bait. Ahlus sunnah tidak mencela sahabat maupun ahlul bait yang berbuat keliru dalam ijtihadnya, karena mereka bukanlah makshum yang tak lepas dari kekeliruan.

Hadits yang panjang di atas sebenarnya dicantumkan juga oleh Bukhari dalam shahihnya dalam beberapa riwayat tetapi dengan redaksi yang sedikit berbeda dan di dalamnya tidak disebutkan kata-kata yang oleh kaum Syi’ah begitu dihebohkan yaitu kata-kata “pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat”.



Tuduhan Syi’ah terhadap Abu Bakar dan Umar ra dengan berhujjah pada hadits ini dan kecurangan Syi’ah dalam menukil hadits.

Kaum Syi’ah mencoba mencari-cari cara untuk mendiskreditkan khalifah Abu bakar dan Umar ra berdasarkan literatur ahlus sunnah, dan seperti biasa mereka menggunakan segala cara, agar kaum awwam ahlus sunnah termakan oleh hasutan mereka, mereka dengan sengaja menukil hadits tersebut sebagian saja dan tidak menampilkan keseluruhan teks hadits tersebut, hal ini dilakukan oleh mereka, karena jika teks hadits ini ditampilkan secara keseluruhan, maka akan runtuh dengan sendirinya syubhat mereka.

Salah satu contoh, sebuah situs yang dikelola oleh seorang syi’ah tulen bernama Ibnu Jakfari, di dalam sebuah artikel di blognya berjudul Khalifah Abu Bakar dan Umar dimata Imam Bukhari dan Muslim, tertulis seperti ini :

Abu Bakar Kâdzib!

Imam Bukhari dan Imam Muslim keduanya melaporkan dengan beberapa jalur yang meyakinkan bahwa segera setalah Abu Bakar melontarkan hadis itu dan dengannya ia melegalkan perampasan tanah Fadak, Imam Ali as. menegaskan bahwa Abu Bakar telah berbohong atas nama Rasulullah saw. dalam hadis tersebut!

Di bawah ini kami sebutkan hadis panjang riwayat Bukhari dan Muslim yang melaporkan pengaduan/sengketa antara Abbas dan Imam Ali as. di hadapan Umar –semasa menjabat sebagai Khalifah:

فلما توفي رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم قال أبو بكر: أنا وليُّ رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم، فجئتما تطلب ميراثك كن ابن أخيك و يطلب هذا ميراث إمرأته من أبيها فقال أبو بكر: قال رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏قال: ما نورث ما تركنا صدقة! فرأيتماه كاذبا آثما غادرا خائنا والله يعلم أنه فيها صادق بار راشد تابع للحق …..

“… Dan ketika Rasulullah saw. wafat, Abu Bakar berkata, ‘Aku adalah walinya Rasulullah, lalu kalian berdua (Ali dan Abbas) dating menuntut warisanmu dari anak saudaramu dan yang ini menuntut bagian warisan istrinya dari ayahnya. Maka Abu Bakar berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda: “Kami tidak diwarisi, apa- apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah.”, lalu kalian berdua memandangnya sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat. Demi Allah ia adalahseorang yang jujur, bakti, terbimbing dan mengikuti kebenaran. Kemudian Abu Bakar wafat dan aku berkata, ‘Akulah walinya Rasulullah saw. dan walinya Abu Bakar, lalu kalian berdua memandangku sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat…. “ (HR. Muslim, Kitab al Jihâd wa as Sair, Bab Hukm al Fai’,5/152)

Imam Bukhari Merahasiakan Teks Sabda Nabi saw.!

Dalam hadis shahih di atas jelas sekali ditegaskan bahwa Imam Ali as. dan Abbas ra. paman Nabi saw. telah menuduh Abu Bakar dan Umar yang merampas seluruh harta warisan Nabi saw. dari ahli waris belaiu dengan membawa-bawa hadis palsu atas nama Nabi saw. sebagai:

1. Pembohong/Kâdziban.
2. Pendosa/Atsiman.
3. Penipu/Ghadiran.
4. Pengkhianat/Khâinan.

Kenyataan ini sangat lah jelas, tidak ada peluang untuk dita’lilkan dengan makna-makna pelesetan yang biasa dilakukan sebagian ulama ketika berhadapaan dengan redaksi yang agak semu!

Demikian si penulis Rafidhi ini dengan sok- nya menuliskan kalimat-kalimat di atas. Pembaca yang tidak kritis dan tidak mau meneliti lagi hadits yang dinukil si penulis rafidhi ini akan dengan mudah termakan oleh syubhat tersebut, padahal jika pembaca mau sekali saja membuka hadits tersebut dan membaca keseluruhan teks yang ada, maka akan terbongkarlah kelemahan hujjah si penulis rafidhi tersebut. Dan akan ketahuan bahwa si Penulis memang dengan sengaja tidak menukil hadits tersebut secara keseluruhan agar para pembaca bisa termakan syubhatnya. Dengan alasan apapun ini adalah kecurangan yang nyata!

Perhatikan :

Si penulis tidak menukilkan bagian hadits yang menyebutkan Al-Abbas ra berkata mengenai Ali ra di hadapan Umar ra “Amirul mukninin, putuskan (perselisihan) antara saya dan pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat ini.

Si penulis juga tidak menukilkan bagian hadits yang menyebutkan Abbas, Ali dan para sahabat ra yang berada di rumah Umar ra membenarkan hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi: “Kami (para Nabi) tidak meninggalkan warisan, apa-apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah”

Si penulis juga tidak menukilkan bagian hadits yang menyebutkan Abbas, Ali dan para sahabat ra yang berada di rumah Umar membenarkan apa yang dilakukan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam terhadap harta Fa’i tersebut di saat beliau masih hidup.

Si penulis juga tidak menukilkan bagian hadits yang menyebutkan bahwa harta fa’i tersebut sudah dipercayakan pengelolaannya kepada Abbas dan Ali ra oleh Umar ra.

Mari lebih lanjut kita jawab syubhat si Penulis tersebut :

Jika si penulis Rafidhi ini telah berani memakai hadits Muslim di atas sebagai hujjah dan dia mengatakan di atas bahwa hadits ini shahih atau meyakinkan, maka konsekuensinya dia harus memakai keseluruhan teks hadits tersebut sebagai hujjah, tidak bisa hanya mengambil sepotong saja dan membuang yang lain.

Apakah si penulis tidak membaca pada hadits tersebut bahwa Umar hanya menirukan apa yang dikatakan oleh Abbas ra terhadap Ali ra di hadapan Umar ra?

“Amirul mukninin, putuskan (perselisihan) antara saya dan si pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat ini. (Ali)

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyebutkan beberapa variasi mengenai apa yang diucapkan Abbas mengenai Ali dihadapan Umar ra.

وفي رواية عقيل عن ابن شهاب في الفرائض ” اقض بيني وبين هذا الظالم

Dalam riwayat Uqail dari Ibnu Syihab (az-Zuhri) dalam kitab Kewajiban al-Khumus “Putuskan antara saya dan si Dzalim ini”.

زاد شعيب ويونس ” فاستب علي وعباس “

Syu’aib dan Yunus menambahkan bahwa Ali dan Abbas memanggil dengan nama masing-masing tanpa menyebutkan sama sekali kata-kata pembohong, etc seperti di atas


Sedangkan kata-kata “pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat” dalam hadits di atas adalah riwayat dari Juwairiyah.

Beberapa variasi teks tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa Abbas dan Ali ra sedang berselisih pendapat, sedangkan detail dari apa yang dikatakan Abbas mengenai Ali sebenarnya adalah merupakan kata-kata yang tidak jelas, terbukti adanya beberapa variasi teks mengenai hal itu. Seharusnya inilah pengertian yang bisa diambil dari hadits tersebut.

Jika si penulis memahami hadits tersebut dengan disertai kedengkian terhadap sahabat tertentu dan tetap keukeuh menganggap bahwa Abu Bakar dan Umar sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat di mata Abbas dan Ali dalam artian yang sebenarnya, lalu bagaimana posisi Imam Ali sendiri dalam hadits tersebut? Apakah berarti Ali ra juga adalah seorang pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat di mata Abbas dalam artian yang sebenarnya? artinya yang dikatakan sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat dalam hadits tersebut bukan hanya Abu Bakar ra dan Umar ra saja, tetapi juga Ali ra? Apakah penulis mau menerima pernyataan seperti ini?

Mari kita perhatikan, Abbas mengatakan bahwa Ali adalah pembohong, pendosa, Penipu dan pengkhianat dengan begitu jelas dan tegasnya dihadapan Umar, sedangkan Umar hanya memperkirakan pandangan Abbas dan Ali terhadap Abu Bakar dan terhadap dirinya pada waktu yang telah lalu saat mereka berselisih pendapat mengenai harta peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan menirukan kata-kata Abbas mengenai Ali, lihatlah kembali kata-kata Umar ra di atas فرأيتماه كاذبا ”Kalian berdua memandangnya sebagai pembohong,..” kira-kira mana tuduhan yang lebih nyata? Tuduhan Abbas atau Perkiraan Umar? Pembaca tentu bisa menilainya sendiri.

Sebenarnya perkataan Abbas ra dalam hadits di atas bisa dikatakan adalah sebuah sindiran tajam kepada Ali ra, demikian juga perkataan Umar ra adalah merupakan sindiran yang tajam terhadap Abbas dan Ali ra, karena dulunya mereka berdua tidak sependapat dengan Abu Bakar dan Umar ra tetapi kemudian saat itu mereka berdua mengakui dan membenarkannya dan mereka berdua datang dalam keadaan berselisih diantara mereka untuk meminta keputusan dari Umar ra. Dan perkataan Umar ra dan Abbas ra tidak lepas dari retorika dalam bahasa Arab. Allahu A’lam bishowab.

Si Penulis mengatakan :

Dalam hadis shahih di atas jelas sekali ditegaskan bahwa Imam Ali as. dan Abbas ra. paman Nabi saw. telah menuduh Abu Bakar dan Umar yang merampas seluruh harta warisan Nabi saw. dari ahli waris belaiu dengan membawa-bawa hadis palsu atas nama Nabi saw. sebagai:

1. Pembohong/Kâdziban.
2. Pendosa/Atsiman.
3. Penipu/Ghadiran.
4. Pengkhianat/Khâinan.

bukankah disebutkan dalam teks hadits di atas bahwa Imam Ali dan Abbas mengakui kebenaran hadits yang dibawakan oleh Umar dan Abu Bakar (Kami tidak meninggalkan warisan…)?, mari kita nukil lagi,

Kemudian dia menghadap ke arah Ali dan Abbas dan berkata : “kuingatkan kalian kepada Allah, dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi. Tidakkah kalian tahu bahwa Rasulullah Shalalahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kami (para Nabi) tidak meninggalkan warisan, apa-apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah” ? mereka (juga) menjawab : “Ya”

apakah si penulis tidak membaca teks tersebut? Jika Imam Ali dan Abbas menuduh Abu Bakar dan Umar sebagai pembohong dan seterusnya, mengapa Ali dan Abbas ra kemudian mengakui dan membenarkan hadits tersebut? Apakah Penulis berani mengatakan bahwa Abbas dan Ali ra tidak konsisten dalam hal ini, karena sebelumnya mereka menuduh Abu Bakar dan Umar sebagai Pembohong, dst.., tetapi kemudian mereka membenarkan hadits tersebut? Jika penulis tidak mau menerima konsekuensi dengan memakai hadits ini sebagai hujjah, maka saran kami jangan pernah dech coba-coba memakai hadits Muslim itu sebagai hujjah untuk menyerang sahabat Nabi.

Kemudian si Penulis juga menuduh bahwa Imam Bukhari merahasiakan teks kata-kata “pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat” pada hadits yang dibawakannya dan menggantikannya dengan kata-kata “begini dan begitu”.

Padahal ada beberapa variasi teks dan sanad yang berbeda, sehingga perbedaan redaksi seperti itu adalah hal wajar selama makna yang disampaikan adalah sama, sebagaimana adanya beberapa variasi mengenai perkataan Abbas ra terhadap Ali ra yang telah disebutkan di atas, bahwa perselisihan pendapat diantara mereka adalah suatu perkara yang jelas, tetapi detail dari kata-kata yang mereka ucapkan ketika mereka berselisih pendapat itulah yang tidak jelas dan bervariasi.

Ibnu Hajar dalam syarahnya mengatakan mengenai hadits semakna yang tercatat dalam bab Fardhu Khumus :


وكأن الزهري كان يحدث به تارة فيصرح , وتارة فيكني , وكذلك مالك وقد حذف ذلك في رواية بشر بن عمر عنه عند الإسماعيلي وغيره وهو نظير ما سبق من قول العباس لعلي وهذه الزيادة من رواية عمر عن أبي بكر حذفت من رواية إسحاق الفروي شيخ البخاري…

Dan az-Zuhri dulu kadang-kadang membicarakannya (tambahan kata-kata “pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat”) dengan jelas, kadang mengkonotasikannya, dan begitu pula Malik dan tambahan itu telah dihapus pada riwayat Bisyr bin ‘Amr darinya pengikut mazhab Ismailiyah dan yang lainnya dan merupakan bandingan dari pendapat sebelumnya dari perkataan Al Abbas kepada Ali dan tambahan ini dari riwayat Umar dari Abu Bakar telah dihapus dari riwayat Ishaq Al-Farawi guru Al-Bukhari,

Al-Hafidz Ibnu Hajar telah menjelaskan dengan panjang lebar mengenai tambahan kata-kata tersebut di syarah beliau, dan tidak ada beliau menuduh Imam Bukhari seperti apa yang dituduhkan oleh si penulis Syi’ah tersebut. Maka tuduhan si penulis ini adalah fitnah!

Si Penulis blog tersebut berkata :

Di antara lembaran hitam sejarah umat Islam yang tak dapat dipungkiri adalah terjadinya sengketa antara Fatimah as. –selaku ahli waris Nabi saw.– dan Abu Bakar selaku penguasa terkait dengan tanah Fadak dan beberapa harta waris yang ditinggalkan Nabi saw.

Menolak adanya sengketa dalam masalah ini bukan sikap ilmiah! Ia hanya sikap pengecut yang ingin lari dari kenyataan demi mencari keselamatan dikarenakan tidak adanya keberanian dalam menentukan sikap membela yang benar dan tertindas dan menyalahkan yang salah dan penindas!

Siapa yang menolak perselisihan tersebut? AhlusSunnah tidak mengingkari adanya perselisihan pendapat di antara sahabat amaupun ahlul bait, Tetapi kami bukanlah pendengki seperti si penulis ini, yang mengkultuskan yang satu dan membenci yang lain, kami ahlus sunnah memaklumi bahwa mereka bisa saja berselisih paham dan itu adalah wajar-wajar saja, terjadi pada sahabat maupun ahlul bait, karena mereka bukan makshum. Dan Ahlus Sunnah tidak bersikap berlebih-lebihan terhadap perkara yang diikhtilafkan oleh mereka dan akhirnya riwayat yang shahih menyatakan bahwa perselisihan tersebut sudah selesai, Imam Ali dan keturunannya menerima dan membenarkan keputusan Abu Bakar dan khalifah selanjutnya mengenai perlakuan terhadap harta peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sesuai yang diperintahkan dan dipraktekkan oleh Nabi sendiri semasa Nabi masih hidup.

Data-data akurat telah mengabadikan sengketa tersebut! Karena deras dan masyhurnya kenyataaan itu sehingga alat penyaring Imam Bukhari dan Muslim tak mampu menyaringnya! Atau bisa jadi sangking shahihnya hadis tentangnya sehingga Imam Bukhari dan Muslim –sebagai penulis kitab hadis paling selektif pun- menshahihkannya dan kemudian mengoleksinya dalam kedua kitab hadis Shahih mereka!

Tetapi si penulis ini begitu curang, dengan menukil hadits hanya sebagian saja untuk menyesatkan kaum awwam.

Dalam kali ini kami tidak hendak membicarakan kasus sengketa tanah Fadak secara rinci. Akan tetapi kami hanya akan menyoroti “argumentasi dadakan” yang diajukan Abu Bakar secara spontan demia melegalkan perampasan tanah Fadak! Argumentas Abu Bakar tersebut adalah “hadis Nabi” yang kemudian menjadi sangat masyhur di kalangan para pembela Abu Bakar! Hadis tersebut adalah hadis “Kami para nabi tidak diwarisi, apa-apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah.”

Setelah dilontarkan pertama kali oleh Abu Bakar secara dadakan di hadapan argumentasi qur’ani yang diajukan putri kenabian; Fatimah az Zahra as., hadis itu menerobos mencari posisi sejajar dengan sabda-sabda suci Nabi saw. lainnya. Tidak penting sekarang bagi kita untuk menyimak penilaian para pakar hadis atau lainnya tentang status hadis tersebut! Apakah ia benar sabda suci Nabi saw. atau ia sekedar akala-akalan Abu Bakar saja demi melegetimasi perampasan tanah Fadak!

Buktinya pada hadits yang penulis Syi’ah tersebut jadikan hujjah, baik itu Bukhari maupun Muslim, disebutkan bahwa Imam Ali dan Abbas mengakui kebenaran hadits tersebut, anehnya kenapa si penulis ini tidak menukilnya??.

Dengan PeDe-nya si Penulis syi’ah itu berkata :

Kami dapat memaklumi bahwa dengan riwayat-riwayat shahih seperti di atas saudara-saudara kami Ahlusunnah dibuat repot dan kebingungan menetukan sikap!

Kami tidak repot atau bingung kok dengan hadits di atas, sikap kami sudah sangat jelas sebagaimana yang sudah kami sampaikan, bahwa mereka adalah manusia biasa dan wajar jika terjadi perbedaan pendapat diantara mereka, dan hal itu tidak mengurangi sama sekali keutamaan mereka, justru kelihatan si penulis ini yang repot dan kebingungan mencari-cari dalil dari literatur Sunni untuk mendiskreditkan orang-orang tertentu dikalangan para sahabat, tetapi sayangnya si penulis ini berlaku curang dengan menukil hadits secara sepotong-sepotong.



Sahabat maupun Ahlul Bait tidaklah Ma’shum

Ahlus Sunnah tidak meyakini bahwa sahabat maupun ahlul bait adalah ma’shum, contohnya sebagaimana diceritakan oleh hadits di atas, apapun kekeliruan yang mungkin dilekatkan kepada Abbas, Ali, Abu Bakar maupun Umar radhiyallahu ‘anhum adalah timbul dari diri mereka sebagai manusia biasa, dan yang benar adalah setiap mereka mempunyai hujjah, dan kita dapatkan bahwa perselisihan pendapat bukan hanya terjadi diantara para sahabat saja, bahkan terjadi juga di lingkungan ahlul bait Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, contohnya adalah hadits di atas dimana Al Abbas ra berselisih paham dengan Ali ra.

Perselisihan pendapat antara orang-orang yang kita ketahui keshalehan mereka adalah hal yang wajar, dan tidaklah itu menghilangkan agama kita ataupun berpengaruh kepada keyakinan dasar kita serta tidak menghilangkan keutamaan dan keadilan mereka sebagai generasi awal Islam yang dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya.



Kesimpulan :

Tuduhan Syi’ah bahwa Abu Bakar ra dan Umar ra adalah sebagai seorang pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat berdasarkan hadits Muslim di atas adalah tuduhan yang lemah dan jika mereka mengambil hadits Muslim tersebut sebagai hujjah, maka mereka harus mengambilnya secara keseluruhan dan tidak sepotong-sepotong, konsekuensinya mereka harus juga terpaksa menuduh Imam Ali juga sebagai seorang pembohong, pendosa, penipu, dan pengkhianat, dan menuduh Al-Abbas dan Imam Ali keduanya sebagai seorang yang tidak konsisten. Sekarang tersedia 3 opsi buat Syi’ah :

1. Menolak hadits tersebut, maka tuduhan mereka terhadap Abu Bakar dan Umar ra ikut tertolak juga.
2. Mengambil hadits tersebut, dengan konsekuensi mereka akan menuduh Ahlul Bait Nabi persis dengan apa yang dituduhkan kepada Abu Bakar dan Umar ra bahkan plus menuduh ahlul bait tidak konsisten.
3. Memahami hadits tersebut sebagaimana ahlus sunnah memahaminya. Bahwa perselisihan pendapat diantara mereka adalah hal yang wajar sebagai manusia biasa yang tidak ma’shum dan tidak sedikitpun mengurangi keutamaan mereka. Dan apa yang mereka (para sahabat dan ahlul bait) katakan saat berselisih pendapat adalah merupakan bagian dari kosa kata mereka sebagai Master dalam ilmu Balaghah bahasa Arab yang kadang merupakan retorika dan penekanan dalam percakapan.



Allahu A’lam bishowab.

Minggu, 04 Maret 2012

cara sujud tangan atau lutut dulu bag 2

Lutut Dulu atau Tangan Dulu ?


Tanya : Disebutkan dalam hadits Waail bin Hujr bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak sujud, mendahulukan lututnya dulu daripada tangannya. Namun dalam hadits Abu Hurairah menyatakan sebaliknya. Manakah di antara keduanya yang kuat ?

Jawab : Permasalahan ini merupakan permasalahan yang telah di-khilaf-kan oleh para ulama semenjak dulu hingga sekarang. Namun berikut sedikit ringkasan pembahasan dua hadits tersebut.

1.     Hadits Waail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Dari Waail bin Hujr, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Dan apabila bangkit dari sujud, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidziy[1] no. 268, Abu Daawud[2] no. 838, Ibnu Maajah[3] no. 882, An-Nasaa’iy dalam Ash-Shughraa[4] no. 1089 & 234 dan dalam Al-Kubraa[5] 1/344 no. 680 & 1/371 no. 744, Ad-Daarimiy[6] no. 1359, Adz-Dzuhliy[7] dalam Juuz-nya no. 42, Ibnul-Mundzir[8] dalam Al-Ausath no. 1429, Ibnu Khuzaimah[9] no. 626 & 629, Al-Bazzaar[10] dalam Al-Bahr no. 4483, Ath-Thahawiy[11] dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/255, Ibnu Hibbaan[12] no. 1912, Ath-Thabaraaniy[13] dalam Al-Kabiir 22/39-40 no. 97, Ad-Daaruquthniy[14] 2/150 no. 1307, Al-Baihaqiy[15] dalam Al-Kubraa 2/98, Al-Baghawiy[16] dalam Syarhus-Sunnah no. 642, Abu Bakr Asy-Syaafi’iy[17] dalam Al-Ghailaaniyaat 1/336-337, Al-Haazimiy[18] dalam Al-I’tibaar 1/329, Ibnu ‘Asaakir[19] dalam At-Taariikh 62/383, Ibnul-Jauziy[20] dalam At-Tahqiiq no. 578, dan Adz-Dzahabiy[21] dalam Al-Mu’jam 1/149; semuanya dari jalan Yaziid bin Haaruun : Telah mengkhabarkan kepada kami Syariik, dari ‘Aashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Waail bin Hujr secara marfuu’.
Titik kritis sanad ini terletak pada Syariik bin ‘Abdillah bin Abi Syariik An-Nakha’iy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy Al-Qaadliy (شريك بن عبد الله بن أبي شريك النخعي ، أبو عبد الله الكوفي القاضي). Banyak ulama yang memuji dan mengkritiknya.
Di antara yang memujinya : Ibraahiim Al-Harbiy berkata : “Tsiqah”. Ahmad berkata : “Seorang yang pandai, jujur, lagi ahli hadits di sisi kami”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah”. ‘Iisaa bin Yuunus As-Sabii’iy : “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih wara’ dalam ilmunya dari Syariik”. Muhammad bin Yahyaa Adz-Dzuhliy berkata : “Cerdas/pandai”. Wakii’ bin Al-Jarraah berkata : “Tidak ada penduduk Kuufah yang lebih banyak periwayatan haditsnya daripada Syariik”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Makhramiy berkata : “Syariik lebih mengetahui hadits penduduk Kuufah daripada Sufyaan Ats-Tsauriy”.
Di antara yang mencelanya : Ibraahiim bin Sa’iid Al-Jauhariy berkata : “Ia keliru dalam 400 hadits”. Al-Juuzjaaniy berkata : “Jelek hapalannya, mudlthatibul-hadiits”. Abu Ahmad Al-Haakim : “Tidak kokoh”. Ibnul-Qaththaan Al-Faasiy berkata : “Mayshuur dengan tadliis, aku melihat dalam pokok haditsnya terdapat takhliith”. Al-‘Uqailiy memasukkannya dalam Adl-Dlu’afaa’. Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan berkata : “Ia senantiasa bercampur haditsnya”. Di lain tempat ia berkata : “Jangan meriwayatkan hadits darinya”. Di lain tempat ia berkata : “Dla’iiful-hadiits”. Ibnu Syaahiin berkata : “Perkataan dari Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan tentang Syariik ini dibawa pada konsekuensi untuk meninggalkannya”. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Makhramiy dalam riwayat lain berkata : “Haditsnya tidak ada apa-apanya”. Abu Zur’ah berkata : “Banyak salahnya, shaahibul-wahm”. At-Tirmidziy berkata : “Banyak kekeliruan dan keraguan”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy)”. As-Saajiy berkata : “Dinisbatkan pada paham tasyayyu’ yang melampaui batas”.
Di antara yang memuji dan memasukkan celaan sekaligus : Ibnu ‘Adiy berkata : “Kebanyakan dari hadits-haditsnya adalah shahih dan lurus. Adapun pengingkaran yang ada dalam haditsnya hanyalah disebabkan karena jeleknya hapalannya”. Abul-Fat-h Al-Azdiy berkata : “Shaduuq, namun miring dalam niat, ekstrim dalam madzhab (Syi’ah), banyak keraguan, dan goncang haditsnya”. Ibnu Haatim berkata : “Jujur, namun mempunyai kekeliruan-kekeliruan”. Abu Daawud berkata : “Tsiqah, banyak keliru dalam hadits Al-A’masy”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, ma’muun, dan banyak haditsnya. Namun ia banyak melakukan kekeliruan”. Ya’quub bin Syaibah berkata : “Shaduuq, tsiqah, namun jelek hapalannya”.
Di antaranya, ada juga ulama yang menjelaskan ‘illat keshahihan dan/atau kelemahan riwayatnya : Ibnul-Qaththaan Al-Faasiy berkata : “Shaduuq, dan ketika menjabat hakim, berubahlah hapalannya”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah, hasanul-hadits. Barangsiapa yang mendengar haditsnya di masa awal, maka haditsnya shahih”. Shaalih bin Muhammad Jazarah : “Jujur, namun ketika memegang jabatan hakim, goncang hapalannya”. Ibnu Hibbaan : “Penyimakan mutaqaddimiin darinya yang mendengar riwayat darinya di negeri Waasith, tidak terdapat padanya percampuran (takhliith), seperti Yaziid bin Haaruun dan Ishaaq Al-Azraq. Dan penyimakan muta-akhkhiriin darinya di negeri Kuufah, padanya terdapat keraguan yang amat banyak” [Ats-Tsiqaat, 6/444]. Ad-Daaruquthniy mengkritiknya bahwa ia lemah jika bersendirian (tafarrud) [Mausu’ah Aqwaal Al-Imaam Ad-Daaruquthniy, hal. 317 no. 1621]. Ibnu Ma’iin dan Ahmad bin Hanbal mengatakan ia seorang yang shaduuq lagi tsiqah jika tidak ada penyelisihan. Jika ada penyelisihan, maka riwayat selainnya lebih disukai [Mausu’ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad, 2/143 no. 1159].
Ibnu Hajar menyimpulkan ia seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya dan berubah hapalannya ketika menjabat qaadliy. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 177 H/178 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2802].
Catatan penting :
Dalam sebagian naskah kitab Mawaaridudh-Dham’aan dituliskan sanad sebagai berikut :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ اِسْحَاقَ الثَّقَفِيُّ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيِّ الْخَلَالِ حَدَّثَنَا يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ أَنْبَأَنَا اِسْرَائِيْلُ عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ : رَاَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم اِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَاِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Khallaal : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun : Telah memberitakan kepada kami Israaiil, dari ‘Aashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Waail bin Hujr, ia berkata : “Aku pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Dan apabila bangkit beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya” [selesai].
Penulisan Israaiil dalam sanad di atas adalah keliru, karena yang benar adalah Syariik [lihat komentar muhaqqiq, 2/204-205 no. 487].
At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
قَالَ يَزِيدُ: لَمْ يَرْوِ شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ إِلا هَذَا الْحَدِيثَ الْوَاحِدَ، قَالَ أَبُو عِيسَى: وَرَوَى هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى عَنْ شَقِيقٍ عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ شَيْئًا مِنْ هَذَا مُرْسَلا لَمْ يَذْكُرْ فِيهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، وَشَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ كَثِيرُ الْغَلَطِ وَالْوَهْمِ
“Yaziid berkata : ‘Syariik tidak meriwayatkan dari ‘Aashim bin Kulaib kecuali satu hadits ini saja’. Abu ‘Iisaa berkata : ‘Dan Hammaam bin Yahyaa meriwayatkan dari Syaqiiq, dari ‘Aashim bin Kulain sesuatu dari riwayat ini secara mursal tanpa menyebutkan padanya dari Waail bin Hujr. Dan Syariik bin ‘Abdillah banyak keliru dan ragu” [Al-‘Ilal Al-Kabiir, 1/69-70].
Diriwayatkan juga secara mursal oleh Abu Daawud[22] no. 839 dan dalam Al-Maraasiil[23] no. 42, Al-Baihaqiy[24] dalam Al-Kubraa 2/99, serta Ath-Thahawiy[25] dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar no. 957; dari jalan Hammaam, dari Syaqiiq Abu Laits, dari ‘Aashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sanad riwayat ini lemah karena majhul-nya Syaqiiq Abu Laits [Taqriibut-Tahdziib, hal. 439 no. 2835].
Kulaib bin Syihaab bin Majnuun (tsiqah) mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdul-Jabbaar bin Waail, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud[26] no. 839, Ibnul-Mundzir[27] dalam Al-Ausath no. 1432, Al-Baihaqiy[28] dalam Al-Kubraa 2/98-99, dan Ath-Thabaraaniy[29] dalam Al-Kabiir 22/27-28 no. 60; semuanya dari jalan Hajjaaj bin Minhaal, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Juhaadah, dari ‘Abdul-Jabbaar bin Waail, dari ayahnya :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْجُدَ وَقَعَتْ رُكْبَتَاهُ قَبْلَ يَدَيْه
Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya”.
Sanad riwayat ini lemah karena keterputusan antara ‘Abdul-Jabbaar dengan ayahnya [Jaami’ut-Tahshil, hal. 219 no. 413].
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy[30] dalam Al-Kubraa 2/99 dengan menyambungkan antara ‘Abdul-Jabbaar dengan ayahnya melalui perantaraan ibunya, akan tetapi riwayat ini tidak mahfuudh karena kelemahan Sa’iid bin ‘Abdil-Jabbaar [Taqriibut-Tahdziib, hal. 382 no. 2357] dan Muhammad bin Hujr Al-Hadlramiy [Mishbaahul-Ariib, 3/98 no. 22971].
Ini adalah madzhab penduduk Kuufah, sebagaimana disitir oleh Ad-Daarimiy :
قِيلَ لِعَبْدِ اللَّهِ: مَا تَقُولُ؟ قَالَ: كُلُّهُ طَيِّبٌ. وَقَالَ: أَهْلُ الْكُوفَةِ يَخْتَارُونَ الْأَوَّلَ
“Dikatakan kepada ‘Abdullah bin Dzakwaan : ‘Apa yang engkau katakan tentang hal itu ?’. Ia menjawab : ‘Semuanya baik (yaitu meletakkan lutut dulu atau tangan dulu semuanya boleh dilakukan). Penduduk Kuufah memilih yang pertama (yaitu lutut dulu)” [As-Sunan, no. 1360].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
مذهبنا أنه يستحب أن يقدم في السجود الركبتين ثم اليدين ثم الجبهة والأنف قال الترمذي والخطابى وبهذا قال اكثر العلماء وحكاه أيضا القاضي أبو الطيب عن عامة الفقهاء وحكاه ابن المنذر عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه والنخعي ومسلم بن بشار وسفيان الثوري واحمد واسحق وأصحاب
“Madzhab kami (Syaafi’iyyah) menyukai untuk mendahulukan kedua lutut dalam sujud, kemudian kedua tangan, kemudian dahi dan hidung. Dan inilah yang dikatakan At-Tirmidziy dan Al-Khaththaabiy. Juga, jumhur ulama, jumhur fuqahaa’ sebagaimana dihikayatkan Al-Qaadliy Abuth-Thayyib; ‘Umar bin Al-Khaththaab, An-Nakha’iy, Muslim bin Basyaar, Sufyaan Ats-Tsauriy, Ahmad, dan Ishaaq sebagaimana dihikayatkan Ibnul-Mundzir” [Al-Majmuu’, 3/421].
Tentang riwayat ‘Umar bin Al-Khaththaab, ada riwayat berikut :
حَدَّثَنَا فَهْدُ بْنُ سُلَيْمَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، قَالَ: حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، قَالَ: حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ، عَنْ أَصْحَابِ عَبْدِ اللَّهِ عَلْقَمَةَ، وَالأَسْوَدِ، فَقَالا: " حَفِظْنَا عَنْ  عُمَرَ  فِي صَلاتِهِ، أَنَّهُ خَرَّ بَعْدَ رُكُوعِهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ كَمَا يَخِرُّ الْبَعِيرُ وَوَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ "
Telah menceritakan kepada kami Fahd bin Sulaimaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Hafsh, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ibraahiim, dari shahabat ‘Abdullah, yaitu ‘Alqamah dan Al-Aswad, mereka berdua berkata : “Kami menghapal dari ‘Umar dalam shalatnya, bahwasannya ia turun setelah rukuknya dengan kedua lututnya sebagaimana turunnya onta dan meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar, no. 961; sanadnya shahih].
Catatan penting :
Atsar di atas merupakan sanggahan terhadap ulama yang menyatakan bahwa onta turun dengan tangannya terlebih dahulu dan hadits Abu Hurairah di bawah terbalik.
Inilah yang dipegang oleh madzhab Hanaabilah, sebagaimana perkataan Al-Mardawiy rahimahullah :
هذا المذهب، وعليه الأصحاب، وهو المشهور عن أحمد
“Ini adalah pendapat madzhab, dan di atasnya shahabat-shahabat (Ahmad) berpendapat. Dan ia masyhur ternukil dari Ahmad” [Al-Inshaaf].
2.     Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang di antara kalian sujud, maka janganlah ia menderum seperti menderumnya onta. Dan hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Diriwayatkan oleh Ahmad[31] 2/381, Al-Bukhaariy[32] dalam Al-Kabiir 1/139, Abu Daawud[33] no. 840, An-Nasaa’iy dalam Ash-Shughraa[34] no. 1091 dan dalam Al-Kubraa[35] no. 682, Ad-Daarimiy[36] no. 1360, Ad-Daaruquthniy[37] 2/149 no. 1304, Tamaam Ar-Raaziy[38] dalam Al-Fawaaid no. 720, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar[39] no. 953-954 dan dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar[40] no. 182, Al-Baihaqiy[41] 2/99-100, Al-Baghawiy[42] dalam Syarhus-Sunnah no. 643, Al-Haazimiy[43] dalam Al-I’tibaar 1/325, Ibnu Hazm[44] dalam Al-Muhallaa 3/44, dan Ibnul-Jauziy[45] dalam At-Tahqiiq no. 582; semuanya dari jalan ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad Ad-Daarawardiy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Abdillah bin Al-Hasan, dari Abuz-Zinaad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah secara marfuu’.
Dhahir sanad hadits ini adalah shahih.
Sebagian ada yang men-ta’liil hadits ini dengan sebab :
a.      Perkataan Al-Bukhaariy saat membawakan hadits ini : “Ia (Muhammad bin ‘Abdillah bin Al-Hasan) tidak mempunyai muttabi’, dan aku tidak mengetahui apakah ia mendengar dari Abuz-Zinaad ataukah tidak” [At-Taariikh Al-Kabiir, 1/139].
Perkataan Al-Bukhaariy bahwa Muhammad bin ‘Abdillah tidak mempunyai mutaabi’, maka ini bukan merupakan jarh secara mutlak, namun ia merupakan isyarat akan adanya tafarrud. Tafaruud itu bukanlah ta’lil. Adapun ta’lil, maka ia butuh qarinah tersendiri dari tafarrud itu, karena Al-Bukhaariy berkata dalam kitab Shahiih-nya :
حَدَّثَنَا أَزْهَرُ بْنُ جَمِيلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ لَا يُتَابَعُ فِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
Telah menceritakan kepada kami Az-har bin Jamiil : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab Ats-Tsaqafiy : Telah menceritakan kepada kami Khaalid, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasanya isteri Tsaabit bin Qais mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : "Wahai Rasulullah, tidaklah aku mencela Tsaabit bin Qais atas agama atau pun akhlaknya. Akan tetapi aku khawatir kekufuran dalam Islam". Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya itu?". Ia menjawab : "Ya". Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kepada Tsaabit) : "Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia dengan talak satu". Abu ‘Abdillah (Al-Bukhaariy) berkata : “Tidak ada mutaabi’ padanya dari Ibnu ‘Abbaas” [Shahiih Al-Bukhaariy no. 5273].
Perkataan laa yutaaba’u fiihi dalam riwayat di atas bukanlah ta’lil. Maksudnya adalah tidak ada mutaabi’ bagi Az-har bin Jamiil dalam penyebutan Ibnu ‘Abbaas dalam hadits ini, karena perawi yang lain telah memursalkannya – yaitu khusus jalan Khaalid bin Khidzaa’ dari ‘Ikrimah [lihat ; Fathul-Baariy, 9/401].[46]
Abu Daawud ketika menyebutkan riwayat Abu Hurairah ini dalam Sunan-nya tidak berkomentar apapun, padahal sudah menjadi kebiasaan ia akan berkomentar men-ta’lil hadits-hadits yang ia anggap ma’lul.
Muhammad bin ‘Abdillah adalah seorang yang tsiqah, dan telah ditsiqahkan oleh An-Nasaa’iy dan Ibnu Hibbaan. Oleh karena itu Ibnu Hajar menyimpulkan tentang dirinya sebagai perawi tsiqah. Tafarrud perawi tsiqah adalah diterima menurut jumhur muhadditsiin, hingga nampak qarinah bahwa perawi yang bersangkutan telah keliru dalam periwayatan hadits.
Adapun perkataan Al-Bukhaariy bahwa ia tidak mengetahui penyimakan Muhammad bin ‘Abdillah dari Abuz-Zinaad, maka ini terbangun dari persyaratannya akan pengetahuan penyimakan perawi dari gurunya – dimana persyaratan ini menyelisihi persyaratan jumhur ulama. Selain itu, perkataan Al-Bukhaariy itu bukanlah tashrih peniadaan penyimakan. Muhammad bin ‘Abdillah semasa dengan Abuz-Zinaad, dan ia bukan seorang mudallis, sehingga riwayatnya dari Abuz-Zinaad dihukumi bersambung (muttashil).
b.      Tafarrud Ad-Daarawardiy dalam periwayatan dari Muhammad bin ‘Abdillah sebagaimana dikatakan Ad-Daaruquthniy.
Ta’liil ini juga tidak valid. Abdul-‘Aziiz bin Muhammad bin ‘Ubaid Ad-Daraawardiy, Abu Muhammad Al-Juhhaniy (عبد العزيز بن محمد بن عبيد الدراوردي ، أبو محمد الجهني مولاهم المدني). Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 186 H/187 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah. Ada beberapa komentar ulama tentangnya :
Mush’ab bin ‘Abdillah bin Az-Zubair berkata : “Maalik bin Anas mentsiqahkan Ad-Daraawardiy”. Ahmad berkata : “Ia seorang yang ma’ruuf sebagai seorang pencari hadits. Apabila ia meriwayatkan dari kitabnya, maka shahih. Namun bila ia meriwayatkan dari kitab-kitab milik orang lain, ada keraguan. Ia membaca kitab-kitab mereka, lalu keliru. Kadang ia membalikkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar, dimana ia meriwayatkannya (menjadi) dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Ad-Daraawardiy lebih tsabt daripada Fulaih bin Sulaimaan, Ibnu Abiz-Zinaad, dan Abu Aus. Ad-Daraawardiy kemudian Ibnu Abi Haazim”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Di lain riwayat ia berkata : “Tsiqah hujjah”. Abu Zur’ah berkata : “Jelek hapalan. Kadang meriwayatkan dari hapalannya, ada sesuatu padanya, lalu ia keliru”. Abu Haatim berkata : “Muhaddits”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya. Adapun haditsnya yang berasal dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar adalah munkar”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, banyak mempunyai hadits, melakukan beberapa kekeliruan” [Lihat : Tahdziibul-Kamaal, 18/187-195 no. 3470]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Sering keliru (yukhthi’)”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. As-Saajiy berkata : “Ia termasuk orang-orang yang jujur dan amanah, akan tetapi ia mempunyai banyak keraguan” [lihat :Tahdziibut-Tahdziib, 6/353-355 no. 680].
Al-Bardza’iy pernah berkata : Aku pernah bertanya lepada Abu Zur’ah : “Fulaih bin Sulaimaan, ‘Abdurrahmaan bin Abiz-Zinaad, Abu Aus, Ad-Daraawardiy, dan Ibnu Abi Haazim, mana di antara mereka yang lebih engkau senangi ?”. Ia menjawab : “Ad-Daraawardiy dan Ibnu Abi Haazim lebih aku senangi daripada mereka semua” [Suaalaat Al-Bardza’iy lembar 424-425]. Ya’quub bin Sufyaan berkata : “’Abdul-‘Aziiz di sisi penduduk Madiinah adalah seorang imam yang tsiqah” [Al-Ma’rifatu wat-Taariikh, 1/349].
Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun ia meriwayatkan dari kitab-kitab orang lain lalu keliru” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 615 no. 4147]. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “Tsiqah” [Tahriirut-Taqriib, 2/371 no. 4119]. Abu Ishaaq Al-Huwainiy berkata : “Tsiqah” [Natslun-Nabaal bi-Mu’jamir-Rijaal, hal. 801-802 no. 1852]. Al-Albaaniy berkata : “Tsiqah” [Al-Irwaa’, 1/295].
Kesimpulannya : Ia seorang yang tsiqah yang sedikit mendapat kritikan di jurusan hapalannya. Khusus riwayatnya dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar mendapat pengingkaran sehingga dilemahkan sebagian ulama.
Ad-Daraawardiy mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdullah bin Naafi’ sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud[47] no. 841, At-Tirmidziy[48] no. 269, An-Nasaa’iy[49] dalam Ash-Shughraa no. 1090 dan dalam Al-Kubraa[50] 1/343, Al-Baihaqiy[51] dalam Al-Kubraa 2/100, dan Al-Mizziy[52] dalam Tahdziibul-Kamaal 25/471 dengan lafadh :
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَيَبْرُكُ كَمَا يَبْرُكُ الْجَمَلُ
“(Apakah) salah seorang di antara kalian turun dalam shalatnya, sehingga ia menderum sebagaimana onta menderum (ketika hendak sujud)?".
‘Abdullah bin Naafi’ bin Abi Naafi’ Ash-Shaaigh Al-Makhzuumiy, Abu Muhammad Al-Madaniy (عبد الله بن نافع بن أبي نافع الصائغ القرشى المخزومي مولاهم ، أبو محمد المدني); seorang yang tsiqahshahiihul-kitaab, namun pada hapalannya terdapat kelemahan (layyin). Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 206 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 552, no. 3683].
Sebagaimana kita lihat, mutaabi’ ‘Abdullah bin Naafi’ ini hanya menyebutkan lafadh secara ringkas. Dari hal itu dapat diketahui – wallaahu a’lam – maksud perkataan Ad-Daaruquthniy tentang tafarrud Ad-Daraawardiy adalah dalam lafadh : ‘Dan hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya’.
Ad-Daraawardiy lebih kuat daripada Ibnu Naafi’. Ziyaadah lafadh (yaitu dalam tafarrud) berkesesuaian dengan pokok hadits. Ibnul-Mandhuur rahimahullah berkata :
ورُكبةُ البعيرِ في يدِهِ وقد يقال لذواتِ الأَربعِ كُلها من الدَّوابِّ رُكَبٌ ورُكْبَتا يَدَيِ البعير المَفْصِلانِ اللَّذانِ يَليانِ البَطْنَ إِذا بَرَكَ وأَما المَفْصِلانِ الناتِئَانِ من خَلْفُ فهما العُرْقُوبانِ وكُلُّ ذي أَربعٍ رُكْبَتاه في يَدَيْهِ وعُرْقُوباهُ في رِجْلَيه
“Dan lutut onta terletak di tangannya. Dikatakan lutut untuk binatang berkaki empat terletak di keempat kakinya. Dan dua lutut pada dua tangan onta merupakan dua persendian yang terletak di bawah perut ketika menderum. Adapun dua persendian yang terletak di belakang disebut ‘urquub. Dan setiap hewan berkaki empat, kedua lututnya terletak di kedua tangannya (kaki depan), dan kedua ‘urquub-nya terletak di kaki (belakang)-nya” [Lisaanul-‘Arab, hal. 1714-1715, materi kata ra-ka-ba].
Makna ini dikuatkan pula oleh hadits :
حَتَّى إِذَا سَمِعْتُ قِرَاءَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ لَا يَلْتَفِتُ وَأَبُو بَكْرٍ يُكْثِرُ الِالْتِفَاتَ، سَاخَتْ يَدَا فَرَسِي فِي الْأَرْضِ حَتَّى بَلَغَتَا الرُّكْبَتَيْنِ فَخَرَرْتُ عَنْهَا
“..... hingga apabila aku mendengar qira’at Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,  dan pada saat itu beliau tidak menoleh, sedangkan Abu Bakar sering kali menoleh. Kedua kaki depan kudaku kembali terperosok ke dalam tanah hingga mencapai kedua lututnya dan aku terpelanting dari atasnya.....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3906].
Hadits ini menunjukkan bahwa lutut hewan berkaki empat itu termasuk dua kaki depannya.
Hadits Abu Hurairah ini mempunyai syaahid dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir[53] dalam Al-Ausath no. 1430, Ibnu Khuzaimah[54] no. 605, Al-Haakim[55] dalam Al-Mustadrak 1/226, Ad-Daaruquthniy[56] no. 1303, Ath-Thahawiy[57] dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar no. 953, Al-Baihaqiy[58] dalam Al-Kubraa 2/100, Al-Haazimiy[59] dalam Al-I’tibaar 1/324, dan Ibnul-Jauziy[60] dalam At-Tahqiiq no. 580; semuanya dari jalan Ad-Daraawardiy, dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Naafi’ :
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ، قَالَ: وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَفْعَلُ ذَلِكَ
Bahwasannya Ibnu ‘Umar meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya, dan ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu” [lafadh ini adalah lafadh Ibnul-Mundzir].
Poros sanad riwayat ini sama seperti riwayat Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, yaitu kembali pada Ad-Daraawardiy. Sebagaimana dapat kita baca dalam keterangan Ad-Daarawardiy di atas, riwayatnya yang berasal dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar menjadi sasaran kritikan sebagian huffadh. Bahkan beberapa ulama menghukumi riwayatnya dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar munkar. Al-Baihaqiy berkata :
وَالْمَحْفُوظُ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ الْيَدَيْنِ تَسْجُدَانِ كَمَا يَسْجُدُ الْوَجْهُ، فَإِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ وَجْهَهُ فَلْيَضَعْ يَدَيْهِ، وَإِذَا رَفَعَهُ فَلْيَرْفَعْهُمَا "
“Yang mahfuudh, dari Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya kedua tangan sujud sebagaimana sujudnya wajah. Apabila salah seorang di antara kalian meletakkan wajahnya, hendaklah ia meletakkan kedua tangannya. Apabila ia mengangkat wajahnya, hendaknya ia mengangkat kedua tangannya pula” [Ma’rifatus-Sunan wal-Atsar, no. 836].
Ibnu Abi Syaibah[61] 1/264 no. 2720 meriwayatkan secara mauquuf dari Ibnu ‘Umar berlawanan dengan riwayat di atas, yaitu ia meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua tangannya. Akan tetapi riwayat ini lemah karena kelemahan Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Lailaa [Taqriibut-Tahdziib, hal. 871 no. 6121].
Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata :
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: يَضَعُ يَدَيْهِ إِلَى الأَرْضِ إِذَا سَجَدَ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ، كَذَلِكَ قَالَ مَالِكٌ، وَقَالَ الأَوْزَاعِيُّ: أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَضَعُونَ أَيْدِيَهُمْ قَبْلَ رُكَبِهِمْ،
“Dan sekelompok ulama berkata : Meletakkan kedua tangannya ke tanah apabila sujud sebelum kedua lututnya. Begitulah yang dikatakan Maalik. Al-Auzaa’iy berkata : ‘Aku bertemu dengan orang-orang dimana mereka meletakkan kedua tangan mereka sebelum kedua lutut mereka” [Al-Ausath, no. 1431].
Inilah yang dipegang oleh Ibnu Hazm [Al-Muhallaa, masalah no. 456] dan An-Nawawiy rahimahullah [Al-Majmuu’, 3/421].
Dan inilah madzhab yang dipegang Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :
أَخْبَرَنَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ: نَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورِ، قَالَ: نَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ، قَالَ: نَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، أَنَّ بَكِيرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ، حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي مُرَّةَ مَوْلَى عَقِيلِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهُ قَالَ: لَا يَبْرُكْنَ أَحَدٌ بُرُوكَ الْبَعِيرِ الشَّارِدِ، وَلَا يَفْتَرِشُ ذِرَاعَيْهِ افْتِرَاشَ السَّبُعِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid bin Manshuur, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Amru bin Al-Haarits : Bahwasannya Bakiir bin ‘Abdillah bin Al-Asyaj telah menceritakan kepadanya, dari Murrah maulaa ‘Aqiil bin Abi Thaalib, dari Abu Hurairah, bahwasannya ia pernah berkata : “Janganlah seseorang menderum seperti menderumnya onta yang tersesat. Dan janganlah ia membentangkan hastanya sebagaimana binatang buas membentangkannya” [Diriwayatkan oleh Sarqasthiy dalam Ghariibul-Hadiits 3/991 no. 538; sanadnya shahih].
Tarjih
Melihat pendapat beserta dalil yang ada, maka yang raajih adalah pendapat kedua. Hadits Abu Hurairah lebih kuat daripada hadits Waail bin Hujr sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Buluughul-Maraam. Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – banyak mengambil faedah dari buku At-Tibyaan fii Takhriiji wa Tabwiibi Ahaadiitsi Buluughil-Maraam oleh Khaalid Asy-Syalaahiy 5/128-135, Naqdu Mujaazafaat Dr. Hamzah Al-Malaibaariy oleh Dr. Ahmad bin Shaalih Az-Zahraaniy, dan Nahyush-Shuhbah ‘anin-Nuzuuli bir-Rukbah oleh Abu Ishaaq Al-Huwainiy].


[1]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُنِيرٍ، وَأَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ، وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ، قَالُوا: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ ".
[2]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، وَحُسَيْنُ بْنُ عِيسَى، قَالَا: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ ".
[3]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَنْبَأَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا قَامَ مِنَ السُّجُودِ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ "
[4]      Riwayatnya adalah :
No. 1089 :
أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ عِيسَى الْقًوْمَسِيُّ الْبَسْطَامِيُّ، قال: حَدَّثَنَا يَزِيدُ وَهُوَ ابْنُ هَارُونَ، قال: أَنْبَأَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قال: " رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ "
No. 1154 :
أَخْبَرَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، قال: أَنْبَأَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، قال: أَنْبَأَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قال: " رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ ".
[5]      Riwayatnya adalah :
1/344 no. 680 :
أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ عِيسَى الْقُومَسِيُّ الْبِسْطَامِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: أنبا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضْعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ "
1/371 no. 744 :
أَخْبَرَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، قَالَ: أنبا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضْعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ "، قَالَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ: لَمْ يَقُلْ هَذَا عَنْ شَرِيكٍ، غَيْرُ يَزِيدَ بْنِ هَارُونَ، وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ
[6]      Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " إِذَا سَجَدَ، يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ، رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ "
[7]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أنا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
[8]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثنا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، قَالَ: ثنا أَبُو سَهْلٍ الصَّفَّارُ، قَالَ: ثنا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، قَالَ: أنا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ وَضَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ "
[9]      Riwayatnya adalah :
No. 626 :
نا عَلِيُّ بْنُ مُسْلِمٍ، وَأَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، وَرَجَاءُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْعُذْرِيُّ، قَالُوا: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ إِذَا سَجَدَ .وَقَالَ أَحْمَدُ، وَرَجَاءٌ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضْعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ "
No. 629 :
نا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، وَأَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ، وَرَجَاءُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْعُذْرِيُّ، وَعَلِيُّ بْنُ مُسْلِمٍ، قَالُوا: حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ إِذَا رَفَعَ "
[10]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا رَجَاءُ بْنُ مُحَمَّدٍ السَّقَطِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى الْوَاسِطِيُّ، قَالا: أنا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، قَالَ: أنا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى فَأَرَادَ أَنْ يَسْجُدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ إِلَى الأَرْضِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.
وَهَذَا الْحَدِيثُ لا نَعْلَمُ رَوَاهُ إِلا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ شَرِيكٍ
[11]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي عِمْرَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ أَبِي إِسْرَائِيلَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ الْجَرْمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ بَدَأَ بِوَضْعِ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ ".
[12]     Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إِذَا سَجَدَ، وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ، رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ "
[13]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ الْمُثَنَّى، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْمَدِينِيُّ، ثنا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
[14]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي دَاوُدَ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ، ثنا يَزِيدُ.ح وَحَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الأَزْدِيُّ، ثنا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أنا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إِذَا يَسْجُدُ تَقَعُ رُكْبَتَاهُ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا رَفَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ ".وَقَالَ ابْنُ أَبِي دَاوُدَ: " وَوَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ ".تَفَرَّدَ بِهِ يَزِيدُ، عَنْ شَرِيكٍ، وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، غَيْرُ شَرِيكٍ، وَشَرِيكٌ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ، فِيمَا يَتَفَرَّدُ بِهِ.وَاللَّهُ أَعْلَمُ
[15]     Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحُسَيْنِ الْقَاضِي، بِمَرْوَ، ثنا الْحَارِثُ بْنُ أَبِي أُسَامَةَ، ثنا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أنبأ شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إِذَا سَجَدَ تَقَعُ رُكْبَتَاهُ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا رَفَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ "
[16]     Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا الإِمَامُ أَبُو عَلِيٍّ الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْقَاضِي، وَأَبُو حَامِدٍ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الصَّالِحِيُّ، قَالا: أَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ الْحِيرِيُّ، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ مَعْقِلٍ الْمَيْدَانِيُّ، نَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، نَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ ".